Pada 1 November lalu, dalam kata pembukaan Kaba Festival di Ladang Nan Jombang Padang, Sang Maestro Tari; Ery Mefri dalam sepenggal pidatonyo mengatakan:
“Kebudayaan adalah anak kandung dari negeri ini dan demokrasi adalah anak pungut.”
Sebuah kalimat yang luar biasa dari Sang Maestro Tari tersebut sehingga beberapa senior yang hadir dan pernah atau masih aktif di ranah politik seakan tertusuk ulu hatinya dengan kalimat tegas dan lugas tersebut.
Menurut Ery Mefri, kebudayaan sebagai anak kandung di Indonesia malah tidak diperhatikan secara serius oleh para penguasa. Sebuah paradok terhadap negara yang katanya berbudaya tapi kebudayaan malah dianaktirikan atau malah dibiarkan mati dengan dengan sendirinya secara perlahan-lahan.
Konstitusi Pasal 31 ayat (5) menegaskan: kewajiban negara untuk memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
Namun sayangnya negara terkadang melihat kebudayaan hanya formalistik kenegaraan semata. Bahkan ada yang melihatnya hanya sebagai formalistik dari sebuah proyek ala birokrat yang sama sekali tidak mengerti tentang sebuah esensi dari kebudayaan.
Betul, secara birokrasi sudah ada Dirjen Kebudayaan yang mengurus budaya tapi hal tersebut hanya bersifat parsial belum sebuah gerak yang berasal dari kesadaran politik para pemegang kekuasaan di negeri ini. Kegiatan kebudayaan bukanlah sekedar pagelaran atau pameran semata karena kebudayaan harus dilihat secara utuh.
Kebudayaan menurut Moh. Hatta adalah ciptaan hidup manusia, yang dalam definisi lain menurut Sutan Takdir Alisyahbana; kebudayaan merupakan manifestasi dari cara berpikir, atau menurut Selo Soemarjan kebudayaan adalah sarana hasil karsa, rasa dan cipta masyarakat. Atau pendapat Fuad Hasan, kebudayaan suatu kerangka acuan bagi prikehidupan masyarakat yang sekaligus untuk mengukuhkan jatidiri sebagai keberamaan yang berciri khas.
Dari beberapa pendapat di atas menjelaskan, kebudayaaan adalah ciri khas dan jatidiri sebuah bangsa yang menujukkan hasil karsa dan karsa yang mempunyai karakter unik dan itulah manifestasi dari jati diri sebuah bangsa.
Persoalan hari ini adalah kebudayaan masih menjadi anak pungut di negerinya sendiri. Berbuih pidato para pejabat dan penguasa tentang pentingnya mempertahankan kebudayaan nasional di tengah arus globalisasi, termasuk pidato yang mengebu-gebu bagaimana membangun karakter bangsa dan mengali nilai-nilai kebudayaan Indonesia sendiri. Tetapi pidato tinggal pidato, kebudaayan terus mengalami kemunduran dan seakan dibiarkan mati secara berlahan. Naif.
Pidato uda Ery Mefri tersebut lahir dari ungkapan kekecewaan luar biasa dari perhatian pemerintah tentang kebudayaan itu sendiri. Sebenarnya ungkapan tersebut tidak hanya berasal dari seorang Ery Mefri semata. Menurut penulis, hal tersebut merupakan ungkapan yang dibicarakan dan mewakili suara para budayawan di tanah air. Untung masih ada yang merawat kebudayaan secara mandiri dan swadaya serta partisipatif tanpa perhatian dari pemerintah.
Sanggar atau kelompok budaya lahir dan mati silih berganti , tapi mereka para budayawan asli terus berkarya tanpa harus dipuja atau disanjung atau diberikan sertifikat atau plakat penghargaan. Mereka terus berkarya secara mandiri karena mereka tak mau berdusta dengan sekotak stempel SPJ dan berlembar-lembar laporan adminisrasi dan proposal yang harus disetor sebagai sebuah pertanggung jawaban sebuah proyek kebudayaan.
