~ Muhammad Nasir
Tulisan ini adalah tulisan lama. Ditulis waktu cuaca politik masih panas. Sekarang sudah dingin. Karena sudah dingin, maka diupayakanlah memanaskannya kembali, ibarat istilah orang Minangkabau; cubadak baangek-an. Betapa tidak, biasanya ada juga orang yang suka disuguhi gulai cubadak baangek-an (gulai nangka yang dipanaskan). Asal tidak rasan (basi) saja.
Inti tulisan ini adalah ingin menyajikan secuil ekspresi kultural orang Minangkabau yang menunjukkan bahwa identitas kultural Minangkabau itu masih ada, yaitu pertama, Sumatera Barat adalah Minangkabau, meski tak seluruh penduduk provinsi Sumatera Barat beretnik Minangkabau. Setidaknya, penegasan bahwa Sumatera Barat adalah milik orang Minangkabau. Kedua, Orang Minangkabau adalah Islam (muslim), Jika tidak Islam, bukan orang Minangkabau.
Gambaran umum tentang identitas kultural orang Sumatera barat dapat dibaca pada tulisan Taufik Abdullah dalam pengantar buku A. A. Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat Kebudayaan Minangkabau, (1984). Ia menulis, setelah Revolusi Padri (1803-1837), Adat Basandi Syara’-Syara’ Basandi Kitabullah menjadi dasar filosofis pelaksanaan adat Minangkabau sekaligus menjadi cara mendefinisikan identitas kulturalnya. Artinya, orang Sumatera Barat dalam batasan tertentu adalah orang Minangkabau dan beragama Islam. Perkembangan berikutnya, dinamika sejarah Minangkabau-Sumatera Barat menurut Taufik Abdullah (1984) merupakan pemantulan struktural dari definisi kultural tersebut.
Sumatera Barat adalah Minangkabau
Sejak alek Pemilihan Presiden (pilpres) langsung dibentangkan di Indonesia (2004-2019), semua, calon-calon yang “diinginkan” orang Sumatera Barat selalu menang banyak.
Pada pemilihan presiden tahu 2004 pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) memperoleh 85,22 persen suara di Sumatera Barat mengalahkan pasangan Megawati Sukarno Putri dan Hasyim Muzadi (Mega-Hasyim).
Pada Pemilihan Presiden tahun 2009 SBY berpasangan dengan Boediono juga memeroleh dukungan hampir penuh dari warga Sumatera Barat, yaitu 79,91 persen. Selebihnya dibagi oleh pasangan Jusuf Kalla Wiranto (14,2 persen) dan pasangan Megawati Sukarno Putri dan Prabowo Subianto (5,9 persen).
Dari dua kali pemilihan presiden (pilpres) ini, perolehan suara dukungan berbanding lurus dengan kemenangan pasangan capres yang didukung. SBY-JK (2004) dan SBY Boediono (2009) berhasil meraih kursi presiden Republik Indonesia.
Pada pilpres tahun 2014 warga Sumatera Barat memberi dukungan kepada pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Cukup besar, dengan perolehan suara 76,92 persen suara mengalahkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang hanya meraup 23,08 persen. Ini berlanjut pada pilpres 2019, peningkatan suara Prabowo-Sandiaga Uno sangat signifikan, yaitu 85,92 persen suara.
Pada dua ajang pilpres terakhir itu, meskipun orang Sumatera Barat menyumbang suara besar, namun hasil ini tidak berbanding lurus dengan hasil yang diperoleh pasangan yang mereka dukung. “Presiden pilihan” orang-orang Sumatera Barat kalah beruntun.
Pertanyaannya, apakah angka-angka kemenangan yang merupakan representasi suara orang Sumbar itu berbanding lurus dengan suara-suara Orang Minangkabau?
Mari kita tengok. Kata Irwan Prayitno (IP), Gubernur Sumbar, hasil pilpres itu mewakili suara orang Minangkabau. IP menulis di Harian Singgalang (Rabu, 24 Februari 2016). Dalam tulisan berjudul: Minang dan Jokowi, IP memberi respon atas hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dilakukan 18-29 Januari 2016. Hasil survei itu menyebutkan “Warga dari etnis Minang yang puas terhadap kepemimpinan Jokowi 36,1 persen dan yang kurang puas 63,9 persen.”
