bakaba.co | Jakarta | Para ahli politik yang bergabung pada Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, AIPI menegaskan sikap, bahwa adanya upaya mengembalikan pemilu sistem tidak langsung atau melalui lembaga legislatif sebagai langkah mundur dalam demokrasi Indonesia.
“Selain kemunduran, kembali ke sistem pemilu tidak langsung bertentangan dengan semangat reformasi. Kita tahu, reformasi merupakan tonggak sejarah baru demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.”
Pernyataan itu disampaikan Ketua Umum Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Alfitra Salam dalam kaitan Seminar Nasional AIPI XXVIII, Selasa, 10 Desember 2019 di Grand Sahid Jaya, Jakarta.
- Baca juga: KPU Bukittinggi Tunda Tahapan Pilkada
Seminar dengan tema “Evaluasi Pemilu Serentak 2019 dan Penguatan Demokrasi Indonesia ke Depan” menampilkan narasumber Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Ketua Bawaslu Pusat Abhan, S.H., M.H dan gelar wicara menampilkan pakar politik dari AIPI dan Ketua KPU dan Bawaslu propinsi.
Tak Masuk Akal
Dalam upaya menjaga marwah demokrasi Indonesia, kedaulatan rakyat harus menjadi pondasi sekaligus akar tunggang demokrasi Indonesia. Dalam konteks itu, AIPI memandang pemilu langsung untuk memilih Presiden, kepala daerah, anggota DPD, DPR-RI dan DPRD tidak perlu diganti kembali ke pola pemilihan tidak langsung.
“Tidak ada satu pun argumentasi yang masuk akal untuk membenarkan perubahan pemilihan langsung kembali ke sistem pemilihan tidak langsung,” kata Alfitra Salam kepada wartawan yang meliput seminar AIPI.
Lebih jauh dinyatakan, praktik Pemilihan Tidak Langsung adalah bentuk pembajakan elit oligarkis terhadap demokrasi. Selain membuat demokrasi mundur, secara perlahan tapi pasti, pembajakan elit oligarki terhadap demokrasi pada akhirnya akan membunuh demokrasi itu sendiri.
Wacana yang kini dimunculkan, Presiden kembali dipilih MPR, kepala daerah dipilih DPRD, masa jabatan Presiden tiga periode, bukan hanya anomali. “Tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap tujuan reformasi,” kata Alfitra Salam.
Sudah Tepat
Sistem pemilu langsung menurut penilaian AIPI, sudah tepat untuk Indonesia. Jika terjadi penyimpangan, yang harus diperbaiki dan dibenahi adalah instrumen dan para aktor demokrasi yang ada di partai politik, parlemen, pemerintahan. Bukan mematikan demokrasi yang sudah berjalan. Instrumen demokrasi seperti parlemen, partai politik, pers, dan civil society harus menjadi agenda pemerintah untuk diperbaiki.
Dari kajian AIPI terkait pemilu langsung dan serentak yang sudah berlangsung sejak 2015, perlu penyempurnaan. AIPI menyumbang pemikiran: pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal dipisah. Artinya, pemilu Presiden, DPR dan DPD serentak secara nasional. Dan 30 bulan atau 2,5 tahun setelah pemilu nasional, dilakukan pemilu lokal secara serentak memilih kepala daerah, anggota DPRD propinsi dan kabupaten/kota.
“Skema pemilu serentak nasional dan lokal yang dipisahkan direkomendasikan karena memiliki lebih banyak kelebihan dibanding varian pemilu serentak lainnya,” kata Alfitra.
Setidaknya ada sepuluh kelebihan sistem pemilu serentak nasional dan lokal yang dipisahkan. Kelebihan itu antara lain: menjanjikan terbentuknya pemerintahan yang lebih efektif karena presiden terpilih dan kekuatan mayoritas di DPR berasal dari parpol atau koalisi parpol yang sama.
Isu politik lokal yang selama ini tenggelam dapat terangkat dengan pemilu lokal, para wakil rakyat dan pejabat eksekutif yang terpilih diharapkan lebih akuntabel karena kinerjanya dan partainya dievaluasi kembali dalam waktu relatif pendek yakni dalam 30 bulan.
Selain itu, bisa mendorong partai politik bekerja lebih efektif akibat adanya peluang bagi mereka untuk memenangkan calon presiden karena syarat pencalonan presiden/wakil ditiadakan. Dan bagi masyarakat, pemilu nasional dan lokal serentak yang waktunya dipisah bisa lebih berkualitas dan rasional memilih karena perhatian pemilih tidak terpecah.
~ M. Khairul Huda