bakaba.co | Bukittinggi | Gugatan niniak-mamak dari 40 Nagari AgamTuo, Agam ke PTUN Padang terkait diterbitkannya sertifikat tanah Pusat Pertokoan Pasar Atas Bukittinggi oleh BPN Bukittinggi, terus bergulir. Sekarang sudah sampai tahap sidang lapangan/lokasi.
Pelaksanaan sidang di lokasi oleh PTUN berlangsung Selasa ini, 22 September 2020 di kawasan Pasar Atas Bukittinggi. Sidang menghadirkan para pihak yakni niniak mamak sebagai pelapor (baca: penggugat) dan pihak (penguasa) Kantor BPN (Badan Pertanahan Nasional) Bukittinggi sebagai terlapor (baca: tergugat).
Dalam sidang lokasi Niniak Mamak sebagai penggugat didampingi penasehat hukum oleh Didi Cahyadi Ningrat, SH, Fanny Fauzi, SH.,M.H., Khairul Abbas, SH., S.Kep, MKM, Budi Amrilius, SH. Pihak tergugat yakni BPN Bukittinggi turut hadir di lapangan. Juga terlihat menyaksikan beberapa aparat Pemko Bukittinggi dan Aparat kepolisian dari Polresta Bukittinggi dihadirkan untuk menjaga kelancaran dan keamanan proses sidang lapangan PTUN.
Majelis Hakim PTUN Padang yang melakukan sidang lapangan dipimpin Hakim Ketua Fajri Citra Resmana, SH., M.H dengan dua Hakim Anggota Miftah Sa’ad Chaniago, SH , M.H. dan Puan Adria Ikhsan, SH., M.Kn serta panitera penganti Ummiya Aslama Darma, SH.
Proses sidang di lokasi dimulai sekitar pukul 10.30 WIB dan berakhir sekitar pukul 12.30 WIB. Sidang diawali majelis hakim PTUN dengan memastikan para pihak, penggugat dan tergugat hadir.
Didi Cahyadi Ningrat mewakili kuasa hukum Niniak Mamak Agam Tuo saat diwawancari bakaba.co, Selasa, 22 September 2020 mengatakan, proses sidang lapangan saat ini sesuai dengan gugatan di PTUN atas terbitnya Sertifikat Hak Pakai 21 Tahun 2018 yang dikeluarkan BPN Kota Bukittinggi untuk Pemerintah Kota Bukittinggi.
Didi menilai, pihaknya dapat memastikan bahwa yang dimaksud Pasar Atas sama dengan yang digugat ke PTUN Padang seluas 18.740 M2. Sidang lapangan mencocokan batas-batas tanah dalam Sertifikat Hak Pakai 21 tahun 2018 tersebut. Pasar Serikat yang kita dalilkan lebih luas dari Sertifikat Hak Pakai yang diterbitkan sekarang.
“Dalam proses sidang lapangan bisa kita lihat adanya tumpang-tindih antara batas tanah dengan Sertifikat Hak Milik masyarakat,” ujar Didi Cahyadi Nigrat pada bakaba.co
Didi menambahkan, dari sidang lapangan yang sudah dijalankan bahwa pengajuan alas hak oleh Pemko Bukittinggi sebagai dasar terbitnya Sertifikat Hak Pakai oleh BPN Kota Bukittinggi terdapat perbedaan signifikan.
“Ada batas sepadan di titik Utara Janjang 40, titik Selatan Jam Gadang, titik Barat pertokoan Jalan Minangkabau, titik Timur pertokoan belakang Pasar terjadi pergeseran tarikan ukuran oleh BPN Kota Bukittinggi,” kata Didi.
Akibat dari perbedaan tersebut, ada warga yang komplain karena masuknya pertokoan mereka menjadi titik tarikan ukur oleh petugas BPN. “Pemilik toko tidak tahu esensinya maka kita akan minta sertifikat yang mereka miliki sebagai bukti saat persidangan dikarenakan pertokoan mereka masuk dalam titik ukur saat sidang lapangan,” ujar Didi Cahyadi Ningrat.
