Idul Fitri adalah puncak pencarian para shaimin selama bulan Ramadhan. Selama 30 hari berpuasa menahan diri dan nafsu dari segala potensi “kejahatan” yang ada dalam diri manusia.
Perintah puasa hanya diberikan kepada orang-orang yang beriman, karena dengan potensi keimanan itulah puasa dapat dilaksanakan. Sebab, puasa itu pekerjaan berat melibatkan keseluruhan potensi manusia, jiwa dan raga.
Puasa merupakan hak Allah yang dilaksanakan oleh orang-orang beriman. Pahala puasa langsung berurusan dengan Allah. Sebagaimana hadits qudsi yang diriwayatkan Abu Hurairah ” …puasa tersebut adalah untuk Aku, dan aku yang akan membalasnya”.
Penegasan Allah mengenai puasa sebagai perbuatan yang langsung berhubungan dengan Allah, maka filosofinya adalah puasa merupakan kaidah ber-Tuhan yang dipergunakan Allah untuk memperbaiki jiwa manusia.
Jiwa itulah yang akan difitrahkan Allah. Kesucian jiwa merupakan inti kemanusiaan, dalam jiwa yang bersih dan fitri manusia akan menjadi manusia sempurna.
Baca juga: Puasa Untuk Tuhan
Menurut M. Iqbal, proses penciptaan manusia merupakan kompromi antara konsep teistik dan teori evolusi. Menurut Al-Quran dalam surat Al Mukmini ayat 12-14 “manusia itu dijadikan dari air yang tersaring dari tanah”.
Dalam Asrar-i Khudi, Iqbal mengatakan “makna proses evolusi menuju pencapaian tingkat individualitas. Di sinilah makna fitri berpuasa sebagai aktifitas individu yang berhubungan langsung dengan Allah.”
Puncak dari rahasia berpuasa itu adalah keadaan jiwa yang fitri. Jiwa yang fitri itu adalah puncak kesadaran manusia untuk lebih terbuka menerima “Nur” Allah sehingga manusia lebih terarah menuju kebaikan paska Ramadhan.
Tiada kehidupan yang lebih berkualitas dan bermakna melainkan berada dalam pancaran Nur Ilahi. Dan puasa adalah sarana terbaik, dan tidak ada sarana lain yang paling jitu melainkan dengan berpuasa. Maka kejarlah jiwa yang fitri itu dengan baik.
| Irwan, SHI., MH. Peneliti pada Portal Bangsa institute
| Gambar oleh Zaid ali dari Pixabay