IP dalam tulisan itu menyebutkan secara jelas bahwa Orang Sumatera Barat identik dengan orang Minangkabau. IP juga mengatakan, orang Minangkabau mempunyai persepsi kultural tentang sosok pemimpin idaman, yaitu Takah, Tageh dan Tokoh (3T). Namun jika melihat 3T tadi, penampilan Jokowi rupanya kurang matching dengan budaya orang Minang. Figur Prabowo dianggap lebih sesuai dengan selera orang Minang.
Begitu juga pada pilpres 2 kali sebelumnya, SBY menang telak di Sumbar. Jika disederhanakan, siapapun yang mencalonkan diri sebagai presiden, gubernur, bupati atau walikota akan memperoleh kemenangan karena faktor 3T. Sebaliknya, kalah juga karena faktor 3T itu.
Berdasarkan cerita di atas, dapat ditangkap suara batin orang Minangkabau bahwa Sumatera Barat adalah milik eksklusif suku bangsa Minangkabau. Beberapa fakta administratif, simbol-simbol dan atribut daerah yang melekat pada provinsi Sumatera Barat, sangat khas Minangkabau. Contoh dekatnya, logo daerah Sumatera Barat yang sarat simbol Minangkabau. Kira-kira, begitulah.
Orang Minangkabau itu Islam.
Tetapi ada juga faktor lainnya yang terkait juga dengan identitas orang Minangkabau, yaitu Agama Islam. Dalam memori kolektif mereka tersimpan sebuah teori, “Orang Minangkabau itu Muslim, Jika tidak Muslim, maka ia bukan orang Minangkabau.”
Contoh terbaru datang dari Finalis Puteri Indonesia 2020, Kalista Iskandar yang mengaku sebagai perwakilan Sumatra Barat (Sumbar), viral setelah dirinya tidak bisa membacakan pancasila dengan sempurna. Ratusan Netizen dari sebuah group orang Minangkabau langsung bereaksi.
Salah seorang netizen misalnya akun @Rere_Rey berkomentar, “bapaknya aja cina gimana bisa ngaku punya darah minang…org minang gk ada yg cina apalagi non muslim(kecuali murtad)kl cuma lahir di bukittinggi gk bisa seenaknya ngaku punya darah minang…soal sumbar aja gk ngerti”.
Ada banyak akun lain yang berkomentar senada-semakna.
Jauh sebelumnya, juga banyak peristiwa yang menunjukkan Islam merupakan identitas kultural masyarakat Minangkabau yang terpenting. Islam adalah agama yang dianut oleh orang Sumatera Barat, terutama etnis Minangkabau.
Menurut Israr Iskandar (unand.ac.id. 15/02/2018), “sejarah mencatat, pada Pemilu 1955, PNI hanya memperoleh 1 persen suara di Sumbar. Bandingkan partai-partai Islam; Masyumi 49 persen, Perti 28 persen, dan PSII 3 persen. PKI bahkan mendapatkan 7 persen di Sumbar. Artinya, pada dekade 1950-an (bahkan kemudian dekade 1960-an, khususnya pasca-PRRI), politik berhaluan “Soekarnoisme” tidak populer di tanah Sumbar. Identitas Islam yang dimaksud Israr dalam tulisan ini diwakili oleh pilihan orang Minangkabau terhadap partai politik Islam.
Beberapa peristiwa di atas juga mencerminkan ekspresi kultural orang Sumatera Barat. Asrinaldi, dosen Universitas Andalas (Unand) Padang juga menyampaikan analisis yang sama. Menurutnya, faktor budaya dan agama yang dianut oleh masyarakat Sumatera Barat berpengaruh dalam hasil pilpres 2019 di Sumatera Barat.
Meskipun Jokowi pada pilpres 2019 menggandeng ulama Nahdlatul Ulama (NU) yaitu KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres, tetapi itu tidak berpengaruh besar terhadap elektabilitas Jokowi, karena masyarakat Sumatera Barat berafiliasi dengan Muhammadiyah.(bbc.com. 18/04/2019).
Asrinaldi juga mengatakan falsafah Adat Basandi Syarak-Syara’ Basandi Kitabullah’ (ABS-SBK) merupakan salah satu variabel yang menyebabkan kegagalan Jokowi meraup suara lebih banyak di Pilpres 2019.(www.cnnindonesia.com, 23/04/2019).
Demikianlah fakta-fakta historis yang melekat pada pelbagai peristiwa belakangan ini. Sekadar menunjukkan bahwa identitas etnis dan mentalitas kolektif orang Minangkabau itu masih ada. Agar menjadi maklum!
*Penulis, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Imam Bonjol, Padang , muhammadnasir@uinib.ac.id
**