~ Dr. Wendra Yunaldi, S.H., M.H.
Soekarno dengan tegas telah menyatakan bahwa jiwa Pancasila itu digali dari nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Sebagai gagasan politis yang disampaikan dalam pidato-pidato pada sidang BPUPKI semenjak Maret 1945, Soekarno, Moh. Yamin, dan Soepomo ingin menjadikan dasar falsafah bangsa adalah pandangan yang tumbuh dan hidup pada bangsa sendiri, bukan semata-mata pandangan politik.
Negara-negara modern membangun falsafah mereka berdasarkan tatanan nilai sosial yang terbangun dalam bangsa tersebut, German, Inggris, Amerika, Jepang dan Arab Saudi telah mengukuhkan tradisi peradaban mereka yang tumbuh dinamis sebagai sistem yang menopang bangunan negara-bangsa yang mereka deklarasikan.
Hasil perahan pemikiran para filsuf, yang dengan intens menggali kesadaran kolektif yang membentuk sikap kebersamaan serta penolakan terhadap tindakan-tindakan intimidasi dan tekanan yang mendistorsi kemerdekaan dan kebebasan individu. Welstanchaung, world view, ideologi dan sebagainya itu mengkristal menjadi common sense yang mencitrakan mereka dengan identitas-identitas kolektif.
- Baca juga: Pancasila dan Revolusi Industri 4.0
Penegasan Soekarno dan tokoh penggagas Pancasila lainnya untuk memilih nilai sendiri, dengan mengabaikan tatanan nilai dan etika bangsa-bangsa lain merupakan salah satu bentuk dari konkretisasi kemerdekaan dan kebebasan dari penjajahan yang bersifat ideologis.
Etika Pancasila menurut Soekarno adalah filsafat moral atau filsafat kesusilaan yang berdasarkan atas kepribadian, ideologi, jiwa dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Etika relegius, sosial, kehidupan, politik, ekonomi, dan kepemimpinan yang tumbuh marak dalam tatanan kesatuan masyarakat nusantara, baik pada level Desa, Nagari, Gampong, Wanua, dan Marga asli tumbuh dari relasi sosial manusia Nusantara (Indonesia) dengan alam jagad semesta mikro kosmisnya.
Dalam pemikirannya, M. Yamin menyebutkan (1) Peri Kebangsaan, (2) Peri Kemanusiaan, (3) Peri Ketuhanan, (4) Peri Kerakyatan, dan (5) Kesejahteraan Rakyat atau Keadilan.
Soepomo dengan mengacu kepada berbagai teori bernegara dalam aliran pikiran individualis, golongan, dan integralistik, menawarkan dasar negara Indonesia dengan ; (1) Persatuan, (2) Kekeluargaan, (3) Keseimbangan Lahir dan Batin, (4) Musyawarah, dan (5) Keadilan Rakyat.
Berdasarkan pandangan filosofis Soekarno mengenai keberadaan nilai dan filsafat moral sebagai bentuk kepribadian bangsa Indonesia, menurutnya ada lima sendi, yaitu ; (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau Kemanusiaan, (3) Mufakat, (4) Kesejahteraan Sosial, dan (5) Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pandangan ini, sekalipun disampaikan dalam rapat politik pada persidangan BPUPKI, gagasannya itu oleh Soekarno disebut bukan keputusan politik, melainkan kesadaran jiwa bangsa yang menjadi fondasi masa depan bangsa Indonesia. Sebagai keputusan yang direduksi dari kesadaran jiwa bangsa, maka Pancasila harus menjiwai bangunan negara-bangsa Indonesia.
Melalui prinsip-prinsip yang menopang bangunan negara-bangsa Indonesia, gagasan M. Yamin, Soepomo, Hatta, KI Bagoes Hadikoesoemo dan Soekarno, maka Indonesia dengan jelas membangun platform bernegaranya ala “ jiwa Indonesia sendiri”, yang tidak berbentuk negara liberal, negara agama dan maupun monarki.
Penegasan para the founding father di atas, inilah yang oleh Ralph Linton sebut dalam bukunya The Study of Man (1936) sebagai masyarakat dengan kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batasan-batasan tertentu. Dan batasan itu adalah lima (5) sendi atau Pancasila yang bukan konsepsi politik semata. Melainkan kenyataan sosial yang telah tertanam pada sanubari bangsa-nusantara jauh sebelum lahirnya negara Indonesia.
Kesadaran yang terbangun melalui jiwa bangsa inilah, kemudian penafsiran terhadap Pancasila, baik yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan liberal, agama ataupun ideology asing akan bertabrakan dengan Pancasila. Pancasila mesti ditempatkan secara ekslusif sebagai hasil kesadaran pluralistik yang distingtif. Pancasila merupakan puncak piramida peradaban Indonesia, karenanya susunan yang terdiri dari suku, budaya, agama, paham, ideologi dan sebagainya itu mengerucut kepada Pancasila.
*Penulis, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat