Gambar oleh Igor Ovsyannykov dari Pixabay

Minangkabau dalam Kontestasi Budaya

Kita sekarang berada di tengah kontestasi budaya yaitu antara budaya global dengan budaya lokal. Budaya global sengaja disebarkan untuk membunuh budaya lokal untuk tujuan ekonomi dan politik.

Cara membunuh budaya lokal adalah dengan ‘menculik’ anak-anak kita. Bukan fisiknya yang diculik, tapi pikirannya. Pikiran mereka diracuni dengan pola-pola yang berbeda bahkan bertentangan dengan pikiran budaya lokal. Akibatnya, mereka tidak kenal lagi budaya kedua orang tuanya. Mereka masih Minang, tapi pola pikir mereka sudah global.

Bagi mereka Minang sudah tidak penting. Itu didukung oleh riset kecil-kecilan yang saya buat dua tahun lalu: 33,3 persen responden setuju dengan pernyataan ‘Minangkabau sudah mati’. Mungkin angka 33,3 persen itu tidak begitu akurat, tapi kalau dua atau tiga dari sepuluh orang putra Minangkabau yang menyatakan setuju bahwa Minangkabau sudah mati berarti secara kultural kita sudah memasuki masa krisis.

Serangan budaya global itu sungguh dahsyat. Media yang mereka gunakan terutama sekali adalah pornografi. Pornografi merangsang munculnya prilaku seks bebas di kalangan remaja. Seks bebas kemudian jadi ideologi anak muda.

Di Subang, Jawa Barat tempat saya penelitian cukup lama, seks bebas tidak hanya sekedar ideologi, tapi menjadi pemisah antara orang tua dan anak. Remaja menjadikan seks bebas dan pornografi sebagai bagian dari kehidupan mereka, sementara orang tua menolak. Cekcok dan permusuhan antara orang tua dan anak terjadi di mana-mana. Penelitian saya menemukan, dalam pikiran remaja ada dua musuh. Pertama; guru, kedua; orang tua sendiri.

Permusuhan dengan orang tua dan guru tentu akan menyebabkan terputusnya proses transfer budaya. Budaya yang dianut orang tua menjadi tidak menarik lagi bagi anak-anak mereka.

Di Subang terjadi pula krisis bahasa. Banyak anak remaja yang tidak mau berbahasa Sunda. Seorang guru mengeluh, di kompleks perumahan tempat ia tinggal tak ada lagi anak-anak maupun remaja yang menggunakan bahasa Sunda.

Mungkin karena anak-anak dan remaja menganggap bahasa Sunda adalah bahasa kelompok ‘musuh’ mereka, karena itu mereka enggan memakainya dalam pergaulan. Mereka memakai bahasa Indonesia dengan sedikit slank yang tentu saja aksennya masih terdengar ‘Nyunda’.

Secara teoritis ada hubungan yang erat antara penggunaan bahasa dengan pola pikir. Anak-anak remaja yang pola pikirnya sudah berada di luar budaya lokal akan cenderung enggan menggunakan bahasa lokal. Atau sebaliknya, anak-anak yang bahasanya bukan bahasa lokal akan cenderung enggan menerima legacy, warisan, budaya kedua orang tuanya.

Keengganan menggunakan bahasa ibunya sudah hadir pula di kalangan anak-anak dan remaja Minangkabau. Banyak yang tidak merasa bangga lagi menggunakan bahasa Minang dan menggantinya dengan bahasa Indonesia berdialek agak aneh. Setidaknya demikian pengamatan saya terhadap remaja-remaja dan mahasiswa. Keengganan itu adalah sumber krisis budaya Minangkabau.

Kedua, kita tidak mungkin sukses mengaplikasikan nilai-nilai ABS-SBK di tengah krisis budaya. Jadi, kita harus keluar lebih dulu dari krisis. Sumber krisis itu pola pikir kita yang sudah tercerabut dari akar budaya. Pola pikir yang tidak mengadopsi budaya lokal itu banyak ditemukan di kalangan anak-anak dan remaja dan sebagian orang tua.

Komponen strategis untuk menarik kembali anak-anak kita yang sudah ‘diculik’ oleh kuasa global adalah bahasa lokal, dalam hal ini bahasa Minang. Dengan bahasa Minang pola pikir mereka akan tetap Minang. Kuasa global tidak akan dapat pegang kendali.

Saya tidak mengatakan dengan berbahasa Minang seluruh orang Minang akan baik prilakunya. Banyak juga pengguna Minang yang berperangai buruk. Tapi bahasa yang digunakan itu menyambungkan pikiran mereka dengan pikiran pengguna bahasa yang sama. Bila bahasa yang mereka gunakan berkualitas baik, jauh dari kosa kata carut, akan ada pengaruh pada kualitas budi pekerti mereka. Mereka pun lebih mudah menerima nilai-nilai yang diajarkan.

Walaupun anak-anak dan remaja tetap kita dorong untuk belajar bahasa asing untuk peningkatan kapasitas pribadi serta daya saing, jangan sampai kelak bahasa asing itu menjadi nomor satu dan lebih penting daripada bahasa ibunya. Kalau bahasa asing jadi nomor satu maka bahasa asing akan jadi alat pula bagi asing menguasai pola pikir mereka. Silahkan berbahasa asing apa saja, tapi bahasa Minang tidak boleh ditinggalkan.

Ketiga, saya ikut mengusulkan agar sosialisasi penggunaan bahasa Minang di intensifkan dan diajarkan kembali di sekolah-sekolah. Jadikan pelajaran Bahasa Minang sebagai mata pelajaran wajib. Dengan menguasai bahasa Minang para pelajar akan lebih mudah memahami pelajaran berikutnya, yaitu budaya lokal Minangkabau yang menganut filosofi ABS-SBK itu.*

Penulis, Dr Emeraldy Chatra, Dosen FISIP Universitas Andalas
Gambar oleh Igor Ovsyannykov dari Pixabay