~ Meminggirkan yang Tradisional
Meminggirkan yang tradisional dan mempromosikan yang modern dianggap “membangun”, dan itulah misi yang sebenarnya dari pembangunan. Kekuasaan penghulu terhadap kemenakan adalah “tradisional”, karena itu tidak dapat dipertahankan seterusnya.
Kebangkrutan penghulu memang tidak disebabkan oleh faktor tunggal. Kebangkrutan itu hanya muara dari tekanan yang dialami paruik dari luar maupun dalam paruik itu sendiri. Tekanan dari luar paruik terkait dengan kebijakan pemerintah yang cenderung memarginalisasi sesuatu yang masuk ke dalam kategori “tradisional”, dan menggesernya dengan yang “modern”.
Pemberdayaan penghulu melalui program-program pelatihan adalah suatu hal yang musykil, tidak ada logika politiknya. Kekuasaan penghulu bahkan diintervensi melalui penataan lembaga desa serta pengebirian terhadap pelaksanaan hukum adat. Ketetapan penghulu terhadap penguasaan sebidang tanah oleh kemenakannya, misalnya, sangat mungkin dibatalkan oleh pengadilan tanpa bersandar kepada hukum adat.
Penghulu obyek dari proyek politik.
Penghulu memperoleh tekanan politik agar selalu menjadi perpanjangan tangan dan pembela kepentingan partai pemerintah ini. Akibatnya adalah konflik internal dalam paruik dan kaum lantaran tidak semua kemenakan dapat menerima tekanan politik Golkar.
Tak jarang ditemukan penghulu berbaju kuning (Golkar), kemenakan berbaju hijau (PPP) atau merah (PDI). Perbedaan partai ini, karena rendahnya afiliasi kepada konsep demokrasi modern di pihak aktivis partai maupun massa pendukungnya, mudah berubah bentuk menjadi perseteruan antara penghulu dengan kemenakannya sendiri.
Peminggiran mamak semakin terasa dalam proses pembangunan fisik maupun nonfisik. Mamak biasanya tidak diperhitungkan posisinya, kecuali bila terjadi hambatan di lapangan akibat ulah kemenakannya. Keadaan ini tidak berubah bahkan setelah rezim Orde Baru tumbang.
Dalam pelaksanaan proyek KUT (Kredit Usaha Tani) Reformasi dan JPS (Jaring Pengaman Sosial), misalnya, peran mamak sungguh-sungguh tidak jelas. Sehingga ketika terjadi penyelewengan atau kekeliruan prosedur pengusulan dan penggunaan dana JPS di tingkat masyarakat, mamak hanya dapat berdiam diri, jadi penonton. Selain tidak pernah dibawa serta, kebanyakan mereka juga tidak mengerti maksud dan tujuan serta akibat-akibat positif-negatif proyek tersebut bagi kemenakan-kemenakannya.
Manajemen Harta
Dari dalam paruik, faktor utamanya ialah ketidakmampuan penghulu mengoptimalkan penggunaan harta kolektif untuk kesejahteraan dan alat pengikat warga paruik. Karena rendahnya basis pendidikan penghulu, ia tidak mempunyai kesanggupan memotivasi kemenakannya memperbanyak harta kolektif.
Sebaliknya, ia membiarkan kemenakan —kadang-kadang dirinya sendiri– mengambil sebagian demi sebagian kekayaan kolektif untuk dijadikan kekayaan pribadi. Ketika harta kolektif tidak ada lagi, yang terputus bukan hanya moral kolektif yang mengikat sesama warga paruik, tapi sekaligus kewenangan kultural penghulu mengendalikan prilaku kemenakannya.
Kemenakan kehilangan perasaan segan kepada mamak. Penghulu juga kehilangan haknya menerima penghormatan dari kemenakan dalam bentuk kerja fisik. Manyarayo tidak lagi mudah dilakukan, sehingga penghulu kadang-kadang harus membayar orang lain untuk mengerjakan sesuatu yang ditabukan adat untuk dilakukan sendiri oleh penghulu, atau terpaksa mengerjakannya sendiri, padahal sebenarnya ia mempunyai banyak kemenakan.
Kehilangan Kewenangan
Sebagai mamak, penghulu semakin kecil kewenangannya menikahkan kemenakan perempuannya dengan laki-laki pilihan penghulu itu sendiri. Kemenakan perempuan cenderung mencari jodoh sendiri dengan alasan timbal balik: kemenakan tidak mau dijodohkan oleh mamak karena merasa tidak pernah diperhatikan hidupnya oleh mamak. Di pihak lain mamak membiarkan kemenakan menentukan sendiri calon suaminya karena merasa tidak pernah mengasuh dan membesarkannya.
Penghulu, seperti halnya juga para ulama, bukan lagi tipe orang yang mendapat prioritas untuk dijemput sebagai sumando, sekalipun “pasarnya” masih ada. Sumber-sumber kebanggaan masyarakat dan cara-cara mereka memperolehnya telah mengalami banyak perubahan.
Kini bersumando penghulu atau orang kebanyakan sama saja artinya kalau keduanya sama-sama tidak sanggup memberikan kemakmuran ekonomi kepada istrinya. Artinya juga sama andai keduanya sama-sama dapat memakmurkan kehidupan istrinya.
Kebanggaan yang berkait dengan keturunan sudah menyurut, digantikan tempatnya oleh pangkat, profesi, dan harta kekayaan. Tapi kombinasi gelar adat dengan gelar akademik lebih tinggi nilainya di mata calon mertua. Bila seorang calon menantu bergelar Bagindo, nilainya dolar emas, dan jika ia Bagindo sekaligus dokter, sebuah mobil. (Kato,1982: 215).
Motivasi agar ketularan kaya atau mendapatkan gantungan hidup dalam mencari jodoh sebenarnya sah-sah saja. Ketika sumber-sumber penghidupan didapati semakin menyusut, menikahkan anak gadis dengan pemuda dari keluarga kaya adalah strategi yang mudah diterima akal.
Tapi semakin menyebar penggunaan strategi ini semakin tampak kekurangmakmuran masyarakat, di samping adanya pandangan yang lebih buruk terhadap perempuan. Di balik strategi itu, diam-diam tersimpan anggapan bahwa anak gadis adalah tumbal untuk mengusir, atau setidak-tidaknya mengurangi kemiskinan.
Dengan melemahnya kaum dan paruik serta menguatnya kedudukan formal suami, sebenarnya institusi bako (keluarga ayah) memperoleh akses lebih besar masuk ke rumah tangga batih. Sejak lama telah banyak ditemukan adanya anggota keluarga ayah (seperti pak tuo, pak etek, ayah abak) yang memberi kontribusi kepada sebuah rumah tangga batih, baik dalam bentuk finansial maupun pengasuhan anak.
Tapi keterlibatan tersebut tidak berkembang karena tidak mempunyai landasan kultural untuk memainkan peranan yang lebih besar. Bantuan bako pada dasarnya diberikan karena alasan kemanusiaan dan persaudaraan, bukan karena adat.[Tamat]
*~Dr. Emeraldy ChatraPenulis, Dosen FISIP Universitas Andalas
**