Lahirnya UU tentang Provinsi Sumatera Barat dengan menegaskan posisi ABS-SBK sebagai filosofi adat dan budaya Minangkabau yang disesuaikan dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatra Barat, menjadi dilematis di tengah arus pemikiran pemangku adat yang berjuang untuk tegaknya adat dengan kelompok ulama yang “telah menang” menginfiltrasi adat untuk kemudian menjadi “Islami”.
Kajian ini secara metodologis berlandaskan kepada analisis pemikiran dan pengungkapan tekstualnya sebelum ditelaah dengan melihat dampak kultural dan politisnya bagi masyarakat Sumatera Barat.
Tulisan ini hendak melihat berdasarkan kerangka “dari dalam keluar” makna hakiki dan “ideologis” dari ABS-SBK. Apabila dipertentangkan secara diametral, nilai sakralitas adat dan syari’ah, maka tentu masing-masing memiliki pendukung yang konsisten mendukung secara dunia, adat memiliki kesakralan.
Berbeda dengan syari’ah yang dipandang suci dan sakral dengan menggunakan kaca mata ukhrawi oleh para pendukung gagasan adat adalah urusan duniawi yang harus tunduk dan patuh kepada kebenaran syari’ah.
Adat dan Syari’ah
Ada kelompok “moderatisme” yang mencoba mengembangkan wacana tidak kaku terhadap ABS-SBK. Di mana adat dan syara’ adalah dua hal yang bersifat duniawi dengan wajah yang berbeda. Sadar keduanya sama-sama berasal dari Tuhan, adat dan syari’ah adalah dua nilai yang saling menopang dan saling menguatkan upaya manusia mewujudkan kebenaran bagi umat manusia. Adat bagi orang Minang tidak memiliki warna jika tidak ada syari’ah, sebaliknya syari’ah tanpa adanya adat akan mengalami kebuntuan realitas dalam menata kehidupan manusia.
Upaya mendekonstruksi struktur kerancuan berpikir ini, dengan mengembalikan unsur-unsurnya ke dalam konteks sosio-historis intelektual pertumbuhan dan perkembangan pemikiran antara adat dengan syari’ah secara khusus di Minangkabau dan secara umum dalam konteks tempat tumbuh dan lahirnya Islam di Arab, maka penggunaan kerangka pemikiran tradisional ternyata mengakibatkan kebuntuan dan bahkan kerancuan menciptakan proporsionalitas di antara keduanya yang seimbang.
Baca juga: Surau dan Epistemologi Minangkabau
Wilayah terlarang ini ternyata menyembul dari “kebenaran” yang sama-sama tidak disepakati proporsinya. Antara kebenaran yang timbul dan dinyatakan oleh al-Qur’an dengan kebenaran yang bersifat “adat nan sabana adat”. Padahal jika telitik dari konstruksi berpikir al-Qur’an dengan kehadiran Sunnah dan maupun Ijtihad, maka sesungguhnya kita harus jujur mengatakan, fakta sebenarnya dari “rahasia” antara “yang Ilahi” dengan “yang manusiawi”, belum “selesai” diungkap dengan benar. Di sinilah kemudian struktur wacana menjadi rusak oleh karena pengarusutamaan dan cenderung ideologis terhadap teks dan leteral yang mengemuka, sehingga epistemologis ABS-SBK menjadi cenderung “yang Ilahi”. Di mana dipahami adat tidak syari’ah, adat berdasarkan tradisi jahiliyah dan adat dianggap sebagai kebiasaan yang harus “Islami”.
Lantas bagaimana harus dikuak jarak epistemologi antara “pemahaman” dengan “keyakinan” yang terdapat dalam konsep adat dan syari’ah, sehingga ketika teks mengatakan “adat basandi syara’”, apakah leterlek itu sebagai suatu pemahaman atau sudah menjadi sebuah keyakinan yang berada dalam posisi seimbang dan proporsional bagi kedua teks tersebut. Apabila alur argumentasi ABS-SBK dipaksakan untuk mempertahankan eklektik “adat yang telah menjadi Islam”, maka telah terjadi percampuran yang misterius dan mapan.
Pemahaman yang kabur
Konsep ABS-SBK sebagai filosofi adat dan budaya Minangkabau yang disesuaikan dengan aturan ‘adat salingka nagari’ yang berlaku, sebagaimana ditekskan oleh UU tentang Provinsi Sumatera Barat terlihat ada pemahaman yang kabur dan tumpang tindih. Dalam konteks seperti ini, tidak heran jika pemahaman dengan keyakinan menjadi misterius. Kebenaran tidak lagi sebagai sesuatu yang melekat pada “adat nan sabana adat”, tetapi pada kebenaran yang telah dibuat oleh syari’ah dengan praktik rujukan pada keilmuan para ahli fikih, sehingga gagasan utama yang terkandung dalam konsep ABS-SBK, hanya sekedar penyandaran tak langsung terhadap al-Qur’an. Dan, pendamaian di antara “yang Ilahi” dengan “yang manusia” di Minangkabau, ternyata tidak berdasarkan rasio yang ilmiah dan dapat diuji dengan metodologi ilmu pengetahuan.
Kebenaran Berdiri Sendiri
Pemikiran rasional selalu mencari otentisitas dengan cirinya masing-masing. Maka jadi benar filsafat Minangkabau mengatur dua hal pokok yaitu hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alamnya, sehingga di sinilah kemudian “kebenaran” bagi orang Minangkabau itu “berdiri dengan sendirinya”. Kebenaran adalah puncak piramida peradaban orang Minangkabau, dan kebenaran itu adalah Tuhan sebagaimana terpancar pada alam semesta.
Lantas bagaimana membaca kebenaran pada gagasan ABS-SBK, apakah kebenaran hegemonik yang kuat arus ideologisnya sehingga segala sesuatu yang timbul dari adat menjadi tidak Ilahi. Sumber-sumber kebenaran sebagai kongretisasi atas sikap, pemikiran dan pemahaman yang terkategori sebagai adat berada dalam posisi yang tidak sejajar dengan “ yang Ilahi”, di mana kemudian terjadi pembelengguan atas kemampuan kerjanya dan menafikan seluruh .
Kebenaran Politis
Wacana epsitemologi ABS-SBK, dalam langgam ke-Islaman dan ke-negaraan, tentu tidak serta merta harus dibangun berdasarkan argumentasi induktif. Di mana kebenaran dan pengetahuan yang terkandung di dalam syari’ah –yang memiliki keberagamaan mazhab– adalah kebenaran yang bersifat omnipresent dan segala-galanya. Konfirmasi-konfirmasi atas teks dan leterlek adat –adat nan sabana adat– sekalipun terbangun melalui konstruksi kebenaran alamiah, terbaca sebagai kaidah yang secara teoritis terbenarkan.
Tendensi negara terhadap ABS-SBK, dalam berbagai bentuk yurisdiksinya yang diformulasi melalui perundang-undangan tetap perlu pengujian-pengujian kritis atas kemampuannya menjaga keotentikkan adat. Sebab, kebenaran menurut perspektif negara cenderung dominatif dan politis. Negara berkepentingan terhadap proses, sedangkan tujuan dari kebenaran bukan semata proses, melainkan apa yang menjadi nilai dari kebenaran itu sendiri membentuk apa yang disebut juga dengan paradigma. (bersambung).
Penulis, Irwan. SHI. MH. CMLC.CTLC., Peneliti pada PORTAL BANGSA Institute