~ Delianur
Sebagaimana pakar dan pemerhati selalu berbeda dalam merumuskan sebuah definisi, begitu juga ketika mereka merumuskan periodisasi sebuah tema. Selalu ada perbedaan bahkan pertentangan. Seperti ketika para pakar dan pemerhati merumuskan periodisasi perkembangan kesusastraan Indonesia. Ada yang membuat periodisasi memakai kronologi waktu saja, ada juga yang membuat periodisasi dengan mensisipkan nama dari dari setiap periode itu.
Namun dalam hal perjalanan kesusastraan di Indonesia, dari sekian periodesasi waktu yang dirumuskan, ada satu periode yang kerap disebut sebagai generasi Balai Pustaka. Sebuah periodisasi kesusastraan Indonesia yang muncul sebelum masa-masa kemerdekaan, sekitar tahun 1920an. Di antara karyanya yang kerap disebut orang meskipun orang tidak membaca bukunya, adalah Siti Nurbaya karangan Marah Rusli dan Si Doel Anak Anak Betawi karangan Aman Datuk Madjoindo, yang sudah diadaptasi menjadi sinetron dan film berjudul Si Doel Sekolahan.
Secara umum orang sering menggambarkan bahwa angkatan Balai Pustaka muncul setelah angkatan Pujangga Lama dan Sastra Melayu Lama. Nama Balai Pustaka sendiri muncul karena ini berkaitan dengan sebuah perusahaan penerbitan dan percetakan milik negara.
Balai Pustaka awalnya didirikan oleh Commissie voor de Inlansche School en Volkslectuur (Komisi Untuk Bacaan Rakyat) pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908. Lembaga ini didirikan Belanda untuk menjaga bahasa daerah utama di Hindia Belanda dan sudah menerbitkan ratusan buku seperti kamus, referensi, keterampilan, sastra, sosial, politik dll.
Sekarang status Balai Pustaka adalah BUMN yang konon terus merugi yang secara bisnis, mestinya dilikuidasi. Namun tidak dilikuidasi karena ini berkaitan dengan sejarah.
Melalui Balai Pustaka inilah kemudian karya-karya sastra tahun 1920an dicetak, diterbitkan dan didistribusikan. Inilah yang tidak terjadi dengan karya sastra sebelum angkatan Balai Pustaka. Tidak ada percetakan dan penerbitan yang mencetak dan mendistribusikan buku sastra sebelumnya.
Contohnya, dalam priode Sastra Melayu lama ada sebuah karya sastra berjudul Hikayat Siti Mariah yang ditulis Hadji Moekti. Kita akan mengetahui membaca keberadaan karya ini ketika membaca (tetralogi) Bumi Manusia-nya Pramoedya. Ketika Minke bertemu dengan Hadji Moekti yang memberikan alternatif baru dalam melihat lapisan masyarakat Indonesia yang tidak hanya bisa dilihat antara pribumi dan penjajah saja.
- Baca juga: Perawan Dalam Cengkraman Militer
Namun bila kita baca novel tersebut, Pram yang menjadi editor buku itu menceritakan kesulitannya ketika mengumpulkan cerita bersambung yang dimuat di Medan Priyayi selama 2 tahun dalam sebuah kesatuan utuh yang bisa dibukukan. Pramoedya mesti meminta bantuan Benedict Anderson untuk melacak keberadaan tulisan Hadji Moekti di perpustakaan kampus Amerika. Pramoedya juga meminta bantuan temannya seorang Guru Besar di Belanda untuk melacak ceceran karya Hadji Moekti ini di Leiden. Kejadian yang tidak dialami oleh angkatan Balai Pustaka.
Namun terlepas dari keberadaan Balai Pustaka yang menopang penerbitan karya sastra pada tahun 1920an, kalau kita perhatikan profil penulis-penulis angkatan Balai Pustaka, selain Merari Siregar, maka hampir semuanya adalah urang awak. Penulis seperti Tulis Sutan Sati, Abas Sutan Pamuntjak Nan Sati, Nur Sutan Iskandar, dari namanya sudah bisa prediksi asal mereka
Saya belum membaca semua karya sastra Angkatan Balai Pustaka, namun besar dugaan saya bila kita melihat latar belakangnya, maka geografis dan kondisi budaya Minangkabau atau setidaknya perspektif orang Minangkabau dalam melihat realitas sosial, akan menjadi hal dominan. Setidaknya ini terlihat kalau kita mengingat kembali cerita tentang Siti Nurbaya yang mashur itu.
