Lurah Barangin menjelang siang dihantam Limbubu. Petak sawah yang ditanami kacang panjang terlihat porak- poranda. Dalima, janda paruh baya dengan tubuh sedang, terhuyung-huyung melangkah di pematang sawah menuju tempat tinggalnya. Perempuan itu menjangkau pintu dangau, gubuk, sembari berteriak.
“Kak Iyuunn… alah tuu… bataduah lah dauluu… “
Yurni, perempuan beranak empat itu adalah anak kulinya. Sudah dua hari ia minta menyiangi kebun kacang panjangnya. Perempuan yang cekatan, pekerjaannya rapi, bersih, rajin dan sabar. Banyak orang di Nagari Jurai Bajiruek mempekerjakan Yurni, entah untuk menyiangi kebun, sawah, halaman, menjemur padi, mengantarkan padi ke kincia (huller tradisional). Yurni tidak pernah ribut jika upahnya kurang. Dibayar dengan beras atau hanya disuguhi makanan enak, bagi Yurni tak soal. Bagi dia yang penting bisa makan dengan enak, bergunjing, dipuji-puji. Ia akan dengan bahagia dan bersemangat sekali untuk mengerjakan pekerjaan seberat apapun, sekotor dan serendah apapun.
- Baca juga:[1] Jawi Balang Puntuang
Pendeknya asalkan disenangkan hatinya, disapa dengan ramah, dipuji setinggi langit, biarlah ia sedikit terhina pada kenyataannya, yang ia pentingkan adalah kenyang, dipuji setinggi langit, disapa dan diperlakukan dengan hormat dan sopan, sekalipun nanti di belakangnya orang akan mencibir dan menjadikannya hanya sebagai kudo baban (Kuda Beban adalah kuda yang digunakan untuk mengangkut beban berat dan hanya dapat makan tanpa pernah dirawat dengan baik).
Mentari terguling ke balik palunan kabut senja, adzan magrib berkumandang, Dalima dan Yurni bergegas mendaki jalanan licin, pulang. Yurni masih saja sibuk bercerita tentang ini dan itu, Dalima sesekali menimpali.
“ Ndeee…yo payah mancari urang sibuk ko, lah tigo kali ambo ka rumah, ndak ado basuo do ah.” Sebuah suara lengking mencicit riang dan ramah disusul tubuh mungil perempuan tongos dari balik rimbunnya perdu di ujung pendakian.
“Aaa..tuu… aaa tuuu… “ Dalima menjawab dengan suara yang tak kalah girang dan riang.
“Lakehlah kak, sia tu mancari kakak aaa…” Dalima setengah menghela, menarik tangan kanan Yurni, tergopoh Yurni mengikuti.
“Ndeh… akau nan maandok an Kak Iyun mah Lima? Yo ndak sabara bana ati kau doh. Jaleh Pangek ndak babueklah, kalamai ndak bakacaulah, sambuah lai nan alun masak, urang bisuak ka rumah pagi.” Zalifah, perempuan tongos dan mungil itu menceracau.
Wajah Yurni merona merah jambu, dadanya membusung, senyum tersungging dari bibirnya.
Ia amat dibutuhkan, inilah yang selalu ia rasakan setiap orang kampung mencarinya. Keberadaannya, keahliannya, ah..bukan..kehebatannya dan kepiawaiannya sangat terkenal di Nagari Jurai Bajiruek, sehingga hanya dia yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang pelik di kampung itu.
Mulai dari kadapua (memasak diperhelatan), basiang (menyiangi tanaman, halaman), manjamua (menjemur padi), mencuci piring dan berbagai perabotan sehabis orang kampung berhelat sampai kepada hal-hal pelik lainnya. Setidaknya menurut fikiran Yurni demikianlah. Hal-hal yang ia selesaikan adalah berbagai persoalan pelik dan rumit.
Perasaan bahwa ia amat dibutuhkan inilah yang hampir tak pernah ia dapatkan di rumahnya sendiri, baik dari suaminya, saudaranya, orang tuanya, sampai kepada anak-anaknya.
Ekonomi keluarganya yang sulit pun membuat ia tak dapat makan enak. Hari ke hari mereka hanya makan nasi dengan samba lado uok (cabe diurap di atas nasi lalu setelah matang, digiling dengan sedikit bawang mentah), maco bapanggang (ikan asin panggang) dan sayuran rebus dengan garam. Sesekali, jika orang tua atau saudaranya berkunjung, yang selalu saja membawa lauk, barulah ia dapat makan dengan enak sekeluarga.
