Pemekaran Agam [2]: Dekatkan Akses Pelayanan, Gerakkan Pembangunan

redaksi bakaba

bakaba.co, Lubuk Basung – Menjadikan Kabupaten Agam jadi dua daerah otonomi atau dimekarkan, sudah menjadi kebutuhan. Hal itu dapat dilihat dari berbagai aspek, mulai dari ketidakseimbangan pembangunan, perbedaan sosio-budaya, kondisi alam dan lingkungan yang heterogen sampai aspek pelayanan publik.

“Setidaknya ada sebelas faktor dan aspek yang menjadi syarat patut atau tidaknya sebuah daerah dimekarkan. Kesemua aspek yang disyaratkan undang-undang terpenuhi oleh Kabupaten Agam,” kata H. Mishar Dt. Mangkuto Sapuluah, Ketua Karapatan Niniak Mamak Luhak Agam kepada bakaba.co

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Luhak Agam dibagi atas 4 Onderafdeeling. Pertama, Onderafdeeling Agamtuo dengan pusatnya Bukittinggi, kedua: Agammudo dengan pusatnya Maninjau, ketiga; Pasaman berpusat di Lubuk Sikaping dan empat; Onderafdeeling Talamau berpusat di Pasaman Barat.

Satu dasawarsa setelah kemerdekaan, Kabupaten Agam secara resmi ditetapkan sebagai salah satu kabupaten di Sumbar. Penetapan berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 1956, 19 Maret 1956. Ibukabupaten dan pusat pemerintahan Agam berada di Bukittinggi.

Secara de facto sejak 9 Juli 1993, ibukabupaten Agam, dari Bukittinggi dipindahkan ke Lubuk Basung. Lima tahun kemudian keluar Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1998, 7 Januari 1998, yang menetapkan secara resmi ibukota Kabupaten Agam di Lubuk Basung.

Rencana awal ibukota kabupaten akan dipindahkan ke Matua, yang posisinya di tengah. “Batal di Matua, akhirnya dipindahkan ke Lubuk Basung, yang posisinya di ujung paling barat wilayah Agam,” kata Asbir Dt. Rajo Mangkuto, mantan Wali Nagari Simarasok, Baso.

Banyak masalah
Penempatan pusat pemerintahan Agam di Lubuk Basung secara faktual tidak simetris. Ibukabupaten yang terletak di barat dengan kecamatan paling timur berjarak lebih dari 70 km. Masyarakat Padang Tarok, Basa yang akan berurusan ke Lubuk Basung akan menempuh perjalanan sedikitnya dua jam. “Itu sama dengan waktu tempuh Bukittinggi ke Padang,” kata Dt. Nan Kodoh, salah seorang niniak mamak Nagari Kapau.

Berdasarkan analisa Panitia Kerja Pemekaran Agamtuo yang disampaikan ke DPRD Agam tahun 2007, jauhnya jarak pusat pemerintahan Agam dari daerah terujung timur hanya salah satu aspek patutnya Agam dimekarkan. Faktor lain yang dipaparkan mencakup; masalah ketimpangan dan percepatan pembangunan, serta tidak memadainya perhatian terhadap masyarakat yang berada jauh dari pusat pemerintahan.

Selain itu, sulitnya masyarakat mendapat pelayanan di bidang tataperadilan. Di mana masyarakat di daerah timur yang sedang menghadapi dan mencari keadilan hukum akan menghadapi beban psikologis, ekonomis, waktu dan tenaga karena harus ke Lubuk Basung yang jaraknya begitu jauh.

Jangkauan pelayanan di bidang kesehatan baik terkait sanitasi, adanya wabah penyakit juga menjadi aspek yang selama ini tidak bisa maksimal dijalankan di Agam bagian timur. Selain itu, dalam analisa tim ahli yang membantu Panitia Kerja Pemekaran Agamtua juga menilai bahwa faktor geografis Agam yang sangat beragam serta heterogenitas masyarakat di sisi sejarah, budaya dan karakter menjadi hambatan jika tetap menyatu seperti sekarang.

Salah seorang peserta dengar pendapat dengan Komisi I DPRD Agam, Dt. Ambasa dari Canduang mengatakan, pemerataan pembangunan dan perkembangan ekonomi masyarakat bisa diwujudkan jika Agam dimekarkan.
“Kita bisa melihat fakta Kabupaten Pasaman Barat, Dharmasraya, Solok Selatan dan Mentawai semakin berkembang dan maju setelah menjadi daerah otonomi baru,” kata Dt. Ambasa. #afs

Next Post

OSO dan 'Kerabang' Gebu Minang

bakaba.co, – Salut sekaligus heran ketika Oesman Sapta Odang alias OSO dipilih jadi Ketua Gebu Minang periode 2016 – 2021. OSO, meski tidak hadir pada sesi pemilihan pada Mubes Gebu Minang, 25 Desember 2016 dinihari di […]

bakaba terkait