~ Yusra Maiza
Di Indonesia siapa yang tak kenal kota Bukittinggi. Selain ikon Jam Gadang yang sudah dilihat dunia, Bukittinggi juga merupakan episentrum kemajuan wilayah Sumatera bagian tengah sebelum dipecah menjadi beberapa provinsi di era pemerintahan Soekarno, tahun 1957. Ada juga figur proklamator Mohammad Hatta terbayang saat menyebut nama Bukittinggi.
Belum lagi secara kultural, sejak masa kolonial hingga zaman kemerdekaan era Soekarno, Bukittinggi pernah dijadikan ibu kota pemerintahan.
Jadi tak heran, ketika menelusuri jalanan kota, kawasan Stasiun, Kampuang Cino, Pasa Lereng, Lapangan Kantin, Ngarai, Pasa Banto, masih ditemukan gedung bekas bangunan instalasi militer bergaya khas Eropa (Belanda) dan Jepang. Bahkan, peninggalan monumental Lobang Jepang masih ada dan terawat, menjadi salah satu destinasi wisata.
Secara geografis dan topografis, Kota berpenduduk 128.783 jiwa (bps: 2019), sangat elok dan sejuk. Di lingkari dua punggawa Gunung Merapi dan Singgalang, Bukittinggi bagaikan kota ‘City on the Hill’. Kota di atas bukit yang eksotik, berbagai macam kreasi handycraft khas Bukitinggi juga sudah mendunia. Kulinernya pun terkenal dimana-mana. Nasi Kapau, karupuak sanjai, adalah kuliner khas Bukittinggi. Para pedagangnya terkenal ulet dan gigih, sehingga banyak yang sukses di perantauan jadi pengusaha dan pedagang. Kedai kopi, sentra kuliner, pasar Aua Kuniang alias tanah abangnya Sumatera adalah puzzle yang semakin menambah inspirasi, bahwa Bukittinggi sangat layak dijadikan sebuah kota kecil yang maju, modern, religius, dengan tetap terjaga dalam sebuah kearifan lokal budaya Minangkabau yang sakral.
Bukittinggi, bagaimana?
Bagaimana dengan tata kelola pemerintahannya? Bagaimana arah pembangunannya? Ibarat kita berlayar, mau kemana dibawa biduk kota ini? Pulau impian apa yang akan kita tuju? Dan bagaimana strategi pengembangannya?
Pertanyaan di atas adalah pertanyaan umum dari para cendekia dan masyarakat kota Bukittinggi, baik di ranah maupun di rantau. Bahkan juga bagi masyarakat Minangkabau secara umum. Karena melihat geliat perkembangan dan kompetisi antar daerah di zaman otonomi ini semakin tinggi dan dinamis.
Dalam skala provinsi Sumbar saja, kita bisa melihat bagaimana kota Padang membenahi dirinya menjadi kota metropolis yang tingkat kunjungan nomor 6 terbanyak di Indonesia. Pesisir Selatan dengan kawasan Mandeh-nya, Sawahlunto dengan terobosan kota tambang tua yang bersolek menjadi kota cita-rasa Eropa, Kabupaten Limapuluh Kota dengan Kampung Eropa di Harau dan ‘New Zealand’ Padang Mangateh-nya. Belum lagi Pariaman dengan event tabuik di Pantai Gandoriah serta pulau Angso Duo yang disulap bak Mandalika.
Itu baru berbicara skala provinsi. Apalagi kalau kita berbicara tingkat nasional. Pasti akan banyak lagi daerah yang jauh lebih maju berkembang pesat karena pariwisatanya.
Secara tren hari ini, selain industri manufaktur, pariwisata adalah salah satu instrumen yang paling cepat untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi masyarakat dengan biaya murah meriah, sesuai dengan kemampuan daerah dibandingkan pola industrialisasi.
Kota ‘MICE’
Salah satu konsep pariwisata agar orang semakin banyak berkunjung pada sebuah kota adalah MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition). Kota Bukitinggi menurut penulis adalah kota yang paling tepat untuk menerapkan konsep MICE.
Kompetisi lintas daerah semakin tinggi. Perlu sebuah terobosan dan langkah-strategis, taktis, secara bersama antara pemerintah, pelaku bisnis, akademisi, dan masyarakat. Bagaimana membuat terobosan, menggali potensi, mempromosikan, dan mengnyinergikan segala potensi Kota Bukittinggi ke segala penjuru dunia.
Untuk venue pariwisata, Bukittinggi tidaklah kekurangan. Sebagai kota dengan julukan Kota Wisata paling lengkap tersedia venue pariwisatanya. Ada wisata alam Ngarai Sianok, wisata buatan kebun binatang ‘Kinantan’, heritage benteng Fort de Kock, dan lainnya, yang perlu ditingkatkan lagi adalah menata event besar berupa parade budaya, atau kreasi yang unik untuk menjadi daya tarik orang berkunjung.
Secara fasilitas pendukung sarana pariwisata Bukittinggi juga termasuk cukup lengkap. Mulai dari hotel kelas melati sampai hotel berbintang hingga pusat perbelanjaan. Hanya perlu pembenahan pada pusat belanja, panggung hiburan dan sarana transportasi angkutan umum yang baik dan layak untuk melayani pengunjung kota.
Peran Pemerintah
Bukittinggi perlu dikuatkan dengan membuat event skala internasional. Apakah itu melalui lobi ke pemerintah pusat, atau bisa juga event hobbies yang memanfaatkan jaringan para perantau Bukittinggi yang ada di seluruh dunia. Intinya di sini adalah promosi dan re-branding kembali kota Bukitinggi menjadi kota wisata idaman nusantara. Kalau lihat Jam Gadang, orang akan rindu pergi ke Bukittinggi. Rindu akan udaranya, kulinernya, dan ramah sapa masyarakatnya
Di sinilah menurut penulis peran pemerintah. Bagaimana menjadi trigger dan daya ungkit dalam menaikkan kembali pamor kota Bukittinggi. Manfaatkan era digitalisasi; sosial media hari ini sebagai pintu-pintu promosi dan sosialisasi.
Secara geografis, seharusnya untuk konteks Sumatera Barat, Bukittinggi adalah kota yang paling tepat untuk menerapkan pariwisata One Stop Destination. Keberhasilan pariwisata itu dilihat dari semakin banyak orang datang, semakin lama tinggal, dan semakin banyak membelanjakan uangnya. Apakah itu untuk makan, hotel, berbelanja, dan keperluan lainnya.
Jika itu terjadi, maka perekonomian masyarakat pun akan terangkat. Para pedagang di Aua Kuniang jualannya laku. Pedagang karupuak sanjai laris. Pengrajin handycraft banyak pesanan. Para kreator seni pun punya panggung untuk menampilkan bakat bakat kreasinya.
Lihat Bali, Langkawi, Singapore, Batam, Bandung, atau banyak kota lainnya di dunia ini yang hidup maju dari pariwisata. Bukittinggi tidak mungkin menjadi kota industri, menjadi kota tambang apalagi. Jadi dunia pariwisata adalah DNA dasar kota Bukittinggi.
~ Penulis, aktivis sosial dan pemerhati pariwisata & budaya