Balai Kamih pagi itu sudah amat ramai, orang-orang hilir mudik dengan bawaannya masing masing. Los karambia hingar-bingar oleh bunyi benturan karambia yang beradu karena para pembeli sibuk memilih karambia yang mereka suka. Bunyi ladiang godok (parang berbentuk bulan separoh dengan gagang besi dengan panjang lebih kurang dua jengkal) berdengking menghantam karambia, bunyi kucuran aia karambia (air kelapa) yang ditampung dalam sebuah wadah sedang, tawar menawar penjual dan pembeli dan yang paling khas los karambia adalah gasiang garejoh (bunyi mendesing garejoh) yang agak sengau.
“Tek, nan iko bara? Untuak ka randang lai amuah ko?”
“Ndak baa bagai tu doh, lai. Rancak tu.”
“Ma nan amuah untuk kalio, Kak? Nan kuniang rancak ko, lai namuah ko?”
“Ndak baa bagai tu doh, sadang rancak bana tu, ambiaklah gak duo.”
Suara penjual dan pembeli bersahut-sahutan di tengah bisingnya Balai Kamih. Jaleka, perempuan bertubuh sedang dengan jinjingan berat di tangan terlihat asyik memilih karambia yang ia suka.
“Kak, iko lai rancak untuak anyang?”
“Eeee… ndak baa bagai tu doh, sabana badaceh mah, baolah gak tigo”
“Tigo? Batea sen Kak mah, pucuak kalikih duo kabek no ah, tigo pulo karambianyo.”
“Eeee… itu sadang rancak mudonyo tu, ndak bara buah tu doh, abih beko, manyasa, kan amuah untuak bisuak bagai tu.”
“Kukua lah kok iyo ah, ciek, duo lai ambo bao bulek se lah pulang, bisuak se kalo lah ka paguno, baru ambo balah.”
- Baca Juga: Jangek Liek Kapalang Kampuah
Garejoh kembali manggasiang (berputar cepat pada sumbunya), mendesau-desau seirama gojak (hentakan kaki mengayuh) kaki Tek Sabu, si penjual yang ramah dan manis mulut itu. Telah beberapa karambia ia belah, lalu disorongkan ke arah mato garejoh (alat parut kelapa bergerigi tajam) setelah ia mengangguk, mengiyakan, mengatakan rancak, santiang, segeh bana tu, badaceh, manyalinok tu minyaknyo, dan berbagai kalimat pujian lain untuk dagangannya yang selalu diawali dengan kalimat: “ndak baa bagai tu doh.”
Mendadak sebuah asoy penuh berisi samparah (ampas) kelapa parut berikut dua belahan kelapa dihempaskan di tumpukan dagangan Tek Sabu disusul oleh satu plastik kecil yang berisi santan encer. Raimah, perempuan muda yang baru tiga bulan menikah itu berdiri dengan tangan berkacak pinggang, mata melotot merah seolah kanai antu jaek (kesurupan).
“Tek, a go karambia nan tek jua? Ndak baa doh, rancak, badaceh, sadang kamek, takah tu bana manih kecek etek ah. Den mintak nan tuo, baminyak, etek agiah karambia manganuah (kelapa yang belum tua dan bersantan tetapi juga bukan lagi kategori kelapa muda) lah sakik pangka langan den marameh, ndak basantan doh.”
“Eeee? Akau Ie Mah? Urang baru mah? Ndeh, sabana baminyak kalo urang baru ko eh. A tu?”
Suara Tek Sabu demikian ramah dan akrab, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Raimah terlihat semakin marah, suaranya berkepusu menjelaskan betapa ia telah menderita kerugian demikian banyak. Masakan yang semula ia rencanakan untuk menjamu mertuanya ternyata jadi bermasalah karena pilihan kelapa yang ia beli berdasarkan saran dari Tek Sabu, betapa ia amat malu. Belum lagi daging, ikan dan segala macam bahan mentah yang ia beli mahal tak dapat ia nikmati dengan layak, semua karena manis mulutnya Tek Sabu.
