Peneliti Sosial tidak Boleh Berbohong

redaksi bakaba

“Peneliti sosial bertujuan menemukan kebenaran relatif, logis, sadar akan kesalahan dan kekurangan, dan tidak boleh berbohong.”

Hilma Safitri, Pendiri dan Peneliti Senior ARC Bandung
Hilma Safitri, Pendiri dan Peneliti Senior ARC Bandung

bakaba.co | Padang | Semua penelitian Ilmu Sosial itu subjektif. Tetapi dalam proses penelitian sosial yang subjektif, tetap harus dilakukan dengan prinsip-prinsip, ada tata caranya, dan etika yang mendasari dan mengiringinya. Di antara prinsip-prinsipnya adalah independensi sebagai peneliti, subjektifitas, dan juga tidak bebas nilai dalam arti tidak terlepas dari realitas.

“Peneliti sosial bertujuan menemukan kebenaran relatif, logis, sadar akan kesalahan dan kekurangan, dan tidak boleh berbohong.”

Hal itu mengemuka dalam Sekolah Keadilan Agraria dan Lingkungan II (SKALA II) hari kedua, Jumat, 31 Januari 2020 yang diselenggarakan Pusat Kajian SANGKAKALA di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Andalas Padang.

Dalam program SKALA II hari kedua dengan tema ‘logika, filsafat, dan prinsip penelitian agraria’ disampaikan Hilma Safitri, Pendiri dan Peneliti Senior ARC Bandung dan Frans Ari Prasetyo, Peneliti Tamu ARC.

Peserta Sekolah Keadilan Agraria dan Lingkungan
Peserta Sekolah Keadilan Agraria dan Lingkungan

Di hadapan puluhan peserta Sekolah Keadilan Agraria dan Lingkungan, narasumber Hilma Safitri membuka forum dengan pertanyaan: Apa yang sesungguhnya kita ketahui tentang penelitian? Apakah kegiatan penelitian sebuah pencarian terus menerus untuk menemukan segala sesuatu yang, mungkin, belum ada dalam ilmu pengetahuan? Apakah sebuah penelitian akan menyelesaikan masalah kehidupan, atau hanya menyelesaikan masalah penelitian itu sendiri? Dan mengapa dan bagaimana penelitian dilakukan?

Menurut Hilma, mengutip Dianto Bachriadi peneliti pada ARC Bandung, ilmu pengetahuan menciptakan dunia rekaan dari dunia nyata. Apa yang dimaksud dengan dunia nyata dan dunia rekaan?

Hilma menjelaskan, dalam dunia nyata ada realita yang disebut fenomena karena ada konsepsi dan teori yang digunakan untuk membacanya. Dari dunia nyata tersebut, dibawa ke dunia rekaan yang memunculkan fakta dengan menggunakan asumsi dan hipotesa. Dari fakta kemudian dicari datanya dengan metode dan teknik tertentu. Selanjutnya ada yang disebut sebagai fenomena rekonstruktif yang dibentuk dari proses rekonstruksi, deskripsi, eksplanasi, dan analisa. Ujungnya adalah realita rekaan yang diciptakan dari hasil interpretasi. Setelah itu, dari dunia rekaan tersebut dibawa kembali ke dunia nyata melalui aksi-aksi untuk menyelesaikan masalah di awal.

“Inilah yang disebut dengan Sistem Logika Penelitian Sosial atau the logic system of social research,” kata Hilma Safitri.

Dalam diskusi interaktif, muncullah perdebatan tentang aksi-aksi sebagai bagian yang termasuk dalam penelitian atau tidak termasuk di dalamnya. Maka pertanyaan selanjutnya, jika aksi-aksi tersebut menjadi bagian dari penelitian, apakah penelitian itu objektif atau subjektif?

Dianto Bachriadi, narasumber hari pertama yang juga ikut dalam sesi diskusi, menyampaikan bahwa semua penelitian Ilmu Sosial itu subjektif dan peneliti adalah bagian dari instrumen penelitian. “Peneliti tidak terpisah dan dibatasi atau bahkan membatasi diri dari realitas sosial yang ditelitinya,” ujar Dianto.

Realitas Sosial
Materi yang disampaikan dalam diskusi di hari kedua SKALA II Sangkakala menjadi materi pembelajaran bersama. Juga sebagai refleksi bersama atas realitas penelitian sosial dengan realitas sosial yang terjadi selama ini.

Peserta dapat memahami bahwa peneliti sosial pada akhirnya tidak bisa melepaskan diri dari realitas sosial jika hendak menyelesaikan masalah sosial, atau dengan kata lain: mewujudkan perubahan sosial.

~ info: Virtuous S
~ editor: aFs/bakaba

Next Post

Esensi Merdeka Belajar = Merdeka Belajar

Keputusan Mendikbud baru tentang penghapusan UN, dan mempersingkat RPP menimbulkan banyak perdebatan di kalangan praktisi akademik
Gambar oleh Ruddin Ardzi dari Pixabay

bakaba terkait