PADA abad ke-50 SM di Al Hijjir, Tsamud keturunan Amir bin Iraam bin Semit bin Nuh mendirikan Negara Tsamud. Kota Al Hijjir jazirah arab dibangun di atas bukit. Tebing bukit dilobangi untuk perumahan. Rumah-rumah warga di sana dihubungkan dengan jalan. Di bagian lembah dibangun villa peristirahatan dan taman-taman yang indah.
Pada zaman itu penduduk Tsamud telah mengenal dan memakai tembikar, emas, perak dan tembaga. Kegiatan perkebunan penduduk dilengkapi peternakan sapi, kambing, domba dan kuda. Di gurun, saat melakukan perburuan mereka menemukan jenis binatang baru yaitu unta. Unta yang ditemukan ditangkap, lalu disembelih dan dagingnya dimakan. Tidak ada yang berminat menjinak unta.
Kuat dan Makmur
Lingkungan hidup kaum Tsamud, antara perumahan dan pertamanan dihubungkan dengan jalan. Perumahan di atas bukit dengan jalan di pertamanan dibuat pintu yang kokoh. Pintu hanya dapat dibuka dari atas bukit dan dijaga pasukan berdisiplin tinggi.
Kehidupan yang makmur, pertahanan yang kuat, membuat kaum Tsamud merasa tidak dapat dikalahkan atau dibinasakan oleh siapapun. Mereka menjadi sombong, tidak berlaku adil, menindas orang-orang yang tidak masuk dalam kelompok mereka. Mereka menyembah berhala, atau orang-orang yang dianggap kuat. Allah, Tuhan yang Esa mereka lupakan.
Untuk memperingatkan kaum Tsamud, Tuhan mengutus nabi Shaleh, dari kaum mereka sendiri. Nabi Shaleh dikirimi Tuhan seekor unta. Shaleh menyampaikan kepada kaumnya bahwa unta banyak manfaatnya. Tentang unta itu, Nabi Shaleh berkata: unta yang diberikan Tuhan ini berjalan kemana maunya, mencari makan kemana kehendaknya sendiri. Dakwah yang disampaikan Nabi Shaleh ditolak kaumnya. Dia diejek, dihina, bahkan unta kiriman Tuhan untuk Nabi Shaleh dibunuh.
Baca juga: [2] Minangkabau: Bangsa ‘Aad Ats Tsani, Bangsa yang Awal
Lebih kurang pada abad 40 SM, Tuhan menghukum kaum Tsamud dengan rajfah (petir dan gempa keras). Rajfah datang di waktu sahur, saat penduduk tidur nyenyak. Bencana itu membuat hampir semua terbunuh, kecuali orang-orang yang beriman atas petunjuk Nabi Shaleh.
Penduduk yang diselamatkan Tuhan pindah ke perkampungan baru, yang mereka namakan perkampungan Nabi Shaleh (Madain Shaleh). Di perkampungan baru itu, mereka hidup makmur diridhai Allah.
Sesuai petunjuk Nabi Shaleh, selain kambing, sapi dan kuda, penduduk di Madain Shaleh memelihara unta. Pengikut Nabi Shaleh adalah pemelihara unta pertama. Unta menjadi tunggangan bagi pengembala di padang pasir, saat berpindah dari satu padang pasir ke kawasan padang pasir lainnya. Unta mempunyai sifat yang jauh lebih baik dan sempurna dari binatang lainnya, bahkan dari kuda sekali pun.
Di zaman itu, semua pengikut Nabi Shaleh memelihara unta. Unta dijinakkan, dijadikan kendaraan tunggangan atau pembawa beban. Dengan adanya unta ini, semenjak 4000 SM (abad 40 SM) hubungan dagang Yaman – Palestina menjadi rapat. Hubungan dagang lautan Hindia dan lautan Tengah melalui Yaman, menjadi lancar.
