HABIS daya Nyiak Ngunguah menghadapi jawi kesayangannya: Jawi Balang Puntuang. Tak terbilang kali ia harus menemui Sutan Paurek si tukang urut kenamaan di Negeri Jurai Bajiruek.
Bahkan gigi depan Nyiak Ngunguah yang tinggal satu-satunya, pekan kemarin telah tanggal karena tertelungkup dan gigi tunggalnya itu mendarat persis di batu, akibat dari ulah jawinya itu tentu.
Entah sudah berapa nasihat yang diberikan orang kampung, tetapi gaek gigiah (orang tua yang gigih, lebih ke keras kepala) ini hanya mendengus lalu menjauh.
Telah berbilang purnama Nyiak Ngunguah memelihara Kalupak Jawi Balang Puntuang, tak ada kemajuan sama sekali dalam tabiat jawinya ini. Malah semakin menjadi-jadi.
Baca juga: [1] Jawi Balang Puntuang
Baru kapatang Nyiak Ngunguah tersirumbam (terjatuh dengan muka mendarat lebih dahulu) masuk banda (selokan air). Pagi tadi sudah tapupua (jatuh dan terseret dengan kondisi bagian tubuh tertentu terluka akibat terseret) pula hidungnya.
Sirok sanjo (sesaat menjelang magrib) ini telah babak bundas pula pantat tepos gaek itu karena tahantak (jatuh dengan pantat mendarat tepat mendarat pada bagian yang keras) di tanah keras dan tajaja (posisi bagian tubuh tertentu sedang terletak di satu tempat lalu tertarik oleh sebuah kekuatan yang tidak terlawan) karena Kalupak Jawi Balang Puntuang sedang kambuh perangainya berlari sambil melompat-lompat, melenguh-lenguh dengan keras.
“Begitulah perangai Kalupak Jawi Balang Puntuang, tak ada akal yang dapat kita pakai untuk menghadapinya. Kasihan Nyiak Ngunguah” kata Tan Tarulaik sembari menyajikan kopi untuk Basa Batuah.
“Serupa benar dengan Nyiak Ngunguah belakangan ini, Tan,” Pado Nyanyai menyela di pintu lepau.
Pado Nyanyai menerus ciloteh tentang Nyiak Ngunguah: Jika kita beri nasehat demi kebaikannya ia akan marah, mendengus, jika diajak gotong-royong ia menolak, membantah, ada saja alasannya. Jika dalam sebuah pekerjaan atau musyawarah beliau kita dahulukan, kita diceramahi, kata-katanya pedas, kita selalu salah di mata beliau, beliau selalu benar. Jika diminta menjadi ketua atau pemimpin, ia tak disiplin, kita diberi berbagai tugas dan tanggung jawab yang tak masuk akal, selalu mencari gara-gara.
Jika ia tidak diberi jabatan, ia mengacau saja, berbagai macam tuntutan dan dakwaan akan ia muntahkan dari mulut ompongnya.
Bertemperasan segala kutuk dan serapah dari mulutnya, semua orang akan ia serang dengan segala kebodohannya. Tak ada yang dapat kita lakukan terhadap gaek gigiah itu selain dari bersabar dan sebisa mungkin tidak berurusan dengan beliau. “Benar-benar telah serupa dengan jawinya,” kata Pado Nyanyai.
Orang selepau memutar leher ke arah sumber suara, tetapi sontak semua segera menekur kembali ke gelas kopi mereka masing-masing.
Sebuah mulut ompong dengan seringai masam ternyata menyembul di belakang bahu Pado Nyanyai. Tan Tarulaik terperanjat, tapi segera tersenyum lebar sambil berkata: “Eh, Inyiak mah, duduklah, kopi pahit dengan sepiring ketan dan goreng pisang atau teh manis dengan serabi dan kolak labu, Nyiak?”
Malam turun semakin cepat, embun menggigit tulang, satu demi satu pengunjung lepau mulai beranjak pulang, merebahkan tubuh dan memicingkan mata. Hanya Jawi-jawi Balang Puntuang saja yang tak terpengaruh dengan malam yang mulai larut dan dingin yang menggigit tulang. Mereka tetap saja akan meraung dan mengguncang negeri dengan segala kebalangpuntuangannya. [Tamat]
~Juaro Gunuang Marapi
**