Etnis Lokal vs Globalisasi

redaksi bakaba

Demikian kuatnya pengaruh globalisasi menyebabkan daya kritis media terhadap penghancuran nilai-nilai lokal makin lama makin berkurang. Secara tidak disadari pengelola media banyak yang memosisikan diri sebagai agen globalisasi, bagian dari kekuatan global yang meluluhlantakan budaya lokal.

Image by Gerd Altmann from Pixabay
Image by Gerd Altmann from Pixabay

~ Dr. Emeraldy Chatra

Dengan menggunakan pembagian fase globalisasi yang dibuat oleh Pieterse (2012), serbuan globalisasi terhadap masyarakat etnis lokal di Sumatera dan Jawa sudah berjalan selama dua fase, dimulai pada fase globalisasi kedua (tahun 1500-an) dan dilanjutkan pada fase ketiga (mulai tahun 1970-an).

Pada fase kedua masyarakat Sumatera berkenalan dengan kapitalisme modern yang dibawa oleh Inggris dan Belanda melalui perusahaan perkebunan raksasa. “Pamanoekan en Tjiasemlanden” atau “P & T Land” misalnya, arealnya melebihi luas Kabupaten Subang saat ini (212.900 Ha berbanding 205.176,95 Ha).

Hadirnya perkebunan raksasa yang dikuasai kaum pemodal besar dari Eropa dapat dipastikan membawa pengaruh kultural tidak sedikit pada masyarakat lokal. ‘Asian values’ kemudian dapat menjadi signify competitive economic advantage – karena kaum kapitalis Eropa memberikan latihan kepada tenaga kerja lokal (Devan, 2007: 143).

Kemudian pada tahun 1800-an masyarakat Sumatera dan Jawa berkenalan dengan modernitas. Mereka berkenalan dengan sistem pendidikan sekolah, makin banyak yang mampu menulis dan membaca, dan berkenalan dengan birokrasi pemerintahan Belanda yang rasional-kalkulatif dan tertata dengan baik.

Pada fase ketiga, masyarakat berkenalan dengan industrialisasi, teknologi produksi dan transportasi baru, dan terhubung dengan pasar yang lebih luas. Keterkaitan dengan masyarakat global semakin intensif dengan masuknya teknologi media televisi, internet dan telepon genggam di awal abad ke-21. Dengan masuknya arus globalisasi fase ketiga, tidak hanya masyarakat Sumatera dan Jawa, tapi masyarakat Indonesia pun masuk ke dalam sistem yang disebut Devan (ibid, 144) sebagai ekonomi global yang ditandai dengan meleburnya masyarakat ke dalam simbol-simbol yang tak mengenal batas wilayah.

Dengan demikian, globalisasi dapat di ibaratkan sebagai sebuah ‘arus deras dari utara’ yang melindas budaya masyarakat di selatan. Kekuatannya terletak pada penguasaan kapital, iptek dan media secara sekaligus. Dengan tiga kekuatan tersebut para ‘Global Elites’ — sekelompok kecil orang yang mempunyai bisnis transnasional — tidak hanya menjual produk industri mereka ke berbagai negara, tapi juga membangun prakondisi yang menyebabkan pemerintah dan masyarakat mudah digiring sesuai keinginan mereka. Prakondisi itu adalah membunuh kultur lokal yang akan menghalangi penerimaan masyarakat terhadap produk (material maupun non-material) global.

Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika identitas lokal semakin tergerus, dan orang lebih menyukai segala sesuatu yang mengaitkan diri mereka dengan simbol-simbol global. Makan di restoran Amerika mungkin awalnya menyajikan cita rasa yang aneh, namun karena makan di tempat itu merupakan prilaku simbolik yang membentuk sebuah status, akhirnya menjadi kebiasaan.

Ujung dari gerakan global tersebut adalah komodifikasi budaya: segala yang sakral kemudian dikomersialkan. Budaya lokal kehilangan nilai intrinsik, produk budayanya tidak lagi menyentuh nilai yang hakiki, tapi sekedar barang dagangan yang diukur dengan dua kata saja: laku atau tidak laku. Ketika produk itu tidak laku ia tidak akan di reproduksi lagi, tapi kalau laku ia akan disajikan sebagai bagian dari event pariwisata.

Demikian kuatnya pengaruh globalisasi menyebabkan daya kritis media terhadap penghancuran nilai-nilai lokal makin lama makin berkurang. Secara tidak disadari pengelola media banyak yang memosisikan diri sebagai agen globalisasi, bagian dari kekuatan global yang meluluhlantakan budaya lokal.

Referensi:
~Pieterse, J.N. 2012. “Periodizing Globalization: Histories of Globalization”. Dalam New Global Studies Volume 6, Issue 2
~Devan, J. 2007. ‘Globalization and Asian Values’ dalam Anheier, H.K & Isar, Y.R. (eds.) Conflicts and Tensions. London: Sage

*Penulis, Dosen FISIP Universitas Andalas
**Image by Gerd Altmann from Pixabay

Next Post

Guru se-Bukittinggi Belum Terima Tunjangan

seharusnya pihak Pemko dari awal mesti mengetahui kalau anggaran 2019 tidak memadai dan mencarikan dana lain
Kantor Dinas Pendidikan Kota Bukittinggi

bakaba terkait