Abad ke-35 SM, Mesir telah membangun piramida dan telah mengawet mummi raja-rajanya dengan memakai kampher. Abad ke-30 SM di Mesopotamia telah berdiri kerajaan Madia. Penduduknya telah bercocok tanam dan menetapkan setahun 12 bulan, satu minggu tujuh hari.
Orang yang hidup di sekitar laut tengah ini pemakai kampher untuk pengawet. Juga memakai rempah-rempah seperti lada, pala, cengkeh, kayu manis, kapulaga sebagai ramuan makanan untuk pemanas badan.
Negeri di Bawah Angin
Daerah penghasil rempah-rempah ialah negeri di bawah angin, di timur lautan Hindia. Sumatra dan Indonesia, dinamakan negeri di bawah angin. Hasil hutan berupa kampher dan lada didatangkan dari bagian tengah pulau Sumatra. Kampher Sumatra inilah yang dipakai pengawet mummi di Mesir.
Para pedagang dari Yaman dengan menaiki rakit, angin laut akan membawa mereka menuju ke kepulauan terdepan Sumatra.
Semenjak abad ke-35 SM telah ada kafilah dagang dari Mesir menuju Parsi dan Yaman, melalui Hijjaz. Pada abad yang sama, para pedagang dari Yaman mengambil barang dagangannya ke pulau Sumatra.
Abad ke-20 SM, Nabi Ibrahim hijrah dari kerajaan Uhr dekat teluk Parsi berpindah ke Palestina, selatan Laut Mati. Waktu itu kerajaan Uhr diperintah oleh raja Namrud. Di pantai di Gaza berkuasa kerajaan Filistine dan di tepi barat Laut Mati berkuasa bangsa Kanaan.
Ibrahim menetap di Kiryat Arba, sekarang bernama Hebron. Mesir adalah kerajaan besar di bawah Fir’aun, dinasti ke-17 Qoptik. Di abad itu Ibrahim meninggalkan anaknya Ismail dengan ibunya, Hajar, di Mekah. Sewaktu Ibrahim meninggalkan Ismail dan Hajar di Mekah, Ibrahim menyerukan beberapa do’a:
| Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini nagari yang aman (Q.14/35).
| Ya Tuhan kami aku telah menempatkan anak-anakku di lembah yang tidak bertumbuh-tumbuhan di sekitar rumah engkau yang suci supaya mendirikan shalat, hendaklah engkau jadikan hati manusia tertarik kepadanya dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, semoga mereka bersyukur (Q.14/37)
Hajar tinggal bersama bayinya Ismail di Mekah tanpa seorang pun bersamanya. Negeri Mekah adalah negeri yang gersang, tidak ada tumbuh tumbuhan, beberapa kilometer di sekitarnya tidak ada air.
Di hantaman kaki Ismail terbit air. Itulah air zamzam. Munculnya air itu, burung-burung datang dan beterbangan di sekitarnya. Burung itu menjadi pertanda bagi kafilah dagang yang lewat atau bangsa Badui yang bergembala di sekitarnya mencari air.
Kafilah dagang bani Jurhum (orang Yaman) singgah di lokasi zamzam, ada di antaranya menetap di Mekah. Hajar mendapat teman sekaligus menjadi pelindungnya dari bani Jurhum. Bani Jurhum mengenal sumur zamzam sebagai milik Hajar dan Ismail. Mereka menghormati kepemilikan itu.
Pada abad ke-20 SM telah ramai kafilah dagang Yaman – Palestina. Juga perdagangan Yaman ke Sumatra telah berlangsung.
Dari Yaman barang yang berasal dari negeri bawah angin dibawa ke Palestina dan Libanon dengan kafilah unta melalui Tihamah, Mekah, Hijjaz.
Silk Road dan Sea Routes
Satu riwayat yang menarik di Al-Qur’an dikisahkan begitu indah perkawinan Sulaiman, Raja Israil dengan Balqis, ratu Saba’ yang cantik lagi berwibawa. Di zaman ini dibukanya hubungan perdagangan Palestina ke negeri Cina dengan dua jalur, jalan kafilah darat disebut Silk Road (jalan sutera) dan Sea Routes (rute laut) atau Thariqal Bahri.
