Perlu Tafsir Otentik Pancasila

redaksi bakaba

Dalam kehidupan berbangsa, Pancasila yang nilai-nilainya digali dari kehidupan masyarakat nusantara mulai dari Sabang sampai Merauke menjadi asing dari locus sosial-kulturalnya.

Image by ibnuamaru from Pixabay
Image by ibnuamaru from Pixabay

Dr. Wendra Yunaldi, S.H., M.H.

Tafsir Pancasila – “Pancasila makin dibahas, makin bingung kita,” ungkap Jusuf Kalla, waktu masih menjabat sebagai wakil presiden, seperti lansir Tirto.id, 15 Agustus 2019. Pernyataan “Dang Ucup” itu boleh jadi bernada metaforis atau majazi yang menunjukkan makna tidak sebenarnya. Maksud yang bisa diambil, Pancasila itu tidak butuh lagi pembahasan, melainkan praktik dalam kehidupan sehari-hari, baik oleh masyarakat maupun negara.

Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan tahun 2005, 2010, dan 2015 terlihat kecenderungan menurun publik yang pro-Pancasila. Dari angka 85,2 %, menurut pada 81,7 % terus menukik mencapai angka 79,4 %. Artinya dalam waktu 13 tahun, jumlah publik yang pro-Pancasila mengalami penurunan sebesar 10 %.

Ada tiga faktor penyebab terjadinya penurunan kepercayaan publik terhadap Pancasila, yaitu ekonomi, paham alternatif dan sosialisasi. (Satrio Arismunandar; 2019).

Sebab, jika Pancasila itu adalah sebuah ideologi, weltanschauung (worldview), atau oleh Soekarno dipandang sebagai philosofisgroundslag, maka Pancasila itu telah selesai dalam pembahasannya. Fungsi fundamentalnya dalam bernegara menempatkan Pancasila sebagai symbol of nation dan selesai ketika negara ini dideklirkan. Sebab, Pancasila bukan wacana yang perlu dicarikan terus menerus bentuk, isi, dan formnya, karena hal itu akan menjadikan Pancasila hanya sebagai konsep. Dengan fungsi ideologisnya, masalah-masalah ekonomi, paham alternatif dan sosialisasi tidak akan mencuat ke permukaan.

Menyimak dinamika Pancasila semenjak 18 Agustus 1945 sampai era reformasi, Pancasila belum mendapatkan tempat yang tepat dan strategis dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam kehidupan berbangsa, Pancasila yang nilai-nilainya digali dari kehidupan masyarakat nusantara mulai dari Sabang sampai Merauke menjadi asing dari locus sosial-kulturalnya. Sebagaimana juga berlaku dalam kehidupan bernegara, Pancasila sejatinya menjadi guidance politik, hukum, dan kepemimpinan nasional.

Rezim Orde Lama terjebak dalam pencarian identitas Pancasila kepada perilaku inskonsisten dalam menerapkan Pancasila. Dideklirkannya Nasakom menunjukkan bagaimana Pancasila dianggap gagal memayungi politik sosialisme yang menjadi gagasan Soekarno, sehingga Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memiliki ideologi sosialis-marxisme dan anti Tuhan dibiarkan. Bahkan di dukung oleh Soekarno untuk memperkuat keberlangsungan perjuangan revolusinya. Karena, demokrasi yang dinyatakan ternyata gagal memperjuangkan sosialis-marhainisme.

Rezim Orde Baru melalui kebijakan Tafsir Tunggal melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dengan butir-butir Pancasila serta Asas Tunggal Pancasila bagi seluruh Ormas dan Partai Politik, mengerangkeng Pancasila dalam cengkeraman kekuasaan. Masyarakat dipaksa menerima kebenaran yang dibuat negara, dengan harapan tujuan pembangunan nasional dapat terwujud sesuai dengan cita-cita Orde Baru.

Paska reformasi 1998, Habibie terus mendengungkan konsistensi ber-Pancasila, namun kalah oleh lantangnya suara semangat reformasi yang trauma dengan jargon Pancasila. Barulah kemudian di masa SBY dan Taufik Kemas selaku Ketua MPR, melaui gerakan Empat Pilar Pancasila “dirumahkan” dalam semangat kontinum Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, dan NKRI.

