~ Abdullah Khusairi
Imbauan pemerintah agar masyarakat menjaga jarak sosial (social distance), yang kemudian diubah menjadi menjaga jarak fisik (physical distancing), secara masif telah diindahkan. Kepatuhan itu dalam bentuk keterpaksaan, ketakutan, serta kesadaran atas kepentingan diri dan umum. Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19) menjadi wabah yang wajib diwaspadai jika tak ingin terjadinya ledakan korban jiwa.
Ada juga yang tak patuh dengan segala macam alasan. Ada yang berdalil agama dan ekonomi. Kadang-kadang terasa lucu terhadap alasan-alasan yang dikemukakan. Itulah potret masyarakat dari berbagai level pendidikan dan status sosial ketika berhadapan dengan masalah umum. Ada yang egois, ada yang terpaksa, ada pula yang menyadari secara baik untuk mematuhinya.
Ragam potret masyarakat tersebut sebenarnya dapat dibaca dalam kehidupan sehari-hari secara normal sebelum kebijakan physical distancing ini ada. Sehari-hari kita bisa melihat lalu lintas yang ruwet. Campuran roda empat roda dua. Roda dua tak mau tahu dengan roda empat, roda empat harus bersabar. Emosi di jalanan kadang-kadang memang terganggu. Hampir setiap hari saya melihat perempuan yang lampu kedipnya ke kanan tetapi belok ke kiri atau sebaliknya. Lucu!
Perbedaan sikap dan tindakan adalah sunatullah tetapi kepatuhan adalah hal lain. Kepatuhan merupakan peristiwa tarik ulur perbedaan ke satu titik untuk menyamakan sikap dan tindakan. Artinya ada yang harus mengalah, berkorban, sesuai dengan keadaan masing-masing. Di sinilah egoisme dalam individu harus dipangkas atau mungkin juga ditumbuhkan. Kita sering menyebutnya, toleransi. Mengorbankan sedikit hak yang kadang-kadang justru menjadi kewajiban. Pengorbanan ini tak boleh dihitung menjadi timbal balik secara matematis-kalkulatif sebab bila itu terjadi berarti ia bukan lagi toleransi.
Baca juga: Jurnalisme Ketakutan
Membaca opini-opini para pakar tentang beradunya ilmu pengetahuan dengan agama di tengah masyarakat, telah membuktikan ketidakpatuhan tidak saja ditumbuhkan karena pengetahuan yang baik tetapi juga karena residu politik kebencian. Rasionalitas dan objektivitas memang telah retak karena politik kebencian dan politik identitas. Niat baik sekalipun tetap bisa dicurigai.
Ketidakpatuhan, semula bisa dianggap sikap kritis tetapi lama-lama bisa tersingkap alasan karena sisa-sisa kebencian politik. Begitulah kenyataan di tengah masyarakat yang hari ini kembali memberi bukti tentang kecerdasan dalam bermedia memang memiliki masalah mendasar. Sikap kritis semestinya linear dengan setiap berita yang datang untuk menjalani crosscheck tetapi karena sudah mengaktifkan sikap kebencian, ketika menerima berita yang bersetuju dengan sikap kebencian itu, ia segera share. Cepat percaya dan segera membagikan kepada yang lain ketika belum memiliki validitas. Objektivitasnya nalarnya sudah tertanggu sejak dari hati. Sudah tidak adil dalam berpikir, sedangkan berpikir butuh kehati-hatian yang mendalam. Sikap ini berlawanan dengan ungkapan Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), “adil sejak dalam pikiran.”
Pada ruang-ruang chat masih ditemukan, sikap kebencian dianggap sebagai sikap kritis. Suasana bencana kemanusiaan masih dibawa ke area politik praktis. Inilah bukti, politik praktis di tengah masyarakat belum dengan pikiran dan hati dalam menerima kekalahan secara demokratis sekalipun. Sportivitas dan gentlemen, senyatanya membutuhkan latihan juga, pun dalam berdemokrasi.
Pada Gerakan #Dirumahaja, saya cenderung memilih sedikit berkorban. Mematuhi anjuran-anjuran otoritas demi keselamatan bersama. Sejak dikeluarkan peraturan agar #Dirumahaja, saya memilih menjalaninya. Walau kadang-kadang bosan, walau kadang-kadang mengorbankan silaturrahmi. Saya telah mengambil sikap self-quarantine demi kebaikan diri, keluarga dan teman-teman. Kepatuhan ini tumbuh setelah membaca begitu banyak berita dan membandingkannya dari berbagai sumber, serta membaca keadaan ke depan dan ke belakang. Sebuah wabah bukan tiba-tiba, proses panjang, lalu tidak bisa dilihat sewaktu ledakan peristiwa. Juga melihat negara yang sukses dan gagal melaksanakan program penanggulangan.
Self-Quarantine merupakan ikhtiar dari ilmu pengetahuan, hasil dari analisis fakta-fakta. Seperti ikhtiar program pembangunan membaca tumbuhnya penduduk; maka dibutuhkan segera membangun jalan, sebab kendaraan bertambah. Kebutuhan akan jalan sepertinya belum penting bagi sebagian orang yang tidak merasakannya, sedangkan bagi yang lain sudah teramat penting dirancang-bangunkan segera sebelum terjadi lalu lintas yang crowded.
Kepatuhan akhirnya membutuhkan penalaran dan keluasan alam pikiran yang berbasis dari pengetahuan-pengetahuan. Itulah gunanya informasi disiarkan secara masif dan benar agar sampai secara baik dan tepat kepada publik. Sayangnya, memang isi kepala publik tidak sama. Sehingga begitu sulit pemerintah mengabarkan kepada mereka yang memang sudah berpikir tertutup, punya sikap kebencian, egois dan individualis, bebal dan curiga. Sikap inilah yang mengembangkan intoleran dan cenderung suka mengadu ujung jarum dalam setiap perbedaan. Terpapar sikap radikal tanpa bekal. Semoga itu bukan kita. Salam. []
*Penulis, Dosen Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang.
**Gambar oleh Selling of my photos with StockAgencies is not permitted dari Pixabay