Revitalisasi Fungsi Surau

redaksi bakaba

Di surau jugalah laki-laki Minang dipersiapkan untuk menjadi pribadi yang siap menanggung beban dan amanah di kemudian harinya.

Gambar oleh Muhammad Afwan dari Pixabay
Gambar oleh Muhammad Afwan dari Pixabay

~ MHD Natsir

Minangkabau memiliki tradisi keilmuan yang baik dari generasi sebelumnya, di mana tradisi tersebut diwariskan dengan menjadikan surau sebagai pusat aktivitas kehidupan masyarakatnya.

Surau bagi orang Minang bukan hanya sebatas tempat ibadah, tetapi juga sebagai tempat latihan untuk mempersiapkan generasi berikutnya, menjadi wadah melakukan aktivitas belajar dan bermain. Disini jugalah laki-laki Minang dipersiapkan untuk menjadi pribadi yang siap menanggung beban dan amanah di kemudian harinya.

Tradisi tidur di surau semenjak kecil hingga remaja telah menetralisir rasa manja, berbagai pengaruh buruk, sehingga membentuk karakter dan sikap mandiri anak Minang agar tidak selalu ‘mengekor’ orang tuanya.

Anak laki-laki yang tidur di rumah orang tua menjadi bahan tertawaan teman-teman sebaya. Julukan sinis ini cukup memberi malu dan memukul mental, sehingga mereka selalu berusaha tidur di surau setiap malam.

Otoritas Pudar

Dalam perkembangannya, surau mengalami benturan-benturan yang sangat berpengaruh terhadap otoritas perannya sebagai pusat pendidikan masyarakat. Mulai dari politik etis yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda, modernisasi oleh kaum muda terhadap sistem pendidikan surau, sampai dengan modernisasi yang masih berlanjut sampai saat ini. Keadaan itu telah memberi kesempatan bagi berkembangnya budaya kapitalisme, dan menimbulkan sikap hedonisme dalam tradisi, kultur masyarakat Minangkabau.

Ternyata, proses panjang sejarah yang dialami surau telah memudarkan otoritas perannya sebagai pusat pendidikan bagi masyarakat. Kegiatan belajar di tempat ini tidak lagi diminati generasi mudanya. Masyarakat, khususnya para remaja lebih senang pergi ke mall, atau lapau daripada ke surau.

Kondisi itu diduga karena hilangnya fungsi surau sebagai pusat pendidikan di tengah masyarakat, hanya difungsikan semata-mata tempat ibadah, seperti shalat lima waktu dan seremonial keagamaan lainnya.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendekatkan kembali masyarakat dengan surau. Ada program kembali ke surau yang sampai saat ini belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Begitu juga dengan program maghrib mengaji di berbagai kabupaten dan kota di Sumatera Barat.

Hasilnya masih belum sesuai dengan harapan, bahkan terkesan mulai hilang. Oleh karena itu, upaya yang bisa dilakukan adalah mengembalikan fungsi surau dengan melakukan revitalisasi sebagai pusat pendidikan masyarakat, sehingga berimbas kepada keluarga di Minangkabau.

Revitalisasi fungsi surau dapat dilakukan dengan menyusun program berdasarkan kebutuhan belajar dari masyarakatnya. Sehingga program betul-betul menjawab kebutuhan dari masyarakat, bukan sekedar menyelesaikan program dan agenda yang ada. Karenanya ketika program disusun perlu melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam pelaksanaannya. Perlu adanya upaya untuk mendengarkan masukan dari berbagai pihak untuk pelaksanaan kegiatan yang sudah diagendakan.

Pelaksanaan program seharusnya juga melibatkan para pemimpin masyarakat yang disebut dengan tigo tungku sajarangan. Suatu jalinan koordinasi dan konsolidasi serta kerja sama pemuka adat (ninik mamak), cerdik pandai (cendikiawan), dan alim ulama. Hal ini tergambarkan dalam ungkapan; kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka nan bana, nan bana badiri dengan sendirinyo (kemenakan ber-raja kepada paman, paman ber-raja kepada yang benar, yang benar berdiri dengan sendirinya). Hal itulah yang disebut dengan alua jo patuik (alur dan patut). Tiga pondasi haruslah mampu berjalan seiring untuk mewujudkan program yang bernilai positif bagi masyarakat.

Selanjutnya yang tidak boleh lupa adalah adanya dukungan dari keluarga. Keluarga merupakan komponen sosial terkecil yang diharapkan mampu mendorong anak-anaknya untuk aktif dalam kegiatan yang diadakan di surau. Sehingga dengan memahami kebutuhan belajar masyarakat dan melibatkan keluarga dan berbagai pihak terkait, program yang dibuat akan mendapatkan dukungan penuh dari semua pihak dan revitalisasi fungsi surau sebagai pusat pendidikan masyarakat dapat diwujudkan.**

*Penulis, Dosen Jurusan PLS FIP UNP/Kandidat Doktor Pendidikan Masyarakat UPI Bandung
**Gambar fitur oleh Muhammad Afwan dari Pixabay

Next Post

[3] Ironi Nasib Laki-laki Minangkabau Sekarang

Bila seorang calon menantu bergelar Bagindo, nilainya dolar emas, dan jika ia Bagindo sekaligus dokter, sebuah mobil. (Kato,1982: 215).
Gambar oleh jwvein dari Pixabay

bakaba terkait