Penjual kelapa yang ramah dan manis mulut itu tetap tersenyum mendengarkan semua keluhan Raimah, alunan suara dan ekspresi wajahnya tetap saja tak berubah, manis, teduh dan menghanyutkan, senyum manis bermain di mulut dan kepala yang menggeleng-geleng pelan seirama dengan semua lagu yang meluncur dari mulut setengah ompongnya. Ia tak salah, Raimahlah yang keliru. Raimah akhirnya lelah dan memilih pergi setelah dengan segala keterpaksaan ia meraih kembali semua benda yang semula ia hempaskan, melangkah lemas setengah menggerutu betapa ia amat bodoh, telah merugi sedemikian banyak.
Berturut-turut kemudian Angah Inam, Tuo Juriah, Kak Iyeh, Nek Rumiah, Julidar, Radisah, Kak Juman, Atiak Damiuh, Uncu Suliyan dan beberapa perempuan tua-muda menyampaikan keluhan dan ketidakterimaan mereka atas peristiwa yang serupa dengan Raimah. Riuh rendah suara mereka saling bersicepat menghantam gendang telinga Tek Sabu.
Tak ketinggalan Amai Gadih yang baru saja baralek gadang, bahkan terpaksa harus membeli kelapa kembali segerobak penuh ke Pakan Guguak, sebuah pasar yang terletak di negeri sebelah, sehari menjelang helat besar keluarganya dilangsungkan, tak lain hanya karena karambia bagalaik (kelapa bermasalah) yang ia beli dari Tek Sabu. Telah lindang isi puronya (habis tak bersisa) karena persoalan kelapa bagalaik dari Tek Sabu.
Perempuan tua dengan beberapa gigi yang telah tanggal itu tak henti-hentinya tersenyum, menjawab semua keluhan dan kemarahan dengan manis dan ramah.
Hampir tengah hari, para pengunjuk rasa itu akhirnya lelah, menyisih satu demi satu, berlalu menjauh dengan kepala terkulai, tanpa daya.
Pembeli yang semula mulai ragu-ragu, akhirnya kembali merubungi onggokan kelapa Tek Sabu, karena perempuan tua itu amat pandai meyakinkan semua orang. Tidak ada yang salah, kelapanya baik baik saja, tetapi ini dan itu yang menjadi pengkal masalah ternyata adalah kekeliruan para pembeli yang berunjuk rasa itu juga, sedikitpun tidak ada kesalahan dari kelapanya apalagi kesalahan dari Tek Sabu.
Sebelum adzan ashar berkumandang, onggokan kelapa yang menggunung itu sudah habis. Garejoh yang semula menggeleng-geleng dengan amat manis dan berpribudi halus itu akhirnya berhenti juga, diam menekur dengan takzimnya.
Semua kelapa yang disorongkan oleh tangan Tek Sabu ke garejoh itu telah tasayak (terparut hingga tempurungnya, tidak hanya daging kelapa yang habis) tanpa tempurungnya sadar. Tempurung kelapa itu terlalu hanyut dalam semua desing sengau garejoh yang menggeleng-geleng dengan halus dan kencang, ketika sudah tasayak barulah tempurung itu sadar dan meratap, tetapi apa daya.
Tak ada hal yang dapat dibilang (dibahas) lagi, toh tempurung kelapa juga yang salah, kenapa mau saja disorongkan oleh tangan Tek Sabu ke arah mata garejoh yang menggeleng-geleng itu, ratok i sajolah maik tak ba bangkai.
~Juaro Gunuang Marapi, penulis adalah seorang aktivis sosial, relawan kebencanaan, penggiat seni tradisi dan budaya Minangkabau.
*Foto fitur Parut Kelapa – courtesy of Mbergehkin Sembiring