Kegiatan sidang lapangan selesai saat azan dhuhur bergema. Hakim menutup sidang dengan pesan kepada pihak BPN sebagai tergugat : “Dalam sidang lanjutan, Sertifikat Hak Pakai yang diterbitkan tergugat dihadirkan sebagai bukti. Kami (majelis hakim) membebankan kewajiban menghadirkan Sertifikat Hak Pakai tersebut kepada tergugat. Sebab, Pemda tidak ikut sebagai tergugat dalam perkara ini,” tegas Hakim Ketua Fajri
Baca juga: Kepala BPN: Soal Sertifikat Tanah Pasar Atas, itu Tanggung Jawab Sekda
Suaro Tetua
Asbir Dt. Rajo Mangkuto yang lahir pada tahun 1934 dan selaku Wali Nagari Simarasok pada periode tahun 1955 hingga 1958 pada bakaba.co, Selasa 22 September 2020 mengatakan, dia termasuk salah seorang pengelola Pasar Serikat dari 40 Nagari Agam Tuo. Hasil dari pengelolaan pasar serikat tersebut dibagi pada 40 Nagari termasuk Nagari Kurai Lima Jorong sendiri. Yang bisa menjadi Pengelola Pasar Serikat 40 Nagari tersebut adalah Walinagari yang dipilih secara mufakat oleh 40 Nagari Agam Tuo. Kantor pengelola Pasar Serikat 40 Nagari Agam Tuo ada di pasanggrahan.
“Setiap nagari yang ada di Agam Tuo mendapatkan hasil dari pengelolaan pasar serikat tersebut. Untuk Nagari Simarasok sendiri telah dibangun jembatan besi, jambatan gadang di Jorong Sungai Angek, Jembatan Bukik Kacang. Hal itu adalah bukti konkrit dari pembagian hasil Pasar Serikat, dan setiap 40 Nagari Agam Tuo mendapatkan hal yang sama,” ujar Asbir Dt. Rajo Mangkuto.
Asbir juga menambahkan bahwa tanah Pasar Ateh yang dijadikan Pasar Serikat dibeli dengan uang kontan oleh 40 Nagari Agam Tuo di saat itu. Di mana, 40 Nagari Agam tuo semuanya menyetorkan uang untuk pembelian tanah pasar serikat. Semuanya dibayar kontan pada pemilik tanah di saat itu. Menurut Undang-Undang yang dipakai saat itu adalah adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Ditambah dasarnya surat Al-Baqarah Ayat 282. artinya apabila tanah tersebut dibeli kontan maka ijab qabulnya cukup dengan bersalaman saja antara pembeli dengan penjual.
“Apabila pembelian tanah tidak kontan maka akan ditulis dalam bentuk utang piutang. Jadi lihatlah arti dari surat Al Baqarah tersebut,” ujar Asbir Dt. Rajo Mangkuto pada bakaba.co
Edi Palimo selaku tokoh masyarakat Kurai juga melihat langsung sidang lapangan yang dilaksanakan PTUN Padang. Pada bakaba.co, Edi Palimo menjelaskan bahwa proses hukum adalah bukti apa yang selama ini dikuatirkan Niniak Mamak Agam Tuo yang di dalamnya juga termasuk Nagari Kurai bahwa tanah Pasar Ateh telah berpindah menjadi aset Pemko Bukittinggi.
“Saya berharap proses hukum ini cepat selesai agar sejarah Agam Tuo ini tidak berubah begitu saja oleh kerakusan segilintir orang. Adanya sidang lapangan adalah bentuk bukti nyata bahwa proses penerbitan sertifikat tidaklah benar. Kita hormati proses hukum yang sedang berjalan,” ujar Edi Palimo pada bakaba.co
Sejarah Tanah dan Pasar
Pasar Atas berupa Pasar Serikat Agam Tuo telah ada jauh sebelum kolonial Belanda masuk ke Nagari Kurai sebagai salah satu Nagari di Agam Tuo, Luhak Agam.
Bangunan Pasar Serikat berupa los-los yang diberi nama sesuai nama nagari-nagari di Luhak Agam. Jauh sebelum Belanda masuk ke Kurai/Bukittinggi, Pasar Serikat Agam Tuo sudah jadi sentral perekonomian di daerah Minangkabau daratan. Tahun 1784 di Pasar Serikat Agam Tuo, niniak-mamak Agam Tuo bermusyawarah menyepakati penggantian nama kawasan pasar yakni dari Bukik Kubangan Kabau atau Bukik Kandang Kabau menjadi Bukik nan Tatinggi. Tahun 1784, tepatnya tanggal 22 Desember, menjadi patokan dan dijadikan tanggal lahirnya nama Bukittinggi.
Dalam sejarahnya, usai Perang Padri (1821-1838) Belanda di Luhak Agam yang berbasis di Nagari Kurai mulai menata pemerintahannya. Pasar Serikat Agam dikelola Belanda, catatan sejarah mengungkapkan, hal itu terjadi melalui musyawarah niniak-mamak Agam Tuo. Tahun 1937, ada perjanjian niniak-mamak Agam Tuo dengan Belanda (Gemeente Fort de Kock = pemerintah Fort de Kock/Belanda) yang memberi izin Pasar Serikat Agam Tuo dikelola Gemeente Fort de Kock. Pemerintah Belanda membayar hasil pengelolaan Pasar Serikat kepada nagari-nagari di Agam Tuo melalui pengurus Komite Pasar/Sarikat Haq. Hal itu berlangsung sampai Belanda kalah. Kemudian Jepang berkuasa 2,5 tahun. Di setiap zaman penjajahan: Belanda, Jepang dan merdeka, komite Pasar Serikat yang ditunjuk mewakili 40 Nagari tetap ada, dan aktif. Tanah Pasar Serikat Nagari Agam Tuo tidak pernah berubah atau pindah kepemilikan atau dihibahkan ke pihak lain, baik pemerintah/negara; Belanda, Jepang maupun pemerintah Republik Indonesia.
Tahun 1972 Pasar Serikat Agam Tuo terbakar. Ketika dibangun kembali di bawah koordinasi pemerintah kota, selesai tahun 1974/1975, status tanah tidak berubah; tetap sebagai tanah eks. Pasar Serikat Agam Tuo. Sampai tahun 2016, tanah Pasar Atas eks. Pasar Serikat Agam Tuo tidak tercatat di data pemerintah kota Bukittinggi sebagai aset kota, maupun aset pemerintah pusat/negara.
Seperti diketahui, tanggal 30 Oktober 2017 Pertokoan Pasar Atas Bukittinggi terbakar. Tanah Pasar Atas Bukittinggi milik bersama Serikat 40 Nagari Luhak Agam-Tuo diklaim secara sepihak oleh Sekda Kota Bukittinggi Yuen Karnova bahwa Tanah Pasar Atas adalah tanah negara. Surat Pernyataan Nomor : 590.23/DPUPR-PTNH/I-2018, bertanggal 7 Januari 2018 menyatakan: bahwa pemerintah Kota Bukittinggi telah menguasai sebidang Tanah Negara yang berasal dari bekas Pasar Fonds sejak tahun 1945. Lokasi di Pasar Atas, Kelurahan Benteng Pasar Atas, Bukittinggi, luas tanah 18.740 m2. Surat Sekda itu diikuti Surat Keterangan Lurah Benteng Pasar Atas yang tanggalnya sama; 7 Januari 2018.
Surat Sekda dan Lurah itu yang dijadikan sebagai dasar mengajukan diterbitkannya sertifikat tanah Pasar Atas ke BPN Bukittinggi. Dalam waktu kurang satu bulan, Februari 2018, BPN menerbitkan sertifikat Pasar Atas Nomor 21 Tahun 2018. BPN Bukittinggi waktu sertifikat diterbitkan dipimpin Yulindo, SH., yang setelah pensiun akhir tahun 2018 diangkat sebagai Dewan Pengawas PDAM Bukittinggi oleh Walikota Bukittinggi Ramlan Nurmatias.
Tanggapan BPN
Novita Cahya Kusuma, S.ST, M.H., selaku Kepala Seksi Penanganan Masalah & Pengendalian Pertanahan BPN Kota Bukittinggi yang didampingi Panji Satria Azril, SH selaku Kepala Sub. Seksi Sengekta BPN Bukittinggi pada bakaba.co, Rabu, 23 September 2020 di ruang kerjanya mengatakan, BPN Bukittinggi mengikuti saja alur persidangan yang telah bergulir saat ini di PTUN Padang.
“Proses BPN dalam menerbitkan sertifikat berdasarkan pengajuan permohonan yang dilakukan oleh Pemko Bukittinggi. Tentu hal tersebut telah masuk menjadi warkah BPN dan tidak ada perubahan sama sekali,” ujar Novita secara singkat pada bakaba.co.
| Fadhly Reza/bakaba