Puasa untuk Aku, kata Allah. Puasa bukan untuk orang yang berpuasa, melainkan persembahan terbaik orang-orang yang beriman kepada Allah.
Sekalipun puasa untuk Allah, efek langsung puasa tersebut diperlihatkan Allah kepada orang orang yang berpuasa. Sebagai persembahan terbaik orang-orang yang beriman, puasa membentuk kesadaran jiwa manusia memahami keadaan dan perasaan orang-orang miskin dan kesusahan.
Seluruh nabi Allah berpuasa dan umatnyapun mengikuti sunnah nabinya, baik sebagai bentuk kesadaran akan hakekat bertuhan maupun bentuk ekspresi manusia memahami keadaan manusia lainnya.
Ketika Syech Abdul Qadir Jailani bertanya kepada Tuhan, apakah “makanan” kesukaan-Mu ya Rab, dijawab oleh Allah yaitu makanannya orang orang miskin. Apakah itu makanan orang miskin yaitu perasaan sedih karena berharap untuk mendapat makanan.
Bulan Ramadhan merupakan wadah yang disediakan Allah kepada orang-orang beriman untuk menyemai perasaan kesusahan dan kesedihan orang orang miskin. Sebab, melatih kesadaran kesusahan itu sangat sulit dan hanya melalui wadah yang disediakan Allah yang mungkin untuk melakukannya.
Baca juga: Memperlakukan Agama
Hati dan jiwa yang di berikan Allah pada manusia berhubungan langsung dengan Allah. Dan yang bisa membolak balikan hati itu hanya Allah, oleh karena itu cara yang paling tepat hanya dengan berpuasa.
Kewajiban berpuasa titik tekannya pada keinginan untuk menjadikan manusia bertaqwa yaitu manusia yang berkemampuan “memelihara” jiwa yang di dalamnya menjadi wadah dialog dan tanya jawab antara Tuhan dengan manusia.
Puasa bukan sekedar menahan lapar dan haus dan bukan pula sekedar tidak makan ataupun menahan diri untuk tidak melakukan kejahatan. Intinya berpuasa adalah menutup jiwa orang orang beriman dari proses penggodokkan selama Ramadhan yang dilakukan Tuhan terhadap hal-hal yang dapat merusak kemanusiaannya.
Secara filosofis, puasa untuk Tuhan, karena Tuhan sedang mengajak orang orang yang beriman “menahan” nafsu dan egonya agar konsisten dan optimal menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan untuk “menggodok” jiwa dan hati itu.
Penyerahan inilah yang disebut Al-Quran dengan “irjii ila rabbiki raadhiyatan mardhiyyah” kembalilah kepada Tuhan Mu dengan penuh keredhaan. Keredhaan atas kepatuhan untuk digodok terhadap hati manusia yang dilakukan selama Ramadhan.
Puasa untuk Tuhan itulah intinya bagi orang orang beriman. Puasa itu bentuk kepasrahan tertinggi orang orang beriman kepada Allah. Melalui penyerahan diri sepenuhnya sebagaiman terlihat dalam pelaksanaan puasa, orang orang beriman mendapatkan hakekat dirinya sebagai makhluk yang mulia ( insan kamil).
~ Irwan, S.H.I., M.H, Peneliti pada Pusat Kajian Portal Bangsa
~