Merantau adalah sebuah gumpalan cinta keturunan: kita pulang. Dengan jalan berkabar, lirik-lirik kisah Sinama pun bermula (ke pangkal batang), tentang Puti Mendaki Arus serta bangunan kerisauan perihal kelengangan akan kepergian anak-anak bujang ke perantauan telah disambut lambaian sawah dan ladang yang terbengkalai, tak tergilai.
Dikisahkan pula sebuah peristiwa di Ikan Banyak tentang ritus ikan-ikan pada sebuah upacara. Selepas itu, Puti Keturunan pun berangkat. Bila Batang Gosan dan Batang Liki yang menghilir, panjang dan berliku curam serta berhantu itu bertemu (Pengantin Ikan) maka pesta pun akan dilangsungkan.
Dipukul jualah akhirnya canang dan talempong, suara saluang dan sampelong berpanggilan. Perkawinan Puti dengan Pangeran dilangsungkan, waktunya setepat purnama. Dan, kelak, di tahun-tahun kemudian lahirlah Sinama. Bait-bait dan judul dari penggalan puisi dalam buku ini kemudian datang menjelaskan.
Semacam pengantar singkat dari tubuh-tubuh puisi di atas terasa bagai legenda/mitos yang barangkali memang masih melekat bagi sebagian masyarakat sepanjang Sinama. Untuk lebih pastinya tentu diperlukan penelusuran lebih jauh tentang ini. Meski pun begitu dalam sebuah perbincangan semacam ini tentu akan menjadi lebih terang.
Terkabarlah (para penambang) di Manggani, bila Mauna datang maka emas berbungkah akan dijelang. Para penambang akan bergegas. linggis, cangkul, pacul dan sekop akan bercerabut mengeruk perut bukit. Pendapatan akan berlipat. Dan Mauna, gadis ‘misterius’ yang berkayuh sampan dengan lapik sirah sendiri tetap menjadi sebuah tanya, di manakah dia, adakah..?
Iyut Fitra, dengan sigap menjadikan Mauna sebagai simpul untuk mengikat alur peristiwa dan pengucapan puisinya. Terlihat jelas ia menciptakan keberangkatan momen puitik tersebut dengan jalan membangun ruang kreatif yang luas dalam melahirkan sudut pandang karya lewat Mauna:
seribu tubuh tegak batu-batu. ke tenggara
ke gunung sago pandang dilayang
adakah mauna di sana? (menhir)
Melalui Mauna, peristiwa-peristiwa berlangsung, hikayat dan sejarah, murka dan bala (guak lago) berbuah bibir. Dan Mauna, gadis misterius itu, ia terus berkayuh. meski Sinama semakin keruh. Di tepi Sinama ia tertegun (pertemuan di padang jopang).
Sebuah cuplikan sejarah diantarkan. Larik-larik pada bait puisi kemudian mengabarkan peristiwa pertemuan antara Soekarno dan Syekh Abbas Abdullah di Tanjuang Ongik, tepatnya di Surau Godang. Meski tak disebut nama, tapi hadiah kopiah BK dapat dijadikan sebagai indeksnya,
Baca juga: Membincang Sinama karya Iyut Fitra
Puisi-puisi dalam buku kumpulan puisi Sinama ini maknanya terasa sesuai nama, mengalir dalam bahasa terpilih dan terpaut pula pada kedekatan akan kampung halaman berasa dendang menghanyutkan:
hulu, muara, hanya cinta tak sudah
pergi lalu kembali
…
ke mana akan pulang
apakah pada mitos, legenda, atau sejarah?
dari hulu air terus mengalir (jalan air)
Keraguan, kekaburan, dan kesangsian tentang hal yang menyangkut keberadaan dan asal-muasal segala hal, kembali dipertanyakan. Terutama Tanah Ibu, maka ditelisik lagi ia dalam randai, dalam kaba, dalam tambo, atau kenangan:
mauna terus mencari. dalam ragam kesepian
sepanjang sinama
demi silsilah diri sendiri (minanga tamwan)
…
di tanah ibu
kepergian berkumandang berkali-kali
dalam luka diulang-ulang (rambun kasian)
Mauna yang dijadikan tali pengikat dalam menjahit peristiwa demi peristiwa, apakah itu dalam pencarian akan penemuan dengan menelusuri Sinama atau ke mana tiba, itu pun telah menciptakan grafik tersendiri dalam alur pengucapan.
Rintangan dan kesendirian Mauna pun mengantarkannya pada kenyataan yang mesti dihadapi alur puisi. Ragam mistik, mantra, lubuk sakti, sirompak, bunga sedap malam, menyan, si Babau, si Bigau, si Bunian, si Begu dan lainnya dapat dijumpai pada (pinggang gunung bungsu), (sumur onggang), (kisah-kisah hilang), (air tujuh muara). Semua itu menjadikan kisah puitik ini semakin kaya dengan ketegangan tersendiri bagi pembaca dalam menikmatinya.
Membaca puisi-puisi yang terangkum dalam kumpulan Sinama ini, niscaya, pembaca akan dapat memperkaya konsep dan penemuan baru dalam berkarya. Pengetahuan, falsafah, kecintaan, sikap, pemilikan dan perenungan akan kesadaran diri dan lingkungan merupakan muatan Sinama yang sarat bagi pandangan dan filosofi kehidupan.
Penggunaan bahasa Iyut Fitra yang menghidupkan khasanah lokalias perlu dipujikan. Kepadatan isian yang dimilikinya pun jalin-menjalin dalam bahasa yang tertata serta dengan penggalan-penggalan peristiwa yang mangakar berdasarkan judul-judul yang ditempatkan.
Rantau dan kepulangan serta negeri yang ditinggalkan untuk kemudian dijumpai lagi adalah puisi kehidupan yang penuh misteri. Iyut berhasil membangun dunia rekaan lokalitasnya yang kaya, baik kandungan peristiwa, prosesi, adat, kandungan alam, sungai, sawah, hutan, lembah, dan bukit dengan emasnya.
Dan yang lebih menarik, melalui-teks-teksnya, Iyut berhasil menghidupkan diksi-diksi tua lewat idiom-idiom dan penamaan, baik pantun dan mantra, atau saluang, canang, talempong dan sampelong serta dendang sirompak. Begitu pula halnya dengan pemetaan kampung dan korong. Kekuatan ini membuat kita rasa berada dan seakan ikut menelusuri jejak sejarah sepanjang Sinama.
Seperti halnya misteri Mauna, gadis hanyut dari hulu, atau menyongsong arus dari muara. Berperahu lapik sirah dan kadang bersampan naga, berkayuh sendiri atau bernyanyi sekali-sekali (mauna) di Batang Sinama yang menghilir ke tiga daerah; Lima Puluh Kota, Tanah Datar, dan Sijunjung.
Magek, 7 Agustus 2020
~ Penulis, Irman Syah – penyair dan aktivis sastra