Generasi pandemi mulai sekolah dengan gagap di seluruh sistem yang mengitarinya. Kebingungan massal telah terjadi dalam dunia pendidikan. Orang tua dibuat pusing harus mendampingi anak menggunakan android, yang selama ini dilarang karena dianggap rentan hal negatif. Saban hari harus beli paket data, sama penting dengan membeli beras. Pejabat berwenang harus mengambil tindakan sesegera mungkin agar digitalisasi karena pandemi tidak membuat korban jatuh lebih banyak.
Keputusan yang dibuat Jakarta, sering kali buta memahami keadaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Jangankan di salah satu sudut Indonesia yang luas dan terjauh, di sebelah Jakarta saja tak terbaca. Simak saja tulisan Profesor Komaruddin Hidayat dari Ciputat, berikut ini:
“Pendidikan Semakin Mahal. Di rumah saya ada PRT dg dua anak. Anak pertama laki2 kelas 3 SMP, adiknya perempuan kelas 1 SD. Selama pandemi mereka mengikuti pelajaran sekolah via online. Untung aku langganan internet (wifi) sehingga mereka bisa belajar dg sarana HP.
Ada dua hal yg menarik perhatian saya. Satu, terjadi loncatan generasi, seorang anak yg sering disebut “anak pembantu” telah masuk ranah budaya digital yg orangtuanya tdk paham. Dua, PRT tadi cerita, banyak teman2 anaknya yg tdk langganan internet di rumahnya dan tdk punya HP, sehingga ketinggalan pelajaran. Atau, orangtuanya mesti beli paket pulsa internet, tiap satu pelajaran biayanya Rp.20 ribu. Sungguh berat bagi mereka.”
Sementara itu, Ilham Yusardi dari Kota Payakumbuh menulis di lini masa media sosialnya, begini: “Saya punya satu murid SMP yang berwali dengan saya. Di tahun ajaran baru yang baru dimulai ini saya dibingungkan dengan grup grup WA baru. Satu mata pelajaran satu grup WA. Ada 10 mata pelajaran, jadi bakal ada 10 grup WA juga. Isi chatingnya adalah assalamualaikum, hadir buk, )p , Ada 32 siswa yang sama untuk 10 grup tersebut. Sampai tengah malam ini saya masih menerima notifikasi chat dari 10 grup ini.
Saya bertanya, apakah semua info tidak cukup di satu grup kelas saja? Kenapa harus satu mata pelajaran harus 1 grup WA pula? 10 mata pelajaran 10 pula WA grupnya.
*
Apakah sahabat mengalami hal ini juga?”
Dua status yang ditulis di media sosial ini mewakili ratusan persoalan yang sama, dampak pandemi Covid-19 terhadap pendidikan di Indonesia.
Dua tulisan di lini massa di atas menunjukkan digitalitas telah makan korban di dunia pendidikan. Korban kebingungan dan gagapnya teknologi harus dioperasikan karena belum tahu bagaimana menggunakannya secara benar dan baik. Covid-19 mendesak para pelajar dengan bimbingan orang tua harus belajar di rumah dengan segala keterbatasan.
Wajib Punya Android
Hampir tak terbayangkan, walau kini gadget murah meriah tersedia tetapi hal ini bukanlah persoalan sepele bagi mereka yang tak berpunya. Ketahanan dan kecerdasan android punya batasan waktu. Gadget murah tentu saja mudah pula rusak. Apalagi bila memori penyimpanan sedikit, Random Access Memory (RAM) yang terbatas, sementara harus memutar video materi belajar dan sebagainya. Hampir tidak ada masalah bagi mereka yang ada di perkotaan, orang tua yang berada, tetapi tidak semua masyarakat Indonesia dengan ketahanan ekonomi yang memadai. Jerit anak buruh harian, pembantu rumah tangga, petani, nelayan, tentu saja harus dipikirkan!
Hingga hari ini, para pejabat berwenang masih berbicara di langit. Belum membumi dengan persoalan yang harus dihadapi masyarakat. Padahal, kebijakan harus diambil cepat agar keadaan ini segera diperbaiki. Kita sedang sesat karena kebijakan!
