Merdeka di Dunia Maya

redaksi bakaba

Rakyat Indonesia menggunakan internet rata-rata 7 jam per hari. Melewati angka global yang hanya 6-7 jam per hari. Masih ada 46 persen lagi rakyat Indonesia yang belum mengakses internet

dunia maya - Image by Sasin Tipchai from Pixabay
Image by Sasin Tipchai from Pixabay
Dr. Abdullah Khusairi, MA.
Dr. Abdullah Khusairi, MA

Alhamdulillah. Republik Indonesia telah memasuki usia 75 tahun. Kemerdekaan yang patut disyukuri oleh siapapun “atas rahmat Allah SWT dan didorong oleh keinginan luhur” ini. Kita juga harus bangga dengan negara-bangsa (nation-state) yang berdaulat di kaki sendiri.

Dampak Covid-19, peringatan HUT 75th RI digelar dengan protokol kesehatan dan ketersiarannya melewati berbagai medium dan jaringan internet. Itulah jalan paling mungkin. Rakyat Indonesia telah mengakses internet separuh lebih. Menurut data yang dirilis Global Digital Report 2020, per Januari telah memasuki 64 persen atau 175,4 juta penduduk Indonesia (272,1 juta).

Rakyat Indonesia menggunakan internet rata-rata 7 jam per hari. Melewati angka global yang hanya 6-7 jam per hari. Masih ada 46 persen lagi rakyat Indonesia yang belum mengakses internet. Menurut Menkominfo RI, dalam suatu webinar beberapa waktu lalu, yang belum tersebut sedang digenjot pembangunan sarananya agar segera mendapatkan akses. Umumnya terdapat pada daerah-daerah terluar, terpencil dan terdepan NKRI.

Kita merdeka tentu harus bersyukur walau kemerdekaan itu baru lepas dari penjajahan (kolonialisme) dan belum lepas dari penjajahan dari bentuk baru. Negeri ini telah berdaulat tetapi daulat personal kini justru dirampas oleh keadaan yang terus menerus mengikat. Bayar pajak, segala harus beli, dipajak pula, berlangganan air sembari dipungut untuk bayar iuran sampah, berlangganan listrik sembari dipungut untuk bayar iuran lampu jalan, makan di rumah makan kena pajak, bayar parkir. Mau online, langganan jaringan internet, beli paket data, beli android juga kena pajak. Hingga tak ada sedikitpun untuk berkelit agar lepas dari berbagai pungutan kecil tapi banyak dan tidak disadari. Itu sah, negara melalui pemerintah melakukannya sebagai implementasi dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat. Itulah demokrasi yang kita agung-agungkan. Demokrasi yang kini tergelincir ke arah liberalisme dan oligarkisme.

Baca juga: Kejahatan Berkembang Serentak dengan Teknologi Informasi

Kemerdekaan adalah kebahagiaan. Merah putih di sepanjang jalan, di rumah-rumah, di kantor-kantor. Panjat pinang, lomba balap karung, makan kerupuk, masih dilakukan di kompleks, sungguhpun sudah dianjurkan tidak digelar karena dunia diserang Covid-19. Sebagian rakyat tidak merasa afdhal bila tak menggelar acara-acara ini. Walau mengumpulkan dana dengan susah payah, sodorkan proposal ke mana-mana, gedor pintu warga, mengemis di tengah jalan. Pokoknya, kemerdekaan harus dirayakan dengan cara apapun.

Di dunia maya, ucapan HUT 75th RI tak kalah meriah. Apalagi di media sosial, bermacam-macam gaya ucapan dikirim. Sungguh kebahagiaan yang nyata untuk melupakan hal sebenarnya sedang terjadi; dijajah keadaan yang lebih pahit. Negeri ini sedang dalam ancaman resesi ekonomi. Menkeu RI, Sri Mulyani mengingatkan agar setiap keluarga punya tabungan minimal Rp60 juta hingga akhir tahun. Guna berjaga-jaga bila harga-harga naik. Inilah 75 tahun kemerdekaan republik yang namanya digagas oleh Ibrahim Tan Malaka dalam sebuah tulisan berjudul “Naar de Republiek Indonesia” (1925). Tiga tahun setelahnya, 1928 Soempah Pemoeda dibacakan oleh para pemuda dari seluruh penjuru nusantara.

