Penulisan Tambo Nagari

redaksi bakaba

Tambo berasal dari bahasa Sanskerta, tambay yang artinya bermula. Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, tambo merupakan suatu warisan turun-temurun yang disampaikan secara lisan.

Gambar oleh Predra6_Photos dari Pixabay
Gambar oleh Predra6_Photos dari Pixabay
Muhammad Nasir - bakaba.co
Muhammad Nasir

Tambo – Kongres Sejarah Minangkabau yang diselenggarakan di Bukittinggi, 16-18 Desember 2018 lalu telah melahirkan resolusi, tentang pengkajian dan penulisan kembali sejarah Minangkabau secara total dan komprehensif dengan periodesasi yang lengkap dari perspektif orang Minangkabau sebagai tokoh.

Tujuannya ada beberapa, yaitu pertama, untuk penguatan identitas Minangkabau sebagai salah satu identitas bangsa.

Kedua, mengangkat kembali tambo sebagai sumber sejarah Minangkabau yang bermartabat sekaligus mengungkapkan aksara Minangkabau tua sebagai aksara penulisan tambo.

Ketiga, penulisan sejarah nagari dilakukan oleh anak nagari dengan metode ilmiah. Konsekuensinya, perlu dilakukan bimbingan teknis penulisan sejarah nagari untuk anak nagari di seluruh Sumatera Barat.

Keempat, memperkuat pembelajaran sejarah Minangkabau sebagai sarana pewarisan nilai-nilai kesejarahan untuk semua lapisan masyarakat.

Bisiak lah kalampauan, imbau lah kadangaran. Usai kongres, belum lagi peserta keluar dari pintu hotel Royal Denai Bukittinggi, tempat acara itu dilaksanakan, muncul lagi diskusi ringan khas orang Minangkabau, yaitu tentang kekuatan Tambo sebagai sumber sejarah Minangkabau, dan apakah ada aksara Minangkabau.

Tapi sudahlah, sementara abaikan saja bagian ini. Di tengah pro-kontra alih media tambo dari langgam lisan ke bentuk tulisan lebih menarik untuk didiskusikan. Karena di balik niat menuliskan tambo itu ada tujuan mulia, yaitu mewariskan adat dan kebudayaan.

Penulisan Tambo Minangkabau

Ada banyak definisi Tambo. Kata Dt Sangguno Diradjo (1954), Tambo berasal dari bahasa Sanskerta, tambay yang artinya bermula. Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, tambo merupakan suatu warisan turun-temurun yang disampaikan secara lisan.

Secara umum dapat dikemukakan bahwa fungsi utama cerita Tambo Minangkabau adalah untuk menyatukan pandangan orang Minangkabau terhadap asal-usul nenek moyang, adat, dan negeri Minangkabau. Hal ini dimaksudkan untuk mempersatukan masyarakat Minangkabau dalam satu kesatuan. Mereka merasa bersatu karena seketurunan, seadat dan se-nagari.

Dalam teorema Minangkabau, transmisi pesan dari zaman ke zaman ini disampaikan dalam bentuk warih bajawek, tutua didanga. Sebagai alat verifikasi kebenaran cerita, dalam proses pewarisan ini diperlukan ingatan yang kuat agar terhindar dari kesalahan sekecil apapun. Sabarih bapantang lupo, satitiak bapantang hilang.

Namun, apa daya. Hampir setiap seminar dan diskusi tambo Minangkabau muncul keluhan dan kekhawatiran akan hilangnya sejarah Minangkabau dari ingatan melalui hilangnya tambo dari kepala orang Minangkabau. Lalu, terangan-anganlah melestarikan ingatan (tambo) itu kembali dalam ragam tertulis. Tujuannya agar terhindar dari petaka seperti ‘guru mati kitab lah hilang, sasek ka sia ditanyokan’. Kongres Sejarah Minangkabau yang ditaja tahun 2018 yang lalu itu, salah satu majelis yang merekam kekhawatiran itu.

Dinas Kebudayaan Propinsi Sumatera Barat yang memfasilitasi kongres tersebut menilai, di tengah kegalauan masyarakat akan hilangnya adat dan kebudayaan Minangkabau digilas budaya global, maka tambo sebagai warisan budaya tak benda masyarakat Minangkabau adalah salah satu yang paling mungkin untuk diselamatkan segera.

Gagasan penulisan bukanlah ide baru. Jauh sebelum kongres sudah ada berbagai jenis tambo tertulis. A. Dt Batuah dan A Dt. Madjoindo (1957) menyebutkan penulisan tambo Minangkabau, pertama kali dijumpai dalam bentuk aksara Arab dan berbahasa Melayu. Sedangkan penulisan dalam bentuk latin baru dikenal pada awal abad ke-20.

