Rumah Dinas Walikota Bukittinggi “Disegel” Kaum Guci

redaksi bakaba

Pemasangan spanduk sebagai sinyal “penyegelan” oleh kaum Suku Guci di bagian rumah Dinas Walikota yang sedang dikerjakan di Belakang Balok,

Spanduk Kaum Guci Tangah Sawah - bakaba.co
Spanduk Kaum Guci Tangah Sawah – bakaba.co

bakaba.co | Kaum Suku Guci Tangah Sawah Bukittinggi Lui St. Maruhun sudah puluhan tahun menunggu janji Pemerintah Kota Bukittinggi. Janji yang belum juga ditunaikan Pemko Bukittinggi terkait penyelesaian sisa pembayaran ganti rugi tanah kaum yang dipakai untuk Rumah Dinas Walikota Bukittinggi di Belakang Balok. Luas tanah Kaum Guci St. Maruhun di lahan Rumah Dinas Wako itu: 1.692,5 m2.

Hari ini, Rabu, 27 November 2019, anak-kemenakan Lui St. Maruhun memasang pengumuman di Rumah Dinas Walikota tersebut. Beberapa spanduk rentang dipasang. Isinya:

Tanah pada bangunan rumah dinas walikota ini masih milik kaum Guci (Lui St. Maruhun) Tangah Sawah yang belum ada penyelesaian pembayaran ganti rugi sejak 1974 oleh Pemerintah Kota Bukittinggi.

Kami atas nama kemenakan kaum Guci Tangah Sawah meminta Pemko untuk menyelesaikan segera sisa pembayaran tersebut dengan penuh kesadaran.

Rumah Rp16,9 miliar
Rumah Dinas Walikota Bukittinggi saat ini sedang penyelesaian pembangunannya. Rumah Dinas yang lama diruntuh-habiskan oleh Walikota Bukittinggi sekarang: M. Ramlan Nurmatias, Februari 2017. Kemudian dibangun secara multiyear : 3 tahun anggaran, sejak 2017, 2018 dan 2019. Total anggaran yang dihabiskan untuk fisik saja Rp16,9 miliar. Bulan Desember depan pembangunan dijadwalkan siap dan akan diresmikan Walikota.

Rumah Dinas Walikota Bukittinggi - FR/bakaba.co
Rumah Dinas Walikota Bukittinggi – FR/bakaba.co

Kaum Guci
Kaum Guci St. Maruhun sudah lama meminta kepada Pemerintah Kota Bukittinggi untuk menyelesaikan pembayaran hak tanah mereka yang telah dikuasai Pemda Bukittinggi. Sementara tanah rumah dinas itu sudah disertifikatkan oleh Pemko Bukittinggi. Ketika rumah dinas lama diruntuh-habiskan dan akan dibangun baru, anak-kemenakan St. Maruhun, Suku Guci Tangah Sawah kembali mengingatkan Pemko Bukittinggi.

Semua berawal: tanggal 13 Mei 1974, Pemerintah Kota Bukittinggi mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 29/wako/1974 untuk membebaskan tanah kaum suku Guci Lui St.Maruhun dan memberikan ganti rugi dengan luas tanah 2.708 m2.

Pemko pada tahun 1974 tersebut menetapkan ganti rugi tanah Lui St. Maruhun Kaum Suku Guci Tangah Sawah senilai Rp400 per meter. Untuk pembayaran tahap I, Pemko melalui ahli waris telah membayarkan ganti rugi tanah senilai Rp406.200,-

Dari pembayaran tahap I tersebut Pemko Bukittinggi baru menyelesaikan nilai ganti rugi tanah yang dibayarkan seluas 1.015,5 m pada Lui St.Maruhun dari total tanah yang akan diganti rugi pada tahun 1974. Setelah tahun 1974 hingga 2019, Pemko tidak pernah melakukan pembayaran sisa tanah seluas 1.692,5 m2 lagi.

Kaum suku Guci Lui St. Maruhun meminta Pemko Bukittinggi untuk membayar sisa tanah. Caranya dengan mengirimkan surat pada instansi terkait seperti Pemko, DPRD dan Kementerian. Berbagai rekomendasi telah diterbitkan seperti rekomendasi Ketua DPRD Kota Bukittinggi, H.Trismon, S.H tahun 2009 nomor surat rekomendasi: 13/DPRD-I/2009 meminta Pemko Bukittinggi melakukan sisa pembayaran tanah dengan SK Walikota nomor 29/wako/74 dengan NJOP yang berlaku di saat ini dan aturan lainnya.

Tahun 2009 itu, Walikota Bukittinggi, Drs. Djufri menanggapi surat dari Sekretariat  Negara dengan nomor : B-4443/setneg/D-5/10/2008 tentang pengaduan masyarakat terhadap sisa pembayaran ganti rugi tanah yang belum diselesaikan oleh Pemko Bukittinggi.

