Demokrasi Terpasung Rente

redaksi bakaba

Ketika rente menjadi ruh demokrasi, tanpa sadar kita sudah melakukan pembunuhan terhadap substansi demokrasi itu sendiri

~ Dr. Wendra Yunaldi, S.H., M.H.

Persoalan utama demokrasi saat ini, khususnya di Indonesia adalah terpasungnya demokrasi oleh rentenir politik (Demokrasi Rente). Dampaknya, pertama: balas budi kepada pemodal; kedua, mati-matian memeliharan kebodohan demi harga diri; ketiga, hidup mati membela dan membesarkan partai.

Pernyataan di atas termaktub dalam kertas kerja yang saya buat di bawah judul Demokrasi Otentik: Sebuah Pemikiran Menjawab Tantangan Demokrasi Rente dan Implikasinya Terhadap Pencegahan Korupsi (2019). Kertas kerja ini saya hidangkan dalam sebuah majelis akademi di Semarang.

Persekongkolan

Fenomena balas budi pada akhirnya menjadi momok terjelek dalam demokrasi, yaitu terjadinya persekongkolan. Persekongkolan dalam proyek-proyek besar dan persekongkolan dalam kebijakan.

Catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), semenjak berdiri tahun 2002 membuktikan bagaimana elit politik, mulai dari kepala daerah yang diusung partai politik, anggota DPRD dan DPR serta menterinya partai politik, terjerat dengan undang-undang yang mereka sendiri ikut membuatnya.

Sementara, akibat kedua, utang budi mengakibatkan logika kebenaran menjadi terpenjara oleh kepentingan politik yang memihak kepada kekuasaan. Kebenaran, keadilan, dan pure democracy tidak lagi menjadi virtue politik. Demokrasi oleh karenanya sebagaimana dikemukakan Daniel Sparingga dalam pengantar buku “Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi: Sembilan Tesis”, adalah demokrasi yang mengalami defisit.

Defisit demokrasi pada akhirnya tidak saja berimplikasi kepada pembangunan dan kesejahteraan rakyat, lebih dari itu. Akibat defisit demokrasi, demokrasi menjadi kurus kerontang dengan ketiadaan modalitas powerful untuk mengontrol kebijakan-kebijakan bangsa ke depan. Sekalipun, setiap orang selalu berbicara pentingnya demokrasi, namun pada kenyataannya, berdemokrasi tidak lebih sekedar menyebut kebaikan orang yang telah mati. Hanya sekedar nostalgia dan kenangan ber-Kleisthenes, bapak Demokrasi itu.

Rente dan Lipstik

Akal sehat demokrasi, seperti yang digambarkan Soekarno, Hatta, dan M. Yamin, belum satu abad Indonesia merdeka, semakin jauh dan kehilangan pijakan normatif dan kulturalnya. Pemimpin yang nota bene memiliki kemerdekaan untuk mengambil kebijakan yang sepenuhnya untuk mewujudkan negara ber-Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan bangsa, kepemimpinan yang penuh bijaksana serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak lagi menspiriti kekuasaan yang diemban.

Kekuatan pengaruh rente sebegitu hebatnya, sehingga cita bangsa hanya menjadi jargon dan lipstick untuk menghiasi. Bahkan tidak jarang berhasil meninakbobokkan rakyat, untuk mendukung sepenuhnya kebenaran ala pemimpin. Kebenaran cultural, konstitusional, dan ilmiah diabaikan untuk semata-mata terciptanya kelanggengan kepentingan dan kekuasaan.

Jika kelahiran demokrasi merupakan upaya menggugat rezimentalisme dan oligarkisme yang korup dan tak berkeadaban, dewasa ini, demokrasi 180 derajat menjadi perkakas untuk melegitimasi kekuasaan, dan melahirkan oligarki baru.

Sebagai perkakas, Hatta menyebutkan keharusan demokrasi menjadi sebuah kesadaran kebangsaan yang ditopang oleh kebersamaan, kepedulian dan kolektifitet. Melalui ketiga prinsip ini, maka kekuasaan pemimpin tidak mutlak, melainkan hanya ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah, bukan mutlak semuanya penentuan nasib dan masa depan rakyat oleh pemimpin.

Sementara bagi Soekarno, demokrasi itu: ja`ni politiek economische democratie jang mendatangkan kesedjahteraan social. Intinya, pandangan pendiri bangsa ini hendak menegaskan bahwa demokrasi bukan untuk diperjualbelikan sehingga kemudian mendatangkan mudharat sebesar-besarnya bagi rakat. Tidak salah, jika kemudian Ibrahim Tan Malaka menyebut bahwa demokrasi diabadikan untuk rakyat.

Ketika rente menjadi ruh demokrasi, tanpa sadar kita sudah melakukan pembunuhan terhadap substansi demokrasi itu sendiri. Mengganti demokrasi dengan politik transaksional serta meletakkannya pada posisi pengelegitimasian kekuasaan, dapat diterka akan seperti apa demokrasi Indonesia ke depan.***

*Penulis, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat.
**Gambar oleh PublicDomainPictures dari Pixabay

Next Post

Eggi Sudjana: Walikota Jangan Represif pada Pedagang

Surat ke Walikota Bukittinggi tersebut juga ditembuskan Eggi ke Presiden, Mendagri, Gubernur Sumatera Barat, Kapolda Sumatera Barat, Ketua Perwakilan Ombudsman Sumatera Barat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bukittinggi
Pedagang Aur Kuning-eggi sudjana - bakaba.co

bakaba terkait