Namun demikian, menempatkan Pancasila dalam satu tarikan napas empat pilar pun sebenarnya menjadi dilematis. Sebab, Pancasila merupakan sumber dari bhineka tunggal ika, UUD 1945 dan NKRI. Oleh karena itu penyetaraan dalam satu nafas itu sebenarnya telah mendegradasikan Pancasila dalam relasi sistemik. Pancasila tidak lagi menjadi sumber, pandangan, cita-cita ataupun ideologi.

Tidak berakhir sampai di situ, lahirnya UPK-PIP dan BPIP melalui Perpres No. 54/ 2017 dan Perpres No. 7/2018 di bawah Presiden. Pancasila sepertinya masih dikangkangi oleh rezim. Gagasan eksekutif ini menjadi bias antara kepentingan bangsa yang mesti di emban oleh MPR dengan peluang lebih leluasa di bawah Presiden karena faktor lebih mungkin dengan dukungan finansial yang besar. Tetapi itu tetap tidak menyelesaikan permasalahan terkait dengan Pancasila itu apa?

Pengalaman-pengalaman politisasi Pancasila serta seabrek kondisi riil yang menohok Pancasila, antara masyarakat sebagai pemilik nilai dengan pemerintah (negara) yang berkepentingan dengan justifikasi ideologis, tidak pernah mencapai titik temu tentang apa dan bagaimana Pancasila benar-benar meng-ideologisasi.

Fenomena narasi anti Pancasila, radikalisme, politik identitas, anti NKRI semuanya adalah ekses yang ditimbulkan oleh Pancasila yang hanya ditafsirkan oleh negara. Tafsir resmi negara yang tidak jelas dan ke mana arahnya menjadikan Pancasila sangat resisten dan potensial menjadi “perkakas kekuasaan” dalam menjustifikasi rezim dengan segala kelemahannya. Dan Islam, lebih sering menjadi “korban” tembakan Pancasila.

Lantas bagaimanakah kita harus menjawab pertanyaan penting ini. Ketika dunia kampus dan akademisi serta masyarakat tidak lagi percaya dengan ideologi seperti “buih di lautan” yang rentan oleh badai kekuasaan. Sangat tepat ungkapan Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif, Pancasila dimuliakan dalam kata, digunakan dalam tulisan, dikhianati dalam perbuatan.”

Sekedar untuk menjawab pertanyaan sederhana di atas, perlu konstruksi tafsir otentik Pancasila di atas kesadaran; 1) Pancasila itu lahir dari sistem kebudayaan masyarakat nusantara (Indonesia), dari Sabang sampai Merauke; 2). Pancasila itu realitas objektif dan subjektif masyarakat yang terbina dalam waktu yang relatif panjang; 3). Nilai-nilai yang dipraktikkan oleh masyarakat di berbagai lapisan kultural itu telah teruji validasinya dalam tatanan sosial masyarakat; 4). Pancasila diterima sebagai “pandangan berbangsa”, karena nilai-nilainya berkesesuaian dengan perspektif nilai yang dianut oleh sistem budaya, sistem agama, sistem politik dan sistem ideologi individual masyarakat; dan 5). Nilai-nilai Pancasila memiliki hubungan yang erat dengan sosio-psikologis dan sosio-values masyarakat.

Atas semua itu, perlu tafsir baru Pancasila agar tidak lagi melenceng dibawa badai politik. Hendaknya di masa depan, Pancasila menjadi pondasi yang kokoh, tidak mudah dikhianati oleh anak bangsa yang cenderung melanggengkan kekuasaan dengan membelokkan tafsir kontrak sosial yang indah ini.*

*Penulis, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
**Image by ibnuamaru from Pixabay 

Advertisement
Next Post

Kondisi dan masalah TKI di Hongkong

Jumlah WNI di Hong Kong dan Macau saat ini diperkirakan mencapai 156 ribu orang atau sekitar 2 persen dari jumlah penduduk. Populasi WNI itu menempati urutan teratas
Gambar oleh 智庸 yan dari Pixabay