Minangkabau – Epistemologi atau juga sering disebut filsafat ilmu pengetahuan merupakan jalan bagi kita untuk memperoleh pengetahuan tentang sesuatu.
Epistemologi mengurai nalar, memetakan jalan, mendudukan hubungan epistemon dengan objek, mendudukkan metode analisis, sampai pada cara menemukan makna-makna transendental dari objek yang dipelajari.
Oleh karena menyangkut cara pandang dan nalar, epistemologi sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosio-kultural di mana epistemon atau ilmuwan membangun konstruksinya. Barat membangun epistemologi berdasarkan pemikiran rasional-empiris mereka, kemudian menyebarkan pengaruhnya ke seluruh dunia.
Alat selalu menentukan capaian hasil. Makin canggih alat, makin baik hasil yang dapat diperoleh. Epistemologi sebagai alat penting dalam ilmu pengetahuan pun ada dalam kaidah yang sama. Ia akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang selaras dengan jangkauan epistemologi tersebut.
Epistemologi Barat, sekalipun sangat berpengaruh dalam perkembangan sains dunia, bukan berarti sudah sampai pada kesempurnaannya. Alih-alih jadi alat yang sempurna, epistemologi Barat justru mengandung kelemahan yang mendasar karena membatasi ruang observasi hanya pada objek-objek empiris dan berdimensi tunggal. Padahal alam raya dan seisinya tidak semuanya dapat diobservasi dengan mata telanjang.
Dimensi alam lain yang hanya dapat dipahami dengan pendekatan spiritual menjadi tercampak karena ketidakmampuan epistemologi Barat menjangkaunya. Padahal boleh jadi apa yang ada dalam dimensi yang lain itu adalah resources ilmu pengetahuan yang luar biasa besarnya.
Baca juga: Filsafat Minangkabau, Sebuah Telaah
Kelemahan epistemologi Barat sebenarnya telah dikoreksi oleh epistemologi Barat yang lain. Positivisme dikoreksi oleh konstruktivisme dan paradigma kritis, yang notabene sama-sama lahir dari Barat. Dalam dinamika seperti itu kita –sebagai akademisi timur– selalu abstain, tak pernah terlibat. Tak pernah punya kontribusi terhadap perkembangan epistemologi. Alih-alih berkontribusi, kita masih mantap dalam posisi sebagai konsumen saja.
Kita perlu menyadari secara praksis sebenarnya epistemologi Minangkabau itu sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Orang Minang sudah punya filsafat ilmu pengetahuannya sendiri yang digunakan untuk memahami alam. Alam dijadikan guru. Tanpa epistemologi tentu tak mungkin orang dapat belajar dari alam.
Namun epistemologi itu tak pernah dibicarakan secara terbuka, tidak menjadi bahan pembelajaran bagi seluruh kalangan. Ia akhirnya tenggelam begitu saja. Ruang kosong yang ditinggalkannya kemudian diisi oleh epistemologi lain yang menurut hemat saya tidak memadai.
Dengan pikiran seperti itulah saya menginisiasi ‘proyek’ penggalian dan pengkajian terhadap epistemologi Minangkabau yang terkubur itu. Mudah-mudahan berkat keyakinan dan ketekunan kita akhirnya kita keluar dengan sebuah penjelasan epistemologi yang mampu menguak misteri kehidupan –alam maupun sosial– yang lebih baik ketimbang epistemologi Barat.
~ Penulis, Dr. Emeraldy Chatra, M.Ikom., Dosen FISIP Universitas Andalas, Padang
~ Gambar oleh Anrita1705 dari Pixabay