Sebenarnya, jika Yurni mau menjadi seorang ibu yang baik, mengatur segala macam persoalan rumah tangganya, tentu ia akan dapat menikmati hidupnya dengan tenang. Tetapi begitulah, perempuan ini memang terlalu sibuk memesrai segala macam penderitaannya sehingga ia tak dapat melihat bahwa sebenarnya hidupnya tidaklah terlalu menderita. Persoalan makan, bukanlah hal yang terlalu berat, andai saja ia mau berbuat lebih untuk keluarganya.
Penghasilan suaminya ditambah pendapatannya sendiri, lalu jika ia masih mau memanfaatkan sisa waktu luangnya untuk menanami kebun di belakang rumahnya dengan berbagai tanaman yang dapat ia jual di Balai Kamih, tentu ia akan dapat juga menggulai agak sekali dua dalam sepekan, membuat randang (rendang), pangek ikan (gulai khas Luhak Agam dengan kuah yang sangat kental karena diberi kemiri yang digiling halus, dalam pembuatannya, tidak pernah diaduk, dimasak dengan belanga dan alas paling bawah adalah daun pisang). Andai saja Yurni mau mengurus keluarganya dengan baik, tentu ia akan hidup bahagia.
Sebenarnya Yurni amat beruntung dikaruniai suami dan anak yang amat sabar dan tahu diri, tidak banyak menuntut. Sekalipun Yurni jarang berada di rumah, Basri, anaknya yang paling tua bocah berusia 11 tahun ini amat rajin, memasak, membersihkan rumah, mencuci piring, pakaian dan berbagai pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh Yurni, telah ia kerjakan saja apabila ibunya tidak sempat mengerjakan. Basri tau bahwa ibunya amat sibuk, hanya saja ia tak pernah tau, apa kesibukan ibunya itu. Ia hanya tau bahwa ibunya sering pulang dengan wajah lelah dan selalu saja hampir larut malam atau bahkan menjelang subuh.
“Kuciang sia ko? Ndeh..biak..mandakek lo ka samba ko, beko mangalatiak’an bulu pulo. Awaslah kuciang, manyeso se eh..” Suara Yurni terdengar menggerutu.
“Apo tu Kak Iyun? Kuciang Biak sia tu? Iyo eh, manyeso sajo, usia se lah kak, tagaduah pulo akak ka dapua, a Kak Iyun buek? Pangek?? Andeee… mbo ndak tantu di mbo agak bumbunyo ah, iyo Kak Iyun ko nyo nan ka tau.” Rawanan seorang gadis berlesung pipit melongok ke pintu dapur, menyunggingkan senyum manis pada Yurni, berlalu ke ruang tamu, berkumpul dengan beberapa perempuan yang telah lebih dulu datang, bergunjing tentang ini itu.
Kucing belang tiga dengan tubuh bongsor itu melangkah malas ke arah tungku. Sebuah tungku yang belum menyala ia tiduri, panas api dari tungku sebelah dan abu hangat yang ia tiduri agaknya membuat kucing ini semakin malas untuk bergerak. Tak sampai sepeminuman teh, kucing belang tiga ini telah mendengkur halus.
Yurni menjerangkan sebuah belanga besar di atas tungku yang ditiduri kucing itu. Menyorongkan beberapa bilah kayu, kucing belang tiga itu akhirnya menyisi ke pinggir tungku. Nyala api yang baru saja disulut oleh Yurni membuat kucing gemuk itu merasa semakin nyaman dan kembali mendengkur tanpa peduli bulunya kotor oleh gelimang abu.
“Kuciang Biak ko eh, baranjak lah haaa… Kak Iyun jaleh karajo, ndak mangarati baa ko, yo antah lah heh. Ampun wak jo Kuciang Biak ko, dima tungku nan angek, lah tibo no di sinan, ndak tantu bulu ka bagalumang abu bagai ah…“ Rawanan si lesung pipit yang manis berteriak kesal, menggebah pergi kucing gemuk itu, si kucing hanya menatap dengan sepasang mata bulatnya, lalu beringsut ke sudut tungku yang lain, kembali bergelung dan mendengkur. Bulu hitam, putih dan kuningnya telah penuh oleh abu yang menempel. Kucing itu tak peduli agaknya. Ia hanya butuh kehangatan tungku, biarlah bulunya bergelimang abu. Kuciang Biak yang sungguh malang, andai saja ia mau menjilati bulunya hingga kering, tentu ia dapat tidur di ujung selimut tuannya, lebih hangat dan bersih, tapi apa daya.
