Daerah Otonom – Dalam seminar “Tradisi Ketatanegaraan dan Pergulatan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam NKRI” Senin, 8 Juni 2020 sahabat saya Yando Zakaria keberatan dengan tulisan saya bahwa UU No. 6/2014 tentang Desa disusun dengan konstruk logika yang sesat. Agar publik mendapat jawaban yang lengkap berikut jawaban saya.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 (UU No. 6/2014) dibuat berdasarkan argumen hukum yang sesat logika. Penjelasan UU No. 6/2014 membuat argumen hukum sebagai berikut;
Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan “Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang, dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penjelasan Dalam UUD 1945
Kesimpulan yang berbunyi “keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia” adalah sesat pikir karena terlepas dari pasal yang dijelaskan dan latar historis Penjelasan Pasal 18 UUD 1945.
Pertama: UUD 1945 yang disahkan 18 Agustus 1945 tidak mempunyai Memori Penjelasan dan hanya mengatur Pemerintah Daerah pada Bab VI, tidak mengatur “zelfbesturende landschappen” dan “volksgemeenschappen”. Kata “zelfbesturende landschappen” dan “volksgemeenschappen” muncul di Penjelasan UUD 1945.
Penjelasan UUD 1945 yang kita kenal sekarang baru dicantumkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II Nomor 7, 15 Februari 1946. Penjelasan UUD 1945 tersebut adalah buatan Soepomo yang menurutnya disarikan dari pembahasan Rancangan UUD dalam sidang-sidang BPUPK dan PPK Mei sampai dengan Agustus 1945;
Kedua: Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 yang dibuat Soepomo bukan norma konstitusi sehingga tidak bisa dijadikan landasan hukum pembuatan Undang-undang organik. Yang bisa dijadikan landasan hukum pembuatan Undang-undang organik adalah diktumnya: Pasal 18.
Ketiga: Penjelasan Pasal 18 adalah upaya Soepomo menguraikan lebih operasional atas diktum Pasal 18 yang bersumber dari materi pembahasan Sidang-Sidang BPUPKI dan PPKI Mei-Agustus 1945 tentang pemerintahan daerah, bukan tentang “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen” (Muhammad Yamin, 1959, 1971; Sekretariat Negara, 1995; Kusuma, 2009);
Keempat: Penjelasan UUD 1945 tersebut berisi arahan (bukan pengaturan) yaitu dalam rangka membentuk daerah otonom besar dan daerah otonom kecil (diktum Pasal 18) Undang-Undang yang dibuat harus memperhatikan “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”.
Dua daerah yang memiliki susunan asli dan hak asal-usul ini dikonversi menjadi daerah otonom besar dan daerah otonom kecil yang bersifat istimewa/asimetris. Misal, Kesultanan Yogyakarta adalah salah satu dari 250 “Zelfbesturende landschappen” yang disebut dalam Penjelasan ini.
Sesuai dengan Pasal 18, maka Kesultanan Yogyakarta keberadaannya bukan wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya sebagai “Zelfbesturende landschappen” atau daerah swapraja masa lampau zaman VOC/Hindia Belanda tapi dikonversi menjadi daerah otonom besar yang bersifat istimewa.
Saat ini Yogyakarta tidak dipertahankan dan dikembalikan lagi sebagai “zelfbesturende landschappen” atau daerah swapraja masa lampau tapi diubah menjadi daerah otonom istimewa berdasarkan UU No. 13/2012.
Mestinya demikian pula perlakuan terhadap “Volksgemeenschappen”. Volksgemeenschappen keberadaannya bukan wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya tapi dikonversi menjadi daerah otonom kecil yang bersifat istimewa. Hal ini dibuktikan dengan tulisan Soepomo (2013: 81) yang menginginkan adat rechtsgemeenschappen segera dikonversi menjadi daerah otonom kecil istimewa dengan nomenklatur Desa (Kota Kecil) sebagaimana diatur dalam UU No. 22/1948.
Pandangan Soepomo
Soepomo menulis “Menurut penjelasan Undang-undang Pokok tersebut daerah otonom yang terbawah, yaitu desa, marga, nagari, dan sebagainya dianggap sendi negara, dan sendi itu harus diperbaiki, segala-galanya diperkuat dan di dinamisasi supaya dengan begitu negara bisa mengalami kemajuan”.
“Maksud Undang-undang Pokok, sebagai diterangkan dalam Penjelasan resmi tersebut, ialah untuk menggabungkan desa satu dengan desa lain, oleh karena daerah desa yang sekarang ini dianggap belum cukup luasnya untuk dibentuk menjadi daerah desa yang otonom sebagai yang dikehendaki oleh Undang-undang Pokok ini. Maksud penggabungan tersebut hingga sekarang belum dijalankan. Bahkan kedudukan hukum desa di Jawa hingga sekarang masih tetap dikuasai oleh Stsbl. 1906 No. 83 Jo. Stsbl. 1907 No. 212.”
