Kota Islami, Antara Politik Kenabian dan Ambisi Simbolik

redaksi bakaba

upaya pemaksaan atas nama kepentingan ideologi parsial tidak saja merugikan bagi kepentingan Islam secara universal. Namun, juga akan menempatkan Islam pada tafsir yang salah

Gambar oleh Khusen Rustamov dari Pixabay
Gambar oleh Khusen Rustamov dari Pixabay
Irwan, S.H,I.,M.H.
Irwan, S.H,I.,M.H.

Gagasan menulis Kota Islami, ini didasari oleh hasil survei yang dilakukan oleh Yayasan Islamicity Index (YII). Dengan melakukan survei di seluruh negara-negara dunia, mereka ingin mengetahui negara paling Islami, dengan indikator pemerintahan terbersih, ketimpangan ekonomi terkecil, dan penghormatan yang tinggi pada hak asasi manusia.

Melalui survei tersebut, mereka ingin mengetahui apakah melalui ketiga variabel itu, survei akan menemukannya di negara-negara muslim terbesar atau tidak.

Namun, dari laporan mereka pada tahun 2017, hasil temuan memperlihatkan 10 besar negara paling Islami adalah : Selandia Baru, Belanda, Swedia, Irlandia, Swiss, Denmark, Kanada, dan Australia.

Temuan ini tentu semakin menarik, terkait dengan keberadaan negara-negara Islam, seperti negara-negara Timur Tengah, Asia seperti Malaysia, dan termasuk Indonesia sebagai pemeluk Islam terbesar. Malaysia berada pada peringkat 47 sedangkan Indonesia peringkat 74, jauh di bawahnya lagi peringkat 88 Arab Saudi.

Kenapa negara dengan pemeluk Islam terbesar ini gagal memperlihatkan minimal tiga indikator yang dijadikan variabel oleh YII. Apakah negara dengan pemeluk islam terbesar ini gagal mendorong tumbuhnya demokratisasi pemerintahan terbersih, kesejahteraan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Atau ada faktor-faktor lain yang secara tersembunyi menjadi kekuatan elementer menutup berkembangnya ketiga standar tersebut.

Dalam laporan The Economist yang merilis indek Demokrasi Dunia Tahun 2017 pada tanggal 30 Januari 2018 (Liputan6;11/3/2018). Dengan menggunakan lima variabel (1) proses electoral dan pluralisme, (2) keberfungsian pemerintahan, (3) partisipasi politik, (4) kultur politik, dan (5) kebebasan sipil, dengan menggunakan kelima variabel, maka 5 negara yang paling demokratis adalah Denmark, Selandia Baru, Swedia, Islandia, dan Norwegia.

Adapun Indonesia bertengger pada posisi 68 dari total 167 negara yang tercantum dalam Indeks Demokrasi Dunia 2017 versi The Economist.

Dua hasil survei yang dikemukakan di atas, pertama; mengenai negara paling Islami dan kedua; negara paling demokratis, gagal memunculkan negara-negara Islam masuk ke dalam posisi lima besar. Ruang publik pada masyarakat dengan kepemelukan Islam yang dominan, dengan panduan al-Qur’an semestinya mampu menghidupkan nilai-nilai sosial yang Islami.

Menurut Deny JA (2019; 4), pada dasarnya nilai terbaik dari agama Islam, sebagaimana agama lain, jika diuniversalkan, itu sama dengan aneka nilai manusiawi yang dirumuskan oleh peradaban mutakhir. Nilai yang Islami itu ternyata juga nilai yang manusiawi. Itulah ruang publik yang universal yang bisa dinikmati semua manusia, apapun agama dan keyakinannya. Semua negara modern pada dasarnya mencoba menggapai ruang publik yang manusiawi.

Hasil survei kedua, mengacu kepada temuan The Economist, Norwegia berhasil membangun partisipasi politik yang tinggi, keterlibatan aktif masyarakat dalam kehidupan berdemokrasi, serta penjaminan yang mumpuni atas setiap aspek hak asasi manusia seluruh warga.

Berdasarkan hasil kedua survei tersebut, mesti menjadi catatan bagi umat Islam, khususnya di Indonesia. Gagasan politik Islam reaktif ternyata gagal menciptakan basis sosial politik dan demokrasi berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Padahal, basis sosial politik itu sangat penting untuk menciptakan Islam berkemanusiaan.

Founding father negara yang mayoritas muslim, melalui tawaran-tawaran konsepsi Islami mereka dalam BPUPKI dan Konstituante gagal di konstruksi oleh umat Islam dewasa ini. Kuatnya kecenderungan politik perlawanan, dengan mengabaikan basis sosial politik Islami, pada akhirnya gagal memperkuat konstruksi NKRI yang dijiwai oleh Islam.

Desakan kuat untuk melekatkan simbol-simbol Islam dalam bernegara, telah membelah posisi umat Islam kepada kelompok pro pembangunan politik Islami dengan kelompok pro politik simbolisasi Islam bernegara. Pancasila, semestinya mampu dijadikan oleh umat Islam sebagai kalimatun sawa yang bersifat inklusif.

Ambisi simbolik sebagian kelompok umat Islam, dengan argumen-argumen skripturalistik harus mulai dipikir ulang. Sebab, upaya-upaya pemaksaan atas nama kepentingan ideologi parsial tidak saja merugikan bagi kepentingan Islam secara universal. Namun, juga akan menempatkan Islam pada tafsir yang salah, sebagaimana kebenaran berpolitik yang telah diperlihatkan Muhammad mulai dari Mekah sampai Madinah.**

*Penulis, Advokat & peneliti pada Portal Bangsa Institute

Next Post

Pancasila dan Revolusi Industri 4.0

Seperti gurita, revolusi industri menurut Soerjono Soekanto telah menjalar dengan cepat ke bagian-bagian dunia lain

bakaba terkait