Silk Road Jazirah Arab dari Palestina, Irak, Iran, Afganistan, Sogdia (Tazjikistan), Fergana (Kirgizia), Uzbekistan, melalui dua tanah genting Pelu (tanah sempit utara) atau Nam lu (tanah sempit selatan), lembah Singkiang ke Negeri Cina.
Sea Routes, Thariqal Bahri dari Yaman menuju Kanton, melalui lautan Hindia, Selat Sumatra, laut Cina Selatan Kanton, dengan daerah transit kepulauan Maladewa, Perlak di Aceh pulau penyengat di kepulauan Riau.
Selain sebagai daerah transit kepulauan Riau juga menjadi pusat pembelian hasil kepulauan Nusantara, seperti kampher, lada, cengkeh dan pala.
Armada dagang laut Sea Routes diberangkatkan bulan Oktober-Desember dan kembali pulang bulan Mei-Juli. Bulan itu dipilih untuk mendapatkan dukungan arus angin.
Nabi Sulaiman (973-933 SM) dan Ratu Balqis merancang pembangunan waduk (saddu). Waduk itu baru siap setelah Sulaiman dan Balqis meninggal. Waduk Ma’arib itu sangat besar. Butuh waktu satu bulan untuk mengelilinginya. Airnya melimpah dan diatur dengan baik.
Dari waduk Ma’arib dikeluarkan dua saluran air yang besar. Panjang saluran mencapai puluhan kilometer mengairi daerah ratusan ribu hektar secara teratur.
Diungkapkan dalam Al Qur’an, demikian indah, makmur dan amannya kota Ma’arib, seolah sebagian surga yang dipindahkan ke dunia. Sabak negeri yang diredhai oleh Tuhan (baldatun thayyibatun wa rabbun gafur) Q.34/15.
| Sesungguhnya pada negeri Saba’ ada suatu pertanda kekuasaan Allah, dua kebun di sebelah kiri dan kanan, Tuhan katakan; makanlah rezeki yang diberikan Allah dan bersyukurlah kepadaNya, inilah negeri yang baik dan Tuhan yang pengampun. (Q. 34/18)
Bangsa Saba’ juga mengirim armada dagang lautnya menyusuri pantai timur Afrika sampai ke Mozambik dan Malagasi, Madagaskar.
Setelah Sulaiman dan Balqis meninggal, hubungan dagang laut Yaman – Cina dan hubungan dagang darat Yaman Palestina, Libanon tetap berjalan lancar.
Semenjak abad ke-10 SM hubungan dagang Arab dan Sumatra Tengah telah berlangsung ramai.
Bangsa Saba’ yang meninggalkan ajaran keesaan Tuhan, saddu Ma’arib dibinasakan Allah. Pada suatu hari turun hujan sangat lebat, bendungan Ma’arib runtuh. Air waduk membanjiri, membinasakan seluruh negeri. Penduduk Saba’ yang tidak binasa bercerai-berai menyelamatkan diri sampai di Arab Utara. Bani Jafnah menetap di Siria, bani Lakhmin menetap di Iraq, bani Qailah menetap di Madinah dan bani Khuza’ah menetap di Mekah.
Peristiwa itu membuat perdagangan Saba’ ke Cina dan Minangkabau terhenti.
Abu Saleh Al Armini seorang ahli sejarah bangsa Arab mencatat dalam bukunya, sejak abad ke-2 Masehi orang Arab telah mempunyai perkampungan di Kanton. Hubungan dagang Kanton – Arab melalui selat Sumatra telah ramai.
Di Sumatra, orang Arab mengambil kampher dan lada. Pada abad ke-3 M di Fansur/Barus telah bermukim kelompok penganut ajaran Isa. Sea Routes, perdagangan melalui jalur laut sudah berlangsung kembali dan ramai.
~Penulis: Asbir Dt. Rajo Mangkuto
~Editor: Asraferi Sabri
**Gambar oleh LoggaWiggler dari Pixabay