Masalah Agraria Global dan Krisis Kapitalisme

redaksi bakaba

“Meletakkan kapitalisme global sebagai titik berangkat dalam analisis agraria akan membawa pada pemahaman relasi sosial, relasi kuasa, dan relasi produksi.”

Dianto Bachriadi, Ph.D
Dianto Bachriadi, Ph.D

bakaba.co | Padang | Memahami persoalan agraria di dunia, tidak bisa dilepaskan dalam analisis transformasi global, khususnya dinamika struktur dan sistem kapitalisme.

“Meletakkan kapitalisme global sebagai titik berangkat dalam analisis agraria akan membawa pada pemahaman relasi sosial, relasi kuasa, dan relasi produksi.”

Demikian salah satu poin paparan Dianto Bachriadi, Ph.D dalam Sekolah Keadilan Agraria dan Lingkungan II (SKALA II) yang diselenggarakan Pusat Kajian Keadilan Agraria dan Lingkungan (SANGKAKALA) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Andalas Padang, Kamis 30 Januari 2020.

Dianto Bachriadi, Pendiri dan Peneliti Senior Agrarian Resources Center/ARC Bandung menyampaikan materi tentang perubahan dalam dinamika agraria global dan krisis kapitalisme mutakhir.

Persoalan muncul seiring dengan kelahiran kapitalisme, kata Dianto. “Pertanyaan mendasarnya adalah keterkaitan tentang struktur penguasaan kapital atau modal dalam agraria,” kata Dianto yang akrab dipanggil Gepenk.

Selain itu, pertanyaan selanjutnya adalah keterkaitan tentang pembagian kerja dan ketenagakerjaan dalam agraria.

Dari dua pertanyaan mendasar terkait agraria tersebut, maka akan berlanjut dengan pertanyaan tentang perlu dan penting atau tidaknya mengorganisir gerakan agraria khususnya pengorganisiran petani, yang harus dibedakan dengan buruh (terutama buruh tani).

“Kapitalisme global dalam konteks keagrariaan khususnya, mengalami dinamika pasang naik dan pasang surut, yang secara ilmiah biasanya disebut sebagai krisis kapitalisme,” ujar Dianto.

Persoalannya kemudian, krisis kapitalisme seringkali tidak semata-mata alamiah namun ilmiah dalam artian krisis tersebut diciptakan. Penciptaan krisis kapitalisme dilakukan untuk keperluan akumulasi kapital, dalam kepentingannya mengatasi masalah mulai dari berlebihnya produksi dan berlebihnya kapital/modal yang terakumulasi.

Ketimpangan Sosial

Lebih jauh Dianto mengatakan, kebutuhan untuk mengorganisir petani dan buruh (termasuk buruh tani) adalah untuk mengakhiri struktur dan sistem kapitalisme yang selalu melahirkan ketimpangan sosial, dan terutama ketimpangan ekonomi.

Ketimpangan-ketimpangan tersebut muncul karena terciptanya perbedaan kelas sosial yang disebut kelas borjuis dan kelas proletar.

“Jadi, inti dari perjuangan untuk perubahan sosial dalam mewujudkan keadilan agraria dan lingkungan adalah mengubah relasi kuasa dalam produksi agraria,” Dianto.

Suasana Sekolah Keadilan Agraria dan Lingkungan II
Suasana Sekolah Keadilan Agraria dan Lingkungan II

SKALA II SANGKAKALA diikuti oleh 30 orang peserta dari berbagai latar belakang: petani, mahasiswa, aktivis NGO/LSM, jurnalis, dan akademisi/dosen.

Sebelum mengikuti SKALA II, para peserta diseleksi SANGKAKALA agar penyelenggaraannya lebih efektif. Peminat SKALA II terus meningkat, mencapai 60-an orang. Peminat yang belum bisa mengikuti SKALA II, diarahkan mengikuti SKALA III dan seterusnya. SKALA II yang diselenggarakan dalam dua hari: Kamis-Jumat, 30-31/01/2020.

Materi hari pertama, selain topik yang dipaparkan Dianto, topik kedua; analisis masa depan gerakan sosial di Indonesia. Hari kedua, besok, dilanjutkan dengan pemateri Hilma Safitri dan Frans Ari Prasetyo, juga dari ARC Bandung.

~ info:Virtuous S
~ editor: aFs/bakaba

Next Post

The End of History Minangkabau

Minangkabau akan berakhir dan ditinggalkan masyarakatnya jika tidak memiliki daya tawar yang kuat untuk menyelamatkan masyarakatnya dari himpitan besar peradaban baru yang material-kapitalistik.
Gambar oleh adriankirby dari Pixabay

bakaba terkait