Mahutama: Dilema Daerah Hadapi Covid-19

redaksi bakaba

“Selain itu, ditambah fakta adanya sikap partisan yang muncul sejak awal dan melahirkan ketegangan antara Pemerintah Pusat dan Pemda. Kondisi itu menimbulkan persoalan di tingkat daerah.”

Webinar MAHUTAMA foto doc. istimewa
Webinar MAHUTAMA foto doc. istimewa

bakaba.co | Jakarta | Menghadapi penyebaran pandemi Corona: Covid-19, dalam konteks PSBB, Pembatasan Sosial Berskala Besar, urusan pemerintah pusat dan Pemda terlihat tumpang-tindih.

“Selain itu, ditambah fakta adanya sikap partisan yang muncul sejak awal dan melahirkan ketegangan antara Pemerintah Pusat dan Pemda. Kondisi itu menimbulkan persoalan di tingkat daerah.”

Demikian salah satu poin masalah yang diutarakan Ketua Umum Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S,H., M.Hum., dalam Web Seminar (Webinar) dengan tema “Kewenangan Daerah dalam Menghadapi Pandemi Covid-19”, Sabtu siang, 9 Mei 2020.

Pembicara yang ditampilkan pada Webinar Mahutama di antaranya Prof. Dr. Zainuddin Maliki (Anggota DPR RI), Dr. Indah Kusuma Dewi, SH. MH. (Dekan FH UM Buton), Dr. King Faisal Sulaiman, SH. LLM. (Pakar HTN FH UMY Yogyakarta. Dr. Wendra Yunaldi (Direktur Lembaga Kajian Hukum dan Korupsi FH UMSB). Webinar dipandu Sekjen Mahutama Auliya Khasanofa yang juga Akademisi FH UM Tangerang.

Baca Juga: Mahutama: Perppu Covid-19 Kontroversial

“Sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia, ini kegiatan yang kedua digelar Mahutama. Webinar sebelumnya, April, dengan tema “Menggugat Perppu Covid-19,” kata Auliya Khasanofa dalam prolog.

Sekarang, kata Auliya, Mahutama mengangkat isu yang sangat aktual aktual terkait adanya indikasi gesekan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terkait penanganan pandemi Covid-19.

Webinar kedua yang diselenggarakan Mahutama ini disaksikan lebih dari 500 orang melalui zoom meeting dan YouTube live streaming.

Negara Kesatuan

Ketua Umum Mahutama dalam sambutan menjelaskan, bahwa Indonesia adalah negara kesatuan (unitaris), di mana prinsip utamanya adalah di konsentrasi. Meskipun pada pasal 18 ayat (5) UUD 46 dijelaskan bahwa Negara disusun atas dasar desentralisasi. “Secara konseptual kita melihat ada ketegangan normatif,” ujar Prof. Aidul.

Bila dicermati, kata Aidul, dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diketahui bahwa kewenangan Pempus dan Pemda itu berdasarkan “urusan”, yakni urusan absolut, urusan wajib dan urusan pilihan.

“Sebenarnya model-model seperti ini lebih banyak ditemukan di negara-negara yang menganut paham federalisme ketimbang unitarisme,” jelas Aidul.

Akan tetapi, kata Aidul, yang menjadi persoalan kemudian adalah, kalau kedaruratan itu kewenangan pada Pempus. Sementara Pemda cuma mengurus persoalan konkuren yang terkait persoalan pelayanaan dasar, termasuk di dalamnya persoalan sosial dan kesehatan.

Masalah PSBB

Dalam PP No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 dengan tegas disebutkan, bahwa menteri sebagai pemegang urusan pemerintahan bidang kesehatan dapat memberikan izin kepada Pemda. Sementara Keppres No 12 Tahun 2002 Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19 justru tidak mengacu pada UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Dalam pandangan Dr. Indah Kusuma Dewi, kewenangan daerah berdasarkan Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD NRI Tahun 1945 tentang prinsip otonomi seluas-luasnya. Dengan begitu Pemerintah Daerah dapat mengambil kewenangan terhadap urusan selain urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

Terlepas dari itu, Prof. Aidul Fitriciada, salah satu yang menjadi urusan wajib Pemda itu adalah urusan kesehatan. Saat ini Indonesia sedang menghadapi pandemi berkaitan dengan kesehatan. Kalau dilihat dalam UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, maka, “situasi Indonesia saat ini sudah termasuk kedaruratan, yang kemudian diwujudkan lewat kebijakan PSBB,” kata Aidul.

PSBB, Anomali

Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) yang dijadikan pemerintah sebagai pilihan kebijakan untuk mengatasi Pandemi Covid-19 dalam penilaian Dr. King Faisal Sulaiman, “sarat anomali,” katanya.

Dalam pandangan Dr. Wendra Yunaldi, kaidah hukum darurat meniscayakan tiga konsep penting, yaitu pertama sudden emergency doctrine, kedua medical treatment, dan ketiga adalah emergency expectation.

“Dari tiga poin tersebut ada hal penting didapat adalah dibutuhkannya kepastian hukum dan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat atas terjadinya keadaan darurat dalam satu wilayah negara serta kepastian penanganannya,” ujar Wendra, Direktur Lembaga Kajian Hukum dan Korupsi FH UMSB.

Remehkan Virus

Merebaknya pandemi virus Covid-19, yang diawali di Wuhan, pemerintah Indonesia mulanya terlihat meremehkan. Kemudian, selain Wuhan, pandemi yang menyebar ke negara lain, dan mulai memberlakukan lockdown untuk mencegah penyebaran virus Covid-19.

“Presiden kita dan sejumlah menterinya justru akan menggalakkan sektor pariwisata,” kata Zainuddin Malik selaku Anggota Komisi X DPR RI.

Sikap awal yang cenderung meremehkan itu tambah Maliki, berakibat pada keterlambatan Indonesia mengantisipasi wabah pandemi Corona: Covid-19 yang hingga saat ini terus mengalami peningkatan.

~ WY/rel/bakaba

Next Post

'Milestone' UMSB dan 'Hikayat Parik Putuih'

"Muhammadiyah Sumatera Barat sangat berhutang budi kepada masyarakat Parik Putuih yang telah berkontribusi dalam menyuburkan organisasi ini sehingga dapat menjalankan misinya dengan baik," kata Riki Saputra.
Gambar oleh Pexels dari Pixabay

bakaba terkait