Wajib Punya Paket Data
Selain harus punya android, harus punya paket data. Saban hari harus diisi, jika ingin belajar. Provider memiliki kesempatan mengeruk untung besar tanpa ada sedikit jeda untuk memberikan harga murah, apalagi memberikan layanan atas nama kemanusiaan. Internet masih barang mahal bagi banyak orang. Belanja paket data hampir sama penting dengan kebutuhan pokok. Alangkah naif, kebijakan pendidikan dampak dari wabah Covid-19 ini. Belum ada jalan keluar yang berpihak kepada masyarakat kecil, yang begitu sulitnya mendapatkan kesempatan belajar seperti mereka orang-orang berada.
“Beli paket data atau beli beras?” ujar seorang buruh bangunan.
Baca juga: Manis di Berita, Pahit di Fakta
Wajib Punya Jaringan Internet
Selain punya android, paket data, harus punya jaringan internet di sekitar daerah tempat tinggal. Selasa (21/7), sebuah foto diunggah dengan caption kondisi peserta didik yang sedang belajar secara daring di Sungai Guntuang, Nagari Pasia Laweh Kecamatan Palupuah Kabupaten Agam. Mereka berkelompok, duduk di pinggir jalan. Foto yang sama dan sejenis juga pernah diunggah dari daerah Sulawesi Selatan. Pangkal balanya adalah peserta didik terpaksa mencari sinyal jaringan intermet di lokasi yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Adakah kondisi ini terbaca dan diprediksi oleh orang-orang hebat dan pejabat berwenang?
Wabah Covid-19 yang ditakuti menjangkit telah membuat kekacauan dan kebingungan yang luar biasa. Pejabat berwenang menyamaratakan antara geografi desa dan kota. Padahal kondisinya sangat jauh berbeda. Mengambil kebijakan tanpa memertimbangkan kondisi lapangan telah nyata membuat ketimpangan terjadi tanpa diprediksi sebelumnya.
Korban-korban pemiskinan karena digitalisasi, substansi capaian pendidikan, di daerah-daerah khusus harusnya menjadi perhatian serius oleh pemerintah. Pemerintah perlu mengambil kebijakan tidak hanya berdasarkan satu faktor wabah semata, harus ada faktor geografi, faktor sosiologi, sehingga korban bisa diminimalisasi.
Indonesia bukan hanya Jakarta! Satu kebijakan tidak bisa diambil hanya melihat Indonesia dari gedung pencakar langit. Begitu banyak hal yang harus dipertimbangkan agar tidak menyakitkan masyarakat lemah dari segi ekonomi. Indonesia begitu luas. Pejabatnya harus turun hingga ke sudut-sudut desa paling ujung, paling sudut, bukan hanya duduk manis dan tak pernah menyentuh lumpur sawah, digigit pacet, sekolah tinggi-tinggi di luar negeri tetapi tidak tahu watak dasar negeri ini.
Begitu juga pejabat daerah, harus berani protes atas keadaan ini. Digitalitas memang penting tetapi tidak dipaksakan. Ketimpangan desa dan kota atas fasilitas, sumber daya manusia, serta kemahalan harga, harus disuarakan. Bukan diam, manut, takut jabatan copot lalu membiarkan kemiskinan menampar kehidupan kaum lemah.
Kita memang takut atas wabah Covid-19 tetapi tidak boleh menyerah dan merugikan mereka yang sebenarnya masih jauh dan sangat memungkinkan kebal secara sosial untuk terpapar. Ketakutan berlebihan, sistem politik diam, akhirnya membuat kerancuan pembangunan di negeri ini berjalan terbalik. Bukannya kemajuan yang didapat tetapi kemalaratan bagi rakyat.
Semoga para pejabat berwenang menyadari hal ini sebagai bagian dari tanggung jawab dunia-akhirat, menyangkut amal-shaleh, pahala-dosa. Bukan semata kepentingan jabatan dan gaji tanpa perjuangan untuk rakyat yang telah mengamanatkan dan menggajinya. Salam. []
~ Dr. Abdullah Khusairi, MA. Dosen Pengkajian Islam dan Komunikasi Massa di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang.
~ Image by Ramadhan Notonegoro from Pixabay