~ Syafrizal Harun
DALAM berbagai nyanyian patriotik, kerap dijumpai kata ‘tanah air’, dan ‘negeri’. Meskipun secara faktual, volume ‘batu’ jauh lebih besar ketimbang volume ‘tanah’, namun dalam berbagai syair pujaan untuk negeri tidak ada ungkapan “batu air”.
Hamparan tanah luas dan tampak itu sebetulnya merupakan lapisan sangat tipis di atas batu. Tanah jadi sangat berarti dan sering disebut karena, bersama air merupakan prasyarat bagi kehidupan. Tanah, bersama air yang dihuni penduduk, dinamakan ‘negeri’ atau ‘tanah tumpah darah’.
Dari tanah dan air itulah diselenggarakan permukiman, pertanian, sawah, ladang, peternakan, dan aneka kegiatan sosial. Dan pada gilirannya perdagangan.
Tanah dan air merupakan pilihan masyarakat berbasis pertanian (agraris), untuk berkembang menjadi bentuk ekstremnya kini dinamakan ‘negara-bangsa’. Cikal-bakal dari ‘negara-bangsa’ banyak terkait dengan keberadaan air di sungai-sungai, danau dan laut.
Di Sumbar khususnya, dan Indonesia umumnya, bahkan dunia secara planetaris, hanya sebagian kecil area yang cocok dijadikan hunian. Area yang cocok adalah yang mempunyai tanah, dan air, dan mudah digarap (datar atau landai). Lereng terjal, dan dataran batu, atau kawah gunung api, dan rawa-rawa padang pasir kering-kerontang tidak cocok untuk pemukiman permanen.
Mengapa hanya sebagian permukaan bumi diselimuti tanah? Fakta ini terkait dengan hukum alam atau sunatullah. Di permukaan bumi, beroperasi secara bersamaan, dua kekuatan, yaitu; kekuatan dari dalam bumi (endogen), dan kekuatan dari luar bumi (eksogen).
Kekuatan dari dalam bumi beraksi sebagai gempa bumi, kegunungapian, dan pergerakan vertikal maupun horizontal pembentuk relief muka bumi.
Kekuatan dari luar bumi beroperasi sebagai cahaya matahari sehingga terbentuk iklim, dan cuaca dengan beraneka dinamika angkasa (hujan, badai, petir, kemarau, awan).
Pada gilirannya, cuaca menghasilkan curahan air hujan yang bervariasi dalam hal intensitas dan lamanya untuk setiap kawasan. Di beberapa lokasi, hujan lebat dan lama disertai banjir, erosi, sedimentasi, dan longsor, dan tak jarang menimbulkan kerugian harta benda dan nyawa penduduk.
Setiap tahun, secara berulang-ulang dengan periode yang nyaris tetap, kita mengalami musim kemarau dan musim penghujan dengan segala konsekuensinya.
Pada musim kemarau, biasanya terjadi kebakaran hutan. Di musim penghujan, muncul banjir erosi, sedimentasi, dan longsor. Namun, kedua musim tersebut, sesungguhnya diperlukan bagi keberlangsungan kehidupan.
Tanpa hujan, bumi jadi gersang dan tidak dapat ditumbuhi tanaman. Sebaliknya, jika terus-menerus hujan, habis pula kehidupan karena banjir, dan karena secara esensial setiap tumbuhan membutuhkan panas (cahaya matahari).
Untuk mengendalikan banjir dan kemarau, pihak berwenang, dalam hal ini pemerintah, telah berusaha dengan berbagai cara, di antaranya memanfaatkan teknologi dalam membangun prasarana dan sarana pengendali; banjir, longsor dan kebakaran hutan.
Meskipun begitu, belum sepenuhnya dapat meniadakan musibah di berbagai tempat. Namun pada banyak kasus dapat dipahami mengapa banjir dan longsor membawa musibah bagi sebagian penduduk. Dalam hal ini, faktor kebetulan tak dapat diabaikan. Hal itu terkait dengan kompleksitas pada dinamika alam. Sebagai contoh; pada peristiwa longsor, setidaknya terdapat 14 (empat belas) variabel yang saling berpengaruh untuk menimbulkan suatu longsor di suatu tebing. Ke-14 faktor tersebut, dapat dibedakan atas 2 (dua) kelompok, yaitu kelompok alamiah, dan kelompok kegiatan manusia.
Pada kelompok alamiah, terdiri dari; kemiringan lereng, kondisi tanah, batuan penyusun lereng, curah hujan, tata air lereng, kegempaan, dan vegetasi.
Pada kelompok kegiatan manusia terdiri dari; pola tanam, penggalian dan pemotongan lereng, pencetakan kolam, drainase, pembangunan konstruksi, kepadatan penduduk, dan upaya mitigasi.
Dinas/instansi pemerintah untuk mengurus hal-hal demikian sudah ada, namun kepedulian masyarakat juga sangat menentukan.
Sebetulnya masalah tidak terlalu ruwet. Indikator atau petunjuk longsor paling mudah adalah kemiringan lereng. Semakin terjal suatu lereng, semakin mudah longsor. Demikian pula perihal banjir. Lazimnya suatu sungai memiliki banyak cabang dan ranting. Semakin banyak cabang dan ranting suatu sungai utama (batang), berarti semakin luas area tangkapan hujannya, dan semakin berpotensi banjir pada musim penghujan.
Jika pola kemarau dan banjir dapat dikenali oleh masyarakat, maka upaya mitigasi menjadi lebih mangkus (efektif) dan sangkil (efisien).
Oleh karenanya, masyarakat perlu edukasi dan latihan supaya sadar lingkungan, sehingga dapat beradaptasi dengan lingkungan alam yang tidak selalu sesuai dengan harapan.
Untuk mengedukasi dan melatih masyarakat, kiranya dapat berperan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan berbagai organisasi profesi terkait alam, contohnya Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), dan lain sebagainya.**
*Image by Joseph thomas from Pixabay