Dalam surat yang dikirim Setneg meminta Pemko Bukittinggi menampung permasalahan yang ada dan mengkaji tentang laporan masyarakat.

Pihak Pemko Bukittinggi melalui Walikota juga mengirimkan surat perihal surat pengaduan masyarakat dengan nomor surat : 60/Pem/I-2009.

Dalam surat yang dibuat oleh Walikota untuk Setneg tersebut menyampaikan bahwa sisa pembayaran tanah ganti rugi yang belum terselesaikan dikarenakan adanya konflik dari keluarga Lui St. Maruhun.

Dalam surat yang disampaikan Djufri selaku Walikota Bukittinggi saat itu menyampaikan pada Setneg akan segera memproses sisa pembayaran tanah kaum suku Guci Tangah Sawah yang terpakai.

Terus Berupaya
Upaya mendapatkan hak terus dilakukan kaum Suku Guci. N. Dt. Indomo selaku kuasa kaum Suku Guci Tangah Sawah menyampaikan pada bakaba.co, pihaknya telah beberapa kali menyurati Pemko Bukittinggi untuk segera menyelesaikan sisa pembayaran ganti rugi tanah seluas 1.692,5 m2 lagi. Sejak tahun 1974 selaku pemilik tanah dari kaum suku Guci Tangah Sawah baru menerima pembayaran tahap pertama saja.

Pembayaran tahap kedua juga telah meminta pada M.Ramlan Nurmatias selaku Walikota Bukittinggi agar menyelesaikan sisa pembayaran ganti rugi tanah dengan harga sekarang. Dt. Indomo mengakui, telah sering melakukan pembahasan dengan pihak Pemko agar realisasi ganti rugi tanpa birokrasi yang berbelit.

“Kalau proses pembayaran sisa tanah tersebut lambat dibayarkan, kami akan meminta kembali tanah tersebut. Kami juga siap mengembalikan uang pembayaran tahap satu yang dulu diterima Suku Guci Tangah Sawah,” kata Dt. Indomo.

Halnya Pemko Bukittinggi, tidak segera melunasi tetapi meminta pendapat (Legal opinion) pada Kejaksaan Negeri Bukittinggi dengan surat B.1526/L.3.11/Gph/11/2019 tgl 11 November 2019. Kejaksaan memberikan dua saran: pertama, agar Pemko Bukittinggi segera melakukan pembayaran kekurangan sisa ganti rugi tanah a/n Lui St. Maruhun dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, Pemko Bukittinggi dapat meminta pendampingan hukum (legal assistant) ke bidang perdata dan tata usaha negara Kejaksaan Negeri Bukittinggi terkait teknis pembayaran ganti rugi pada ahli waris.

Iktikad Baik
Tim Kuasa Hukum Kaum Suku Guci Tangah Sawah, Zulhefrimen, S.H., Cory Amanda, S.H.,M.H. dan Ahmad Zacky, S.H menyampaikan pada bakaba.co, bahwa tidak ingin klien mereka dirugikan dalam sisa pembayaran ganti rugi tanah tersebut nantinya.

“Kami akan menempuh jalur hukum apabila pihak Pemko tidak ada iktikad baik pada klien kami. Jalur perdata dan pidana terbuka untuk ditempuh,” kata Zulhefrimen.

Untuk jalur hukum kata Zulhefrimen, perdata pasal 1243 KUH Perdata dan pidananya pasal 385 KUHP dan Perpu 51/1960 yang mengatur mengenai larangan memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasa yang sah.

Bereaksi
Pemasangan spanduk sebagai sinyal “penyegelan” oleh kaum Suku Guci di bagian rumah Dinas Walikota yang sedang dikerjakan di Belakang Balok, membuat pihak Pemko Bukittinggi bereaksi.

Wakil Walikota Bukittinggi, Irwandi melihat kondisi tersebut langsung menyikapi dengan berdialog dengan pihak pemilik tanah. Dan segera memberikan solusi bagi kaum suku Guci Tangah Sawah.

“Kami sedang berupaya dan berkoordinasi terkait sisa ganti rugi tanah suku Guci ini. Kami mengakui memang tanah pada Rumah Dinas ini milik kaum suku Guci Tangah Sawah Lui Sutan Maruhun. Kami berharap pihak keluarga bersabar,” kata Irwandi menjawab bakaba.co.

~ Fadhly Reza

Next Post

Matinya Peran Investigative Reporting

Kejahatan publik itu dilakukan oleh penguasa. Perlu tenaga ekstra untuk melakukan kegiatan jurnalistik untuk mengungkapnya. Mereka yang memiliki perangkat kerja investigasi dengan menghasilkan indepth reporting, laporan mendalam, yang kuat akan bisa membuat penguasa itu tumbang.
Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

bakaba terkait