Tulisan tokoh utama hukum adat Indonesia tersebut menunjukkan bahwa Soepomo sama sekali tidak berkehendak untuk mengakui dan mempertahankan kelangsungan hidup desa (atau nama lain) sebagai persekutuan masyarakat hukum asli/adat (inheems/adat rechtsgemeenschappen). Tetapi menginginkan agar pemerintahan desa yang masih diatur dengan ordonansi zaman kolonial (IGO 1906 dan IGOB 1938) segera dikonversi menjadi daerah otonom kecil sebagaimana diatur dalam UU No. 22/1948;
Kelima: Sebagaimana dijelaskan oleh Adam (1924), Haar (2013: 45-48), dan Soepomo (2013: 79-80) volksgemeenschappen atau inheems/adat rechtsgemeenschappen setelah diatur dengan IGO 1906 susunan dan isinya sudah rusak. Jadi, menurut tiga pakar ini desa, nagari, gampong, marga, dan sejenisnya sebagai volksgemeenschappen atau inheems/adat rechtsgemeenschappen setelah pemberlakuan IGO 1906 sudah rusak dan akhirnya masuk kubur sejarah setelah diundangkan UU No. 22/1948 juncto UU No. 1/1957 juncto UU No. 18/1965 juncto UU No. 19/1965 juncto UU No. 5/1979 juncto UU No. 22/1999 juncto UU No. 32/2004 juncto PP No. 72/2005.
Demikian pula dengan “Zelfbesturende landschappen” alias daerah swapraja zaman Hindia Belanda begitu diundangkan Pasal 18 UUD 1945, UU No. 22/1948 juncto UU No. 1/1957 juncto UU No. 18/1965 juga menjadi hapus dan akhirnya masuk kubur sejarah. Sangat tidak logis mempertahankan dan memberikan jaminan keberlangsungan hidup ‘dua mayat’ (Zelfbesturende Landschappen dan Volksgemeenschappen) yang sudah berada di dalam kubur sejarah tersebut;
Keenam: Jika kesimpulan tersebut benar dan mengikat secara konstitusional maka konsekuensi juridisnya 250 “Zelfbesturende landschappen” seperti Swapraja Surakarta, Swapraja Deli, Swapraja Sambas, Swapraja Goa, Swapraja Banjarmasin, Swapraja Kutai, Swapraja Ternate, Swapraja Buleleng, dan lainnya zaman Belanda yang sudah dihapus, keberadaannya juga wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya sebagaimana “Volksgemeenschappen” karena frasa “Zelfbesturende landschappen” disebutkan di depan frasa “Volksgemeenschappen” beriringan sejajar.
Hal ini bisa mengacaukan sistem pemerintahan nasional berdasarkan UUD 1945 dan membuat gaduh politik nasional karena para sultan/raja dari 250 “Zelfbesturende landschappen” atau swapraja yang sudah dikonversi menjadi daerah otonom istimewa seperti Yogyakarta dan yang sudah dihapus dengan UU No. 1/1957 juncto UU No. 18/1965 (lihat Pasal 88 UU No. 18/1965) akan menuntut kepada Pemerintah untuk mengakui keberadaannya dan memberikan jaminan keberlangsungan hidupnya sebagaimana Pemerintah mengakui keberadaan dan memberikan jaminan keberlangsungan hidup terhadap “Volksgemeenschappen”.
Baca juga: Otonomi Desa dalam Disertasi Lucien Adam
Ketujuh: Argumen hukum yang digunakan UU No. 6/2014 sebagaimana tercantum dalam Penjelasan tersebut menciptakan “bom waktu”. Argumen hukum tersebut dapat digunakan para sultan/raja daerah swapraja untuk menuntut kepada Negara menghidupkan kembali “Zelfbesturende landschappen” yang sudah dihapus dengan UU No. 1/1957 juncto UU No. 18/1965 dengan argumen hukum yang sangat kuat: bahwa “Volksgemeenschappen” yang disebut di belakang “Zelfbesturende landschappen” dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 “keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”, mestinya demikian halnya perlakuan Negara kepada “Zelfbesturende landschappen”. Gerakan para sultan/raja dari 250 “Zelfbesturende landschappen” yang menuntut dihidupkan kembali akan membuat gonjang-ganjing politik nasional.
Kesimpulan yang sesat dan menyesatkan dan menciptakan ,”Bom Waktu” tersebut harus diluruskan dengan konstruksi pikir sebagai berikut;
Premis Mayor:
Pembagian daerah (pemerintah lokal otonom, pen.) di Indonesia terdiri atas daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan UU (Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen).
Premis Minor:
Di Indonesia terdapat lebih kurang 250 “zelfbesturende landschappen” dan “volksgemeenschappen” yang dianggap sebagai daerah istimewa karena memiliki susunan asli (Penjelasan Pasal 18 angka II).