Perilaku Kucing Biak yang seekor ini memang berbeda, ia tak peduli dipukul, dihardik, bergelimang abu yang penting ia dapat tidur di tungku dan diatas abu yang hangat.
Telah hampir pukul sepuluh malam, Yurni masih basitungkin, anyuah-anyah (bekerja keras) di dapur sendirian. Beberapa perempuan yang ada hanya mondar-mandir tak tentu tujuan seolah juga sibuk membantu Yurni. Sebenarnya mereka tidak membantu apa-apa, hanya menyorongkan kayu ke tungku, mengambilkan apa-apa yang dibutuhkan oleh Yurni. Hanya Yurni yang faham, mereka tidak pandai sama sekali, kalau mereka yang mengerjakan nanti hasilnya tidak maksimal, masakan mereka tidaklah seenak masakan Yurni.
Bahkan untuk menggiling bumbu pun, mereka tidak sepandai Yurni, pangacaran (sentuhan khas) Yurni memang tiada duanya, itulah kalimat yang susul menyusul mereka hembuskan. Dada Yurni semakin gembung karena bangga, tangannya semakin tangkas mengaduk ini dan itu, mengerjakan ini dan itu. Kedua kakinya terlihat menggigil, sudah lelah agaknya setelah seharian bekerja di kebun Dalima.
Tak jauh dari Lurah Barangin, di sebuah rumah yang agak terpencil, terlihat nyala pelita meliuk lemah. Basri bocah kurus dengan mata cekung menyuapi Ridwan adik bungsunya, ayah dan kedua adiknya yang lain sedang menyuap nasi dengan nikmat. Telah menggigil adiknya menahan dingin dan lapar, menunggu ibu mereka pulang, akhirnya mereka makan karena ibu mereka tak kunjung pulang.
Potongan ikan nila bapalai (ikan pindang) masih tersisa separuh, disungkup dengan sebuah piring, untuk Yurni tentunya.
Ayah mereka yang membagi dua, hanya adik-adik Basri yang menikmati ikan nila bapalai itu. Ayahnya hanya mengambil bumbu palai itu, menggelimangkan ke nasinya. Menjelang magrib nenek mereka berkunjung dan mengantarkan masakan gurih itu.
“Makanlah Yuang, sambiaan-lah, sambia manyuok-an adiak ang.” Rajo Alam, ayah Basri bersuara pelan, menatap anak sulungnya dengan hangat dan penuh kasih sayang.
“Jadih Yah, bekolah samo jo amak, ibo wak amak kalo ndak dikawani makan, ndak lamak makan amak beko”. Basri menjawab sambil tersenyum, lehernya turun naik mencium harum dan gurihnya palai ikan nila itu.
Anak yang amat berbakti sebenarnya, hanya saja apa yang ia perjuangkan untuk ibunya seringkali tak disadari sang ibu. Pekan lalu ia juga berlaku begitu, ibunya pulang menjelang subuh, bocah kecil itu terbangun menjelang subuh ketika ibunya pulang, ia bergegas menghidangkan nasi dan lauk yang disisihkan ayahnya untuk sang ibu. Tetapi ibunya hanya mendengus halus lalu beranjak tidur, lelah, demikian alasannya.
Basri kecil yang sedang memanaskan palai ikan nila menatap sedih punggung ibunya. Ibu tentu lelah sekali, biarlah, jika ia sudah besar ia akan bekerja keras untuk ibunya, agar ibunya tidak lelah lagi, demikian pikirian Basri kecil bermain sembari memanaskan palai ikan nila.
Akhirnya tangan kurus itu menjangkau nasi dan menyuap nasi yang ia gelimangi dengan bumbu palai. Potongan besar ikan nila itu tidak ia sentuh sama sekali, untuk ibunya jika bangun tidur nanti, demikian kata Basri bergumam pelan.
Tangan kurus Basri menggigil menyuap nasi, setelah selesai makan, ia mengemasi seluruh perkakas, mencuci ke pancuran yang ada di belakang rumah mereka.
Di rumah Yurni, Basri anak sulungnya telah beberapa kali memegang perutnya yang melilit karena lapar. Sesekali ia mengintip ke celah pintu, berharap ibunya segera pulang. Malam berayun cepat, ayam telah berkokok. Basri tergolek di depan pintu, bibirnya pucat membiru, tubuh kurusnya panas dan menggigil.
~ Juaro Gunuang Marapi
*Penulis adalah seorang aktivis sosial, relawan kebencanaan, penggiat seni tradisi dan budaya Minangkabau
**Image by Dimitris Vetsikas from Pixabay