Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didirikan sebagai amanat reformasi di bidang hukum dalam memberantas korupsi. Untuk itu, Lembaga ini diberikan kewenangan yang komprehensif dalam pemberantasan korupsi, yakni melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sekaligus dalam tindak pidana korupsi.
Kewenangan tersebut terkonfirmasi dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pemberian kewenangan yang luas, menjadikan lembaga ini sebagai lembaga superbody. Di balik kewenangan yang luar biasa dan performa KPK yang powerful dibandingkan lembaga penegak hukum lain dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi, maka tidak jarang lembaga ini mendapatkan resistensi dari berbagai arah yang tidak menyukai eksistensi dari KPK.
Lembaga Anti Korupsi di Indonesia
Resistensi sebenarnya tidak kini saja dialami oleh lembaga pemberantasan korupsi. Secara historis, sejak tahun 1959, Indonesia telah membentuk 8 (delapan) lembaga pemberantasan korupsi mulai dari Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) tahun 1959, Panitia Retooling Aparatur Negara (Peran) tahun 1959, Operasi Budhi tahun 1963, Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (Kotrar) tahun 1964, Tim Pemberantas Korupsi (TPK) tahun 1967, Komisi Empat tahun 1970, Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) tahun 1999, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) tahun 2000 dan terakhir KPK yang dibentuk tahun 2002 hingga sekarang (historia.id)
Namun hampir semua lembaga sebelum KPK tersebut dibubarkan akibat resistensi dan kurangnya dukungan politik sehingga pemerintah gagal menyelamatkan wajah pemberantasan korupsi.
Lalu bagaimana dengan nasib KPK saat ini?
Kondisi lembaga saat ini benar-benar dalam kondisi kritis laksana berada di ujung tanduk.
Hal ini diakibatkan oleh 2 (dua) indikator yang secara sistematis dapat dikatakan memperlemah KPK secara kelembagaan serta bukan tidak mungkin akan mengubah wajah lembaga ke depan.
Pertama, masalah pimpinan baru, dari 367 orang yang mendaftar sebagai capim KPK periode 2019-2023, 192 orang di antaranya dinyatakan lolos dalam tahap administrasi.
Para calon itu kemudian disaring lagi menjadi 104 orang, 40 orang, hingga yang lolos ke tahap profile assesment sebanyak 20 orang. Dari 20 nama, pansel kemudian memilih 10 nama yang selanjutnya diserahkan kepada Presiden.
Masalah kemudian muncul ketika dalam serangkaian proses seleksi ini pansel dianggap masih meloloskan nama-nama calon yang dianggap bermasalah.
Derasnya penolakan terhadap hasil kinerja pansel KPK oleh masyarakat tentu sangat beralasan karena pimpinan KPK harusnya adalah orang-orang terbaik yang tidak hanya sebagai pimpinan formalitas tanpa arti tetapi merupakan sosok yang mampu menjadi pemimpin pemberantasan korupsi di negeri ini.
Sehingga ketika ada orang-orang yang bermasalah, baik secara etik maupun punya track record memperlemah KPK maka seharusnya pansel wajib menyingkirkannya agar keberhasilan KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi bisa terus dipertahankan.
Kinerja KPK
Berdasarkan studi United Nation Development Program (UNDP) yang berjudul Institution Arrangement to Combat Corruption: A comparative Study tahun 2005 menyebutkan bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi juga dipengaruhi oleh independensi komisi pemberantasan korupsi.
Di mana indikator dari independensi dinilai dari tersedianya mekanisme yang transparan untuk menilai kinerja yang bersangkutan, sehingga dapat menjalankan fungsi tidak bias.
Pemilihan pimpinan komisi tersebut menggunakan prosedur yang demokratis, transparan dan objektif hingga yang paling penting pimpinan komisi terpilih dikenal sebagai orang dengan integritas yang baik dan telah teruji.