Naskah yang sudah ditemukan adalah 83 naskah. Sheiful Yazan dalam disertasinya berjudul ‘Sistem Pewarisan Nilai Adat dalam Pendidikan Melalui Tambo Minangkabau dalam Pasambahan’ menemukan 92 naskah dari 92 penulis. Penulis yakin, di zaman sekarang sejak era pemerintahan nagari, jumlah tambo tertulis, pasti lebih banyak. Menurun Sheiful Yazan, rata-rata maksud penulisan itu adalah untuk mengoesahakan boekoe adat.

Judulnya bervariasi, antara lain Undang-Undang Minangkabau, Tambo Adat, Adat Istiadat Minangkabau, Kitab Kesimpanan Adat dan Undang-Undang, Undang-Undang Luhak Tiga Laras, dan Undang-Undang Adat.

Berdasarkan uraian di atas, semestinya usaha untuk mangaliah media tambo dari tradisi lisan ke bentuk tertulis bukanlah hal yang terlarang dan sia-sia.

Penulisan Tambo Nagari

Tahun 2019 ini saya mendapat tantangan memfasilitasi penulisan Tambo Nagari Pakan Rabaa Timur Kecamatan Koto Parik Gadang di Ateh, Solok Selatan. Tugas yang berat dan tak sederhana. Apalagi nagari ini adalah nagari pemekaran. Wali Nagari Pakan Rabaa Timur meminta dukungan kepada Pusat Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang.

LPM UIN Imam Bonjol lalu membentuk tim penulisan Tambo Nagari Pakan Rabaa Timur. Metode yang digunakan adalah metode partisipatif. Tim penulis tugasnya hanya menulis apa yang dikatakan oleh masyarakat. Sesekali memberi argumen pembanding dan mendinginkan suasana bila debat terlalu panas.

Isi tambo mengikut kepada isi tambo secara umum mengikut pembagian tambo Minangkabau secara umum, tambo alam, yang mengisahkan asal-usul nenek moyang Nagari Pakan Rabaa Timur serta ulayat nagari yang didiaminya, serta Tambo adat, yang mengisahkan adat, sistem pemerintahan, dan undang-undang tentang pemerintahan adat yang akan diupayakan penerapannya di nagari Pakan Rabaa Timur.

Nagari ini mulai dihuni sejak tahun awal kemerdekaan Indonesia dan mulai ditaruko zaman Jepang. Nagari baru tentunya. Rencana penulisan ini berangkat dari kesadaran anak nagari bahwa profil nagari yang sudah ada sekarang sama sekali jauh dari aroma Minangkabau. Apalagi sejak giatnya upaya babaliak ba-nagari dalam maksud mengaktifkan kembali norma dan fungsi-fungsi pemangku adat dalam pemerintahan nagari, diperlukan kejelasan status nagari sebagai nagari adat yang memiliki ulayat dan hukum adat yang mandiri. Termasuk melibatkan pemangku adat sebagai mitra dalam membangun nagari.

Alasan lainnya adalah agar generasi berikutnya mengetahui Alam Minangkabau serta adatnya, sejarah nagarinya, asal-usul suku dan dari mana migrasinya, serta mencatat adat istiadat dan tradisi lokal yang berkembang di nagari tersebut.

Bagian yang paling menarik dari tujuan penulisan ini versi masyarakat setempat adalah debat mengenai tradisi mana yang harus dipertahankan, dibuang dan dikembangkan sesuai dengan falsafah Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah I(ABS-SBK).

Buku Tambo Adat ini hampir rampung. Sudah ditulis namun masih perlu diketengahkan dalam forum musyawarah (duduak baropok) niniak mamak, alim ulama serta cadiak pandai Nagari Pakan Rabaa Timur. Sebab, Tambo Nagari adalah cara anak nagari tersebut mendeskripsikan diri dan masyarakatnya. Selain itu, merekalah yang akan memakai tambo adat itu, terutama pada bagian-bagian yang terkait hukum adat.

Meskipun ada kesadaran bahwa tambo ini belum sempurna, para pemangku adat dan tokoh masyarakat lainnya menerima tambo ini dengan senang hati. Tentang ketidaksempurnaan ini mereka maklumi, sebab ada hukum kearifan lokal Minangkabau yang mereka warisi turun temurun: Singkek samo diuleh, kurang samo ditukuak. Kok rusuah bapujuak, tagamang bajawek. Kok mandapek samo balabo, kailangan samo marugi. [*]

*Penulis, Muhammad Nasir, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol, Padang, muhammadnasir@uinib.ac.id
**Gambar oleh Predra6_Photos dari Pixabay

Next Post

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck: Hamka, Sastra dan Orang Minang

Buya Hamka adalah orang Minang yang juga banyak menulis novel yang memperkenalkan budaya Minang, adalah kekeliruan bila Buya Hamka digolongkan sebagai angkatan Balai Pustaka.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wyck - HAMKA

bakaba terkait