bakaba.co | Bukittinggi | Langkah hukum formal menjadi pilihan penting yang akan ditempuh pedagang pemilik/pemegang kartu kuning toko-toko pada Pusat Pertokoan Pasar Atas Bukittinggi yang terbakar 30 Oktober 2017. Langkah hukum jadi pilihan untuk menghadapi ketentuan sepihak yang ditetapkan Kadis Koperasi, UKM dan Perdagangan Pemkot Bukittinggi atas nama pemerintah kota, terkait status dan cara mendapat toko pada bangunan baru yang sekarang sedang dikerjakan pembangunannya.
“Para pedagang pemegang kartu yang tokonya hangus terbakar dua tahun lalu, juga sudah menyampaikan aspirasi ke DPRD. Pedagang menilai, aturan sepihak Pemkot, terindikasi ada niat dan skenario untuk menghilangkan hak pedagang pemilik kartu kuning.”
Demikian ditegaskan Yulius Rustam, Ketua Perhimpunan Pemilik Toko Korban Kebakaran Pasar Atas Bukittinggi (PPKKPA), dalam musyawarah dengan dengan pedagang di lantai II Mesjid Raya Bukittinggi, Jumat sore, 25 Oktober 2019.
Baca juga: Pedagang Pemegang Kartu Kuning Berjihad Perjuangkan Hak
Dalam musyawarah itu juga dihadirkan Oktavianus Rizwa, S.H, pengacara dari Padang. Berbagai hal terkait aturan, langkah hukum dan hak pedagang serta tindakan pemko didiskusikan.
Menurut Oktavianus, mencermati hal yang sedang dihadapi para pedagang pemegang kartu kuning toko di Pasar Atas Bukittinggi yang dulu terbakar, dan kembali dibangun dengan dana pemerintah pusat, ada potensi pedagang bakal dirugikan.
“Kita perlu cermat melihat aturan dan ketentuan yang ada terkait pembangunan kembali pasar dan bagaimana hak dan posisi pedagang. Jika ada indikasi aturan tidak dijalankan pemko, pedagang berhak mempertanyakan, bahkan mengujinya melalui lembaga hukum dengan cara menggugat,” kata Oktavianus.
Pengumuman yang mengikat
Reaksi pedagang pemilik toko yang berjumlah 763 orang dipicu surat berjudul ‘pengumuman’ yang dikeluarkan Kepala Dinas Koperasi, UKM dan Perdagangan Pemkot Bukittinggi. Surat dengan nomor 511.2/677/DKUKMdP/X/2019, bertanggal 11 Oktober 2019. Surat tersebut ditandatangani Kepala Dinas Koperasi Muhammad Idris, S.Sos.
Surat itu berisi dari 3 poin. Pada poin 3 terbagi atas empat huruf: A sampai D. Surat itu berupa pemberitahuan pedagang korban kebakaran Pasar Atas untuk mendaftarkan diri kembali. Waktu pendaftaran dibatasi: 14 sampai 30 Oktober 2019 (poin 2). Jika tidak mendaftar dalam batas waktu itu dianggap tidak berminat dan tidak akan dilayani lagi.
Selain itu, dalam surat pengumuman itu juga ditulis pada poin D: sistem pemakaian Pasa Ateh adalah sistem sewa murni/untuk dipakai sendiri (tidak boleh dipindahtangankan).
Pengumuman itu menurut Oktavianus, jika tidak mendaftar sesuai batas waktu yang ditentukan, pedagang dianggap tidak berniat dan tidak akan dilayani lagi. Bagaimana suatu pengumuman dibuat mengikat pihak lain tanpa musyawarah sebelumnya. “Begitu juga halnya dengan sistem pemakaian toko, ditetapkan sewa murni secara sepihak oleh pemko melalui aparatnya. Sejarah Pasar Atas terlihat tidak dijadikan pertimbangan, bahwa sebelum terbakar Pasar Atas dibangun oleh para pedagang dan tanahnya bukan tanah pemerintah daerah,” ujar Oktavianus.
Perpres 64/2019
Dalam musyawarah kemarin, Yulius Rustam, Ketua PPKKPA, dan pengacara Oktavianus memberi gambaran aturan yakni Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2019, bertanggal 13 Agustus 2018.
Pertokoan Pasar Atas sebelumnya, tahun 1974 dibangun tidak dengan dana pemerintah. Pedagang yang 763 orang mengeluarkan dana Rp 4 juta/toko. Pada 30 Oktober 2017 hangus terbakar. Pedagang telah menderita kerugian yang besar. Lalu pemerintah pusat turun tangan membantu, membangunkan kembali toko-toko yang terbakar dengan dana APBN. Perpres 64/2018 mengatur soal pembangunan dan bagaimana pemerintah daerah wajib mengutamakan hak pedagang lama.
Baca juga: ‘Penipuan’, Penetapan Sepihak Soal Toko Pasar Atas
Dalam Perpres itu, setelah selesai dibangun, pengaturannya diserahkan pada Pemkot. Pada pasal 7 Perpres itu ada dua ayat yang perlu diperhatikan:
Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi …
wajib memberikan prioritas kepada koperasi dan usaha mikro-kecil, dan menengah yang sebelumnya telah terdaftar sebagai pedagang lama di Pasar Atas Bukittinggi … untuk mendapatkan kios, los, atau toko yang telah direhabilitasi. (ayat satu)
Lalu ayat duanya:
Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi ….
dalam memberikan prioritas kepada koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat satu, sesuai dengan tugas dan fungsinya menetapkan harga pemanfaatan yang terjangkau.
Pemko Bukittinggi menurut Oktavianus tidak boleh membuat norma baru atau ketentuan baru di luar amanah Perpres itu. Misalnya, diharuskan mendaftar kembali oleh pemko padahal sudah ada data saat pembagian kios penampungan.
“Tidak perlu mendaftar lagi, apalagi ada sanksi jika tidak mendaftar. Bukankah aturan presiden menyatakan pemko wajib memberikan toko kepada pedagang yang sebelumnya tercatat sebagai pedagang pada pasar yang terbakar. Itu aturan, bukan kata-kata saya,” kata Oktavianus menjelaskan.
Begitu juga tentang sistem mendapatkan toko, tidak ada pada Perpres dinyatakan ‘sewa murni’. Pada peraturan presiden disebut: Pemerintah Kota Bukittinggi…sesuai dengan tugas dan fungsinya menetapkan harga pemanfaatan yang terjangkau.
“Untuk menetapkan harga yang terjangkau, tentu ditetapkan secara bersama, dilakukan musyawarah antara pihak pemko dengan pedagang korban kebakaran. Itu saja belum dimusyawarahkan. Sekarang justru pemko menetapkan sendiri sistem sewa murni. Tindakan pemko itu secara aturan sudah tidak sesuai dengan amanat presiden,” kata Oktavianus.
UU “si Garagai”
Para pedagang dalam musyawarah menyampaikan bahwa pedagang korban kebakaran Pasar Atas Bukittinggi saat ini menghadapi pimpinan daerah yang bertindak menurut maunya sendiri. Tidak mengenal musyawarah. Berbuat menurut aturan sendiri. Untuk mencapainya keinginannya tega memecah-belah silaturahmi antar-pedagang.
Menanggapi apa yang dihadapi pedagang, Oktavianus mengatakan bahwa pemerintah kota harus menjalankan aturan dan ketentuan. Tidak bisa bertindak, berbuat sekehendak hati apalagi jika tindakan itu merugikan masyarakat.
“Semua tindakan dan kebijakan pemerintah daerah ada aturannya. Tidak boleh ada aturan atau Undang-Undang si Garagai yang dijalankan Pemkot. Untuk itu kita harus cermati jika pemko menggunakan aturan si Garagai,” kata Oktavianus.
Musyawarah PPKKPA akan selalu diadakan untuk menentukan langkah hukum agar perjuangan mempertahankan hak pedagang bisa dicapai. Penasehat hukum atau adanya pengacara yang akan mendampingi pedagang disepakati ditetapkan. #af