Kesimpulan
Oleh sebab itu, “zelfbesturende landschappen” dan “volksgemeenschappen” dikonversi menjadi daerah otonom besar dan daerah otonom kecil yang bersifat istimewa karena memiliki susunan asli yang ditetapkan dengan undang-undang.
Berdasarkan logika berpikir tersebut maka dapat disimpulkan bahwa UU No. 6/2014 tidak konstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 18 tidak mengatur Pemerintahan Desa tapi mengatur daerah otonom besar dan daerah otonom kecil. Adapun Penjelasan Pasal 18 yang menyebut “Volksgemeenschappen” bukan mengatur “Volksgemeenschappen” keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya tapi memberi arahan agar “Volksgemeenschappen” dikonversi menjadi daerah otonom kecil yang bersifat istimewa/asimetris sebagaimana bekas “Zelfbesturende Lanschappen” kesultanan Yogyakarta yang dikonversi menjadi daerah otonom besar yang bersifat istimewa.
Sesat pikir kedua adalah UU No. 6/2014 disusun berdasarkan konsep self governing community dan local self-government.
Self governing community artinya komunitas yang mengatur dirinya sendiri sedangkan local self-government artinya daerah otonom yang dibentuk oleh pemerintah pusat berdasarkan asas desentralisasi/devolusi. Akan tetapi, isinya bukan membentuk organ negara berdasarkan gabungan konsep self governing community dan local self-government tapi membentuk korporasi komunitas desa oleh Negara. Model ini oleh Philippe Schmitter (1974) disebut pemerintahan korporatisme negara, state corporatism .
Sebagai komunitas yang dijadikan korporasi oleh negara, Pemerintah Desa tidak diurus oleh pejabat pemerintah dan aparatur sipil negara (ASN) yang profesional. Kepala Desa dan perangkat desa hanya pengurus korporasi sosial-politik bentukan negara.
Struktur organisasinya tidak dilengkapi dengan dinas-dinas pelayanan publik. Oleh karena itu, mekanisme kerjanya mengandalkan mobilisasi dan kontrol terhadap penduduk melalui sub-sub korporasi warisan penjajah Jepang dan regim Orde Baru: RT (lanjutan tonarigumi zaman Jepang), RW (lanjutan aza zaman Jepang), PKK (lanjutan fujinkai zaman Jepang), Linmas (lanjutan heiho zaman Jepang), MUSDES (lanjutan Rapat Desa zaman Belanda), P3A, BPD, Posyandu, LPM, LKMD, dan KPD warisan Orde Baru (Kurasawa 1993; Furnivall 1956; Nurcholis 2017).
UU No. 6/2014 bukan mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat adat sebagaimana amanat Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, panduan ILO Convention Nomor 169 Tahun 1989, dan Deklarasi PBB Tahun 2007 tentang Hak-Hak Indigenous Peoples tapi mengkorporasikan masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan masyarakat desa yang masih melaksanakan adat istiadat dan ritual adat dengan cara membentuk, menetapkan, dan memberi kewenangan atributif (Pasal 96-111).
Sesat pikir ketiga adalah Pemerintah Desa yang sudah diatur dengan hukum positif bisa dikembalikan ke desa adat (dalam pengertian adat rechtsgemeenschappen) yang diatur dengan hukum adat tidak tertulis. Pemerintahan Gemente Pribumi (Inlandsche Gemeente) zaman kolonial diatur dengan hukum positif (IGO 1906 juncto IGOB 1938) dan Pemerintahan Desa zaman merdeka juga diatur dengan hukum positif (UU No. 5/1979; UU No. 22/ 1999; UU No. 22/1999; UU No. 32/2004; UU No. 6/2014).
Menurut Prof. Hazairin dosen hukum adat Universitas Indonesia pemerintahan adat berdasarkan hukum adat yang tidak tertulis jika sudah diatur dengan hukum positif sudah tidak bisa lagi disebut sebagai pemerintahan adat karena pemerintahan adat adalah instrumen masyarakat adat untuk melaksanakan hukum adatnya. Pemerintahan Desa yang dibentuk berdasarkan UU No. 6/2014 adalah instrumen negara untuk mencapai tujuan negara.
Sesat pikir keempat adalah pengaturan periode jabatan kepala desa; tiga periode yang berarti kepala desa bisa menjabat 18 tahun (per periode 6 tahun). Salah satu asas demokrasi adalah pembatasan masa jabatan. Di seluruh dunia masa jabatan dibatasi hanya dua periode. Ada yang satu periode dengan masa jabatan enam tahun (misalnya Filipina) dan ada dua periode dengan masa jabatan empat tahun (misalnya AS) atau lima tahun (misalnya Indonesia). Pemberian masa jabatan selama tiga periode menyimpang dari asas demokrasi pembatasan masa jabatan.
~ Penulis, Prof. Dr. Hanif Nurcholis, Guru Besar Universitas Terbuka Indonesia
~ Gambar oleh pasja1000 dari Pixabay