Indonesia telah merdeka tetapi rakyatnya masih melawan keadaan yang terus mengancam hajat hidup. Pemerintah terus berjuang menjalankan amanat agar tercapainya “kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan” tetapi kadang-kadang terasa kian jauh “panggang dari api.” Sementara itu, perebutan kekuasaan di berbagai lini dan daerah kian terasa membuat buram hari kemerdekaan. Politik kekuasaan sering berkedok hukum, hukum juga kadang-kadang dipakai tebang pilih. Oligarkisme hampir tercapai, demokrasi liberal hampir tiba. Sedangkan rakyat terus diberikan halusinasi tentang bayang-bayang kebahagiaan yang entah bila tibanya. Kenyataannya, hidup kian sulit.

Baca juga: Ironi Era Media Baru di Tangan Milenial

Pada bagian lain, kita harus melupakan keperihan. Di dunia maya kita seakan-akan menjadi orang paling bahagia di dunia. Mereka yang kreatif akan mendapat kesempatan dan kaya raya, sedangkan yang malas akan tertinggal jauh. Mereka yang kaya kian kaya, yang miskin kian miskin. Jurang di antaranya menganga menjadi ancaman sosial. Itulah Indonesia di 75 tahun usianya. Rakyat harus kreatif jika ingin bertahan. Negara belum selesai dan utuh menjalankan amanatnya.

Kita merasakan kemerdekaan tetapi belum begitu sungguh-sungguh. Seperti belum sungguh-sungguhnya keadaan memerdekakan. Rakyat baru bisa merdeka menikmati keadaan, sedangkan keadaan menjajah rakyat. Sungguhpun begitu, merdeka di dunia maya tetap meriah. Pengguna media sosial terus meningkat dengan segala kadar pengetahuan dan pemanfaatannya. Menurut data yang dirilis Global Webindex, per Januari 2020, pengguna kanal video Youtube memasuki angka 140,8 juta, whatsApp 134,4 juta, Facebook 131,2 juta, Instagram 126, 4 juta, twitter 88,6 juta, line 80 juta, Facebook Messenger 80 juta, Linkedin 56 juta, Pinterest 54,4 juta, Wechat 46,4 juta. Pada pengguna itulah, hoax, disinformasi, malinformasi, misinformasi, berkembang biak dari hari ke hari. Membuat disrupsi diberbagai lini termasuk social trust terhadap pemerintah. Rakyat Indonesia baru separuh merdeka di dunia maya.

Sebagian besar sebagai penikmat, belum mendapatkan manfaat yang nyata. Baru sekadar menghabis paket data. Hanya sebagian kecil yang mampu meraup manfaat kekayaan yang nyata dunia maya. Kita memang telah merdeka dari penjajahan tetapi bukan berarti kita hanya sekadar merayakannya lalu berhenti. Kita tak boleh berhenti berjuang untuk hidup lebih baik sebab kemerdekaan sesungguhnya belum tercapai utuh hingga “kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan” sampai ke hati 272,1 juta rakyat Indonesia. Anda salah satunya. Merdeka!

~ Dr. Abdullah Khusairi, MA. Dosen Pengkajian Islam dan Komunikasi Massa di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang.
~ Image by Sasin Tipchai from Pixabay 

Next Post

Tenaga Kesehatan Menolak Dikarantina

"Apabila pasien baru mendapatkan hasil swab negatif satu kali, maka pasien tetap harus dikarantina," kata Khairul Said.
Tenaga kesehatan - Tim kecamatan mengedukasi pasien Covid-19. foto.ist