Namun realitanya kini, nama-nama yang telah dihasilkan pansel dan terpilih di DPR sulit untuk tidak mengatakan sarat konflik kepentingan (conflict of interest) serta isu adanya paradigma capim perwakilan yang harus berasal dari unsur penegak hukum, hal ini tersirat dari capim yang diloloskan.
Gesekan
Selain itu, fakta gesekan hubungan KPK dengan penegak hukum lain seperti Polri tentu harus jadi pelajaran agar lembaga seperti KPK tidak secara terus-menerus mengalami “turbulensi” secara kelembagaan.
Kasus seperti korupsi simulator SIM tahun 2012, kasus rekening gendut pejabat Polri tahun 2015, kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan tahun 2017 dan kasus perusakan barang bukti “buku merah” korupsi impor daging tahun 2017 menjadi contoh betapa gesekan antar lembaga tersebut perlu dihindari dalam pengisian pimpinan KPK.
Revisi UU KPK
Kedua, masalah UU KPK hasil revisi, di tengah gaduhnya capim KPK yang bermasalah pelemahan terhadap KPK lainnya muncul dari lembaga legislatif.
Di ujung masa jabatannya DPR periode 2014-2019 melakukan manuver melalui Badan Legislasi yang sepakat untuk menggulirkan kembali revisi terhadap UU KPK, puncaknya dalam rapat paripurna (5/9/2019) seluruh fraksi di DPR setuju revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR.
- Baca juga: Jokowi dan Visi Anti Korupsi
Rencana legislasi yang dibahas DPR secara tertutup dari publik ini patut dicurigai akan “menggergaji” kewenangan dan mengubah wajah lembaga ini ke depannya, sebab DPR saat ini seakan mengebut pembahasan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelum masa jabatannya habis.
Dilihat dari sejumlah materi yang diubah oleh DPR dalam UU baru hasil revisi tersebut yaitu UU Nomor 19 tahun 2019, ada setidaknya beberapa perubahan krusial mulai dari pengaturan penyadapan yang hanya dapat dilakukan oleh KPK setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas KPK, pembentukan Dewan Pengawas oleh Presiden untuk mengawasi KPK yang berjumlah 5 orang, pengaturan surat penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) terhadap perkara korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun.
Kondisi ini tentu akan dapat memperlemah lembaga ini terutama pada fungsi penindakan seperti ketentuan penyadapan yang akan berdampak pada operasi tangkap tangan (OTT) KPK nantinya.
Respon Presiden Joko Widodo
Akhirnya masyarakat tentu sangat menunggu respon dari presiden Jokowi, apakah ingin membentuk wajah KPK yang tetap progresif memberantas korupsi dengan menerbitkan PERPPU terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena sebelumnya revisi sempat mencuat berkali-kali, namun kerap mendapat penolakan.
Bahkan, presiden Jokowi sempat menyatakan penolakan UU KPK direvisi pada tahun 2015 atau presiden hanya akan membiarkan lembaga ini dijadikan macan ompong sebagai legacy buruk peninggalan pemerintahannya.
Amanat Reformasi
Komisi Pemberantasan Korupsi didirikan sebagai amanat reformasi di bidang hukum dalam memberantas korupsi.
Untuk itu, lembaga ini diberikan kewenangan yang komprehensif dalam pemberantasan korupsi, yakni melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sekaligus dalam tindak pidana korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi didirikan sebagai amanat reformasi di bidang hukum dalam memberantas korupsi. Untuk itu, lembaga anti rasuah diberikan kewenangan yang komprehensif dalam pemberantasan korupsi, yakni melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sekaligus dalam tindak pidana korupsi.
Ini sangat penting dilakukan presiden karena KPK sebagai lembaga sudah sangat berhasil menangani kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara yang pada masa lalu sangat sulit tersentuh hukum, singkat kata prestasi anti rasuah ini adalah cerminan prestasi presiden di bidang hukum yang harusnya dijaga.**
~ Penulis, Helmi Chandra SY, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)