Melalui novel ini, orang bisa mengetahui posisi dan relasi adat dengan perempuan dalam masyarakat Minang. Kita juga mengetahui satu gelar adat yang mempunyai posisi penting dalam masyarakat Minang yaitu Datuk, karena akan terkenang dengan nama Datuk Maringgih. Namun pastinya tidak seluruhnya seperti itu. Setidaknya buku Si Doel Anak Betawi yang ditulis Aman Datuk Madjoindo adalah cerita tentang anak Betawi bukan tentang orang Minang.
Ketika melihat angkatan Balai Pustaka dominan diisi hampir 100 persen orang Minang, saya agak berimajinasi. Dalam imajinasi saya, jangan-jangan bila supremasi budaya orang Minang ini dilanjutkan dengan supremasi politik, maka isu yang terjadi di Indonesia ini mungkin bukan tentang Jawanisasi, tetapi Minangisasi. Terlebih secara politik, banyak orang Minang yang merupakan elite politik Indonesia pada masa-masa pembentukan negara ini.
Kalau Orde Baru memperkenalkan sistem pemerintah Desa yang diadopsi seluruh wilayah Indonesia, bisa jadi kalau orang Minang berkuasa maka sistem Nagari lah yang diadopsi. Secara akademik, bila analisis sosial politik Indonesia sering membagi masyarakat Indonesia kepada Santri-Abangan, sebagai sebuah temuan penelitian di masyarakat Jawa, bisa jadi kalau orang Minang yang berkuasa, maka isyu nya bukan Santri-Abangan tapi orang Siak (karakter yang lebih mendekati Santri) dan orang Parewa (karakter yang lebih mendekati abangan)
Tapi sebagaimana diketahui, orang Minang yang pada masa-masa awal kemerdekaan merupakan elit politik penting, tidak bersambung ke masa Orde Baru. Presiden Orde Baru dikenal orang yang sangat teguh memegang filosofi dan leadership Jawa ketika memimpin.
Kembali ke Balai Pustaka
Meski angkatan Balai Pustaka dominan diisi oleh orang Minang sementara Buya Hamka adalah orang Minang yang juga banyak menulis novel yang memperkenalkan budaya Minang, adalah kekeliruan bila Buya Hamka digolongkan sebagai angkatan Balai Pustaka. Bersama Sutan Takdir Alisyahbana, para pemerhati mengategorikan Hamka masuk dalam angkatan Pujangga Baru. Sebuah generasi yang melakukan koreksi terhadap angkatan Balai Pustaka yang dianggap kerap melakukan sensor tulisan yang berkaitan dengan nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.
Hal yang menarik dari Hamka adalah posisinya sebagai agamawan yang menulis roman kisah kasih antar anak muda. Seorang agamawan menulis karya sastra mungkin sudah biasa. Terlihat pada sosok Abdoel Moeis aktivis Syarekat Islam yang menulis novel Salah Asuhan. Namun agamawan menulis novel bertema percintaan antar anak muda, mungkin waktu itu baru Hamka. Tidak aneh bila Hamka pun mengatakan bahwa pada masa itu, banyak orang yang mempertanyakan Hamka kenapa menulis tema seperti itu.
Berkaitan dengan filmnya, dibandingkan dengan visualisasi novel Di Bawah Lindungan Ka’bah, film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, jauh berbeda. Terlihat ada “niat” untuk menjadikan ini sebagai film bagus. Bukan hanya bisa dilihat dari durasi yang lebih panjang serta membuat soundtrack, di film ini juga tidak ditemukan hal yang janggal seperti dalam film Di Bawah Lindungan Kabah di mana orang Minang pada tahun 1920an, memakai Baygon untuk mengusir nyamuk dan cemilannya adalah Chocolatos dan Kacang Garuda
Masalah ketidak-akuratan visualisasi film dengan novel, sepertinya memang seperti itulah novel yang difilmkan. Selalu tidak sama antara novel dan film. Saya saja yang menunggu visualisasi Lubuak Mato Kucing dalam film, untuk mengenang masa dulu bermain-main di sana, agak janggal dengan yang ada di film. Begitulah.**
*Penulis, mantan Ketua PB PII, berasal dari Agam
**Gambar fitur courtesy of Balai Pustaka