Kejahatan ‘Agama’ Neo-Liberalisme terhadap Rakyat Miskin

redaksi bakaba

Kata-kata bagusnya; “jangan manjakan orang miskin!”. Kalau mereka gagal, semuanya tanggungjawab mereka secara pribadi karena mereka bodoh dan malas.

Image by falco from Pixabay
Image by falco from Pixabay

~Dr. Emeraldy Chatra

Neo-liberalisme dianalogikan oleh Susan George ketika bicara dalam Conference on Economic Sovereignty in a Globalising Word di Bangkok Maret 1999 sebagai sebuah ‘agama’. Seperti agama sesungguhnya, neo-liberalisme mempunyai kitab suci yang ditulis para ‘nabi-nabi’nya. Ia juga punya konsep ‘dosa’, yaitu segala sesuatu yang tidak boleh dilakukan karena menghalang-halangi imperium bisnis global meraup untung (ingat penolakan IMF terhadap gagasan Presiden Soeharto membuat currency board system –CBS– untuk menstabilkan harga rupiah). Ia juga memiliki konsep ‘sorga’, yaitu kemakmuran ekonomi apabila doktrin-doktrinnya diamalkan, meski sorga itu hanya kebohongan bagi 80 persen masyarakat dunia yang malah jadi semakin miskin.

Di samping itu, para ‘rabbi-rabbi’nya kini berkeliaran hampir di seluruh negara. Mereka masuk ke lapisan atas birokrasi pemerintahan (jadi menteri atau penasehat kepala negara), jadi rektor dan profesor di perguruan tinggi, atau memimpin partai politik dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tugas mereka menghidupkan terus-menerus ajaran neo-liberalisme, menanamkan nilai-nilainya, walaupun dibahasakan dengan cara berbeda-beda. Media massa pun banyak yang secara tidak sadar diperalat jadi corong propagandanya.

‘Agama’ yang paling banyak menimbulkan kehancuran ini berkembang dari ‘nabi-nabi ekonomi’ seperti Keynes, Hayek dan Friedman. Dari merekalah keluar doktrin pasar bebas (free market) yang merambah ke seluruh dunia dengan nama globalisasi. Meskipun pikiran neo-liberalisme sudah muncul sebelum tahun 50-an, ia baru dapat respon yang berarti tiga puluh tahun kemudian. Mulanya ajaran ini sangat tidak populer.

Kalau saja tahun 80-an PM Inggris Margaret Thatcher dan Presiden AS Ronald Reagan tidak mengukuhkan diri mereka sebagai penerus ajaran neo-liberalisme dan mengglobalkannya, akibat yang dirasakan masyarakat dunia, khususnya di negara-negara berkembang mungkin tidak separah sekarang. Thatcher terang-terangan mengatakan, ia pengikut Hayek dan menerima kebenaran teori Darwinisme Sosial yang menyatakan bahwa “secara alamiah yang kuatlah yang harus menang”.

Kolaborasi dua kekuatan dunia ini memaksa pemimpin berbagai negara menerima ajaran tersebut, kendati akibatnya mereka menjadi ‘rabbi-rabbi neo-liberalisme’ yang berfungsi sebagai agen-agen penindas bagi bangsanya sendiri. Hanya kepala negara keras kepala dan kritis yang berani menolak ‘agen pemasaran’ neo-liberalisme, IMF, mengulurkan obat berisi racun ke negaranya. Mahathir Mohamad, mantan PM Malaysia (kembali jadi PM pada usia 94 tahun) adalah contoh paling tepat untuk kepala negara jenis itu. Dengan tegas ia menolak bantuan IMF ketika negara-negara lain di Asia Tenggara ramai-ramai menerima.

Doktrin Jahat

Ada lima doktrin jahat neo-liberalisme yang melahirkan penderitaan kalangan miskin. Pertama, pemerintah harus membuat pasar sebebas mungkin, tak peduli apapun akibat sosialnya. Pintu bagi perdagangan dan masuknya modal asing harus dibuka selebar-lebarnya. Sekat-sekat tarif (tariff barrier) yang disebabkan cukai harus dihapus.

Kedua, belanja publik untuk pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan harus dikurangi. Demikian juga jaringan pengaman sosial (social safety-net) untuk rakyat miskin, subsidi pemeliharaan jalan, jembatan, hingga suplai air harus diperkecil dalam konteks mengurangi peran pemerintah. Tapi bukanlah ‘dosa’ kalau pemerintah memberi subsidi dan mengurangi pajak untuk kepentingan bisnis. Oskar Lafontaine, mantan Menteri Keuangan Jerman disebut sebagai orang kapir terhadap ajaran Keynesian (unreconstructed Keynesian) oleh koran Finansial Times karena berani mengusulkan pajak yang lebih tinggi untuk perusahaan, dan pengurangan pajak bagi rakyat miskin.

Ketiga, peraturan pemerintah yang akan mengurangi keuntungan bisnis harus dihapus (dideregulasi), termasuk aturan-aturan yang mempersulit bisnis mengeksploitasi sumber daya alam.

Keempat, seluruh perusahaan milik negara harus diprivatisasi atau dijual ke pihak swasta. Alasannya, agar tercapai efisiensi, meski akibatnya kesejahteraan terkonsentrasi di tangan segelintir orang yang mempunyai uang. Mereka umumnya investor asing.

Kelima, habisi konsep ‘barang publik’ (public good) atau ‘komunitas’ dan ganti dengan istilah ‘tanggungjawab individual’ (individual responsibility). Rakyat miskin harus ditekan agar mencari solusi sendiri untuk masalah pelayanan kesehatan, pendidikan dan jaminan sosial. Mereka harus berjuang sendiri, tidak boleh diproteksi oleh komunitas. Kata-kata bagusnya; “jangan manjakan orang miskin!”. Kalau mereka gagal, semuanya tanggungjawab mereka secara pribadi karena mereka bodoh dan malas.

Agenda ‘Jenderal’ Kapitalis?

Pengamalan secara utuh ajaran neo-liberalisme sudah pasti menyebabkan habisnya peran pemerintah sebagai pemegang amanat penderitaan rakyat. Mereka boleh tetap ada dan menikmati privilege sebagai elit pemegang kekuasaan. Namun kekuasaan sesungguhnya sudah beralih ke tangan para ‘jenderal’ kapitalis atau penguasa jaringan bisnis global. Mulai dari kepala-kepala negara hingga pemerintah setingkat camat secara tidak sadar bertekuk lutut pada kemauan para ‘jenderal’ tersebut.*

*Penulis, Dosen FISIP Universitas Andalas
**Image by falco from Pixabay 

Next Post

Nasib Singkat Pesan Pendek

Apalagi? SMS sering digunakan untuk penipuan. Tiba-tiba kirim rekening. Minta dikirimin uang. Nah. Ada yang hobi mengupload nomor-nomor aneh itu ke media sosial. Lalu ditertawakan karena tak ada angin tak ada hujan mendapat city car.
Image by Katarzyna Tyl from Pixabay

bakaba terkait