“Jangan ajarkan kami berdusta,” itu kata Ery Mefri, satire namun menusuk hati.
Kebudayaan, walau menjadi amanat konstitusi tapi bagian atau porsi yang disediakan dalam anggaran negara sangat sedikit sekali . Padahal kebudayaanlah yang tetap merawat jati diri bangsa ini, tidak politik ataupun demokrasi. Dengan kebudayaan perbedaan menjadi sebuat ritme kehidupan berbangsa dan bernegara tetap menjadi sebuah simponi kehidupan tanpa ada jarak dan batas.
Sebaliknya karena politik dan demokrasi-lah kehangatan berbangsa dan bernegara menjadi tegang dan terbelah. Anehnya, demokrasi yang merupakan anak pungut dari repubik ini, tersedia anggaran yang luar biasa bahkan unlimited dengan alasan kedaulatan rakyat harus dipenuhi.
Padahal sebenarnya, kedaulatan rakyat telah dirampas oleh cukong-cukong yang tergabung dalam kelompok oligarki. Triliunan rupiah digelontorkan untuk demokrasi, untuk memilih para wakil rakyat dan para penguasa secara konstitusional. Tetapi apa yang terjadi? demokrasi meninggalkan residu perpecahan.
Atas nama kedaulatan rakyat semu bernama demokrasi, yang merupakan anak pungut malah tersedia sokongan anggaran yang unlimited. Untuk Pilpres saja berpuluh triliun rupiah digelontorkan yang terjadi malah terbelah rakyat di akar rumput dan belum lagi untuk pilkada jika ditotal secara akumulatif juga akan menyedot anggaran negara triliunan rupiah.
Kalau dari kaca mata budaya, sebenarnya Indonesia tidak mengenal one man one vote karena ruh dari Pancasila adalah musyawarah untuk mufakat. Sistem pemilihan langsung ala barat ditolak dan sebenarnya tidak dinginkan oleh Bung Karno (Baca Pidato 1 Juni 1945), termasuk oleh Tan Malaka ataupun Bung Hatta yang mengunakan istilah Demokrasi Asli berupa demokrasi desa.
Suara ‘Aku Indonesia’ dan ‘Aku Pancasila’ hanya sebuah narasi dan teriakan seperti tong kosong nyaring bunyinya. Tapi makna ke-Indonesia-an itu sendiri tidak dimengerti dengan baik, sebagaimana amanat konstitusi termasuk yang suka teriak merasa paling Pancasilais tapi tidak mengerti apa sebenarnya yang diwujudkan oleh anggota BPPUPKI dan Panitia 9 saat merumuskan Pancasila dan UUD 1945.
Tanpa sadar akulturasi budaya asing sebenarnya terjadi secara masif dan merusak kebudayaan nasional tanpa benteng pertahanan yang kuat karena generasi muda atau kaum milinieal tercerabut dari akar budayanya. K-Pop dan sejenisnya lebih menarik dan terasa lebih gaul daripada merdunya suara saluang, serunai, pupuik batang padi, gamelan atau gong atau musik tradional lainnya atau indah gerak tari piring, tari indang, tari serampang duabelas atau indahnya tari saman atau tari sedate atau jaipong dan lainnya.
Tak terasa revolusi 4.0 yang dikenal dengan disrupsi, ternyata juga terjadi disrupsi kebudayaan.
Kebudayaan yang berdaulat harus terjadi di negeri ini karena Kebudayaan adalah anak kandung dan penjaga tanpa henti dan pamrih dari sebuah bangsa. Kebudayaan tidak mengenal pangkat dan jabatan atau popularitas alias kebudayaan, karena dari kebudayaan yang ada adalah: kejujuran.**
Penulis, Dr. Wendra Yunaldi, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat.