Perawan Dalam Cengkraman Militer

redaksi bakaba

Gadis-gadis yang menjadi wanita penghibur itu berasal dari kalangan menengah ke atas. Mereka adalah anak-anak wedana, asisten wedana atau direktur perusahaan.

Gambar oleh Pexels dari Pixabay
Gambar oleh Pexels dari Pixabay

~ Delianur

Berbeda dengan karya-karya Pramoedya seperti Gadis Pantai, Cerita dari Blora apalagi Tetralogi Bumi Manusia, buku berjudul “Perawan Dalam Cengkraman Militer” mungkin adalah karya Pram yang jarang disebut. Entah apa sebabnya, namun apapun penyebabnya, Pramoedya sendiri mengakui bahwa dia hampir melupakan apa yang sudah ditulisnya itu. Dia baru teringat kepada karyanya itu ketika diundang ke Jepang. Karena buku ini memang ada kaitannya dengan Jepang

Lalu apa yang terbayang usai membaca buku ini?
Bila kita melakukan penelusuran biografis terhadap orang-orang berprestasi baik secara sosial, politik, maupun ekonomi, maka kita tidak hanya akan menemukan adanya cerita kegigihan juga kerja keras. Namun kita juga akan menemukan cerita tentang mobilitas vertikal sebuah generasi. Prestasi menjulang yang mereka raih saat ini, selalu berkaitan dengan apa yang telah diupayakan dan dicapai oleh orang tua atau pendahulu mereka.

Seorang Kepala Daerah mendapat apresiasi bukan karena hanya capaian politik yang diraih dalam usia muda. Tetapi juga keilmuannya yang tercermin dari gelar akademisnya. Meskipun banyak yang sinis, namun mesti diakui bahwa yang sinis tersebut belum tentu bisa mencapai apa yang sudah dia raih. Namun penelusuran biografis terhadap figur tersebut menunjukkan adanya capaian yang juga sudah diraih orang tuanya baik secara ekonomi, politik maupun sosial.

Berada dalam pendidikan orang tua yang melek huruf, melek pendidikan dan mempunyai pandangan dunia yang mapan, membuatnya mendapat limpahan pengajaran yang menjadi sangat berharga ketika dia membangun karir.

Pada sisi lain, kita akan menemukan seorang pegiat sastra dan seni yang tidak hanya memiliki karya yang kerap dinukil, tetapi juga memiliki banyak pengikut. Namun penelusuran biografis menunjukkan bahwa sejak kecil ternyata tokoh tersebut sudah hidup dalam dunia pendidikan dan pengajaran di atas rata-rata masyarakat. Ketika masyarakat Indonesia Pra-Kemerdekaan mayoritas buta aksara dan menghadapi problem kemiskinan akut, tokoh tersebut bukan hanya sudah bisa menikmati bacaan berkualitas dari almari buku orang tuanya, tetapi juga dikirim keluar kota untuk sekolah. Sebuah privillege sangat luar biasa pada masanya.

Mungkin cerita tentang putra dan menantu Pak Presiden yang akan maju menjadi Kepala Daerah, adalah contoh sederhana terkini tentang generasi dan mobilitas vertikal. Gibran yang sebelumnya menyatakan tidak akan maju dalam politik dan hanya akan berjualan saja, bahkan ketika Bapaknya digadang-gadang akan menjadi DKI-1 saja dia tidak setuju, sekarang sudah melangkah menaiki tangga menjadi pemimpin politik. Hal yang bagaimana pun agak sulit dan tidak terbayang bila tidak melihat capaian orang tuanya sekarang.

Secara sosiologis dan politis, maka orang-orang di atas pada dasarnya adalah orang-orang istimewa karena mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki masyarakat banyak. Ada kelebihan yang mereka miliki baik secara ekonomis, politis ataupun status sosial. Lalu ketika berbicara tentang kelebihan yang dimiliki oleh segelintir masyarakat, di sinilah berlaku istilah yang diperkenalkan orang Prancis, Nobeless Oblige. Bahwa kehormatan, kekayaan, dan kehormatan yang dimiliki sekelompok orang pada dasarnya mendatangkan kewajiban lebih yang tidak dimiliki oleh masyarakat kebanyakan. Orang-orang istimewa yang mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki masyarakat kebanyakan mempunyai tanggung jawab lebih dibanding masyarakat umumnya.

“Perawan Dalam Cengkraman Militer” tidak berbicara tentang golongan manusia istimewa dan cara mereka membangun mobilitas vertikal. Namun dia bercerita tentang kisah perempuan-perempuan istimewa pada masa pendudukan Jepang yang kemudian menjalani kehidupan tragis. Namun bila kita cermati lebih dalam lagi, ketragisan tersebut sebetulnya juga milik negara ini. Kenapa dianggap seperti itu?

Setelah Jepang menyerang Amerika pada tahun 1941 pada masa Perang Dunia II, setahun berikutnya (1942) Jepang melancarkan serangan kilat ke Asia Tenggara hingga negara jajahan Barat di kawasan ini jatuh ke tangan Jepang. Termasuk di antaranya Indonesia. Namun setahun berikutnya Sekutu menyerang balik sehingga membuat Jepang defensif tidak lagi agresif. Karena serangan ini, hubungan laut dan udara jadi terganggu dan Jepang tidak bisa lagi mendatangkan wanita penghibur dari Jepang, Cina, dan Korea untuk memenuhi hasrat seksual pasukannya. Sebagai gantinya, para gadis Indonesia direkrut sebagai wanita penghibur.

Gadis-gadis yang jadi wanita penghibur adalah gadis muda berusia 14-16 tahun. Mereka bukan datang dari kalangan masyarakat bawah atau kampung-kampung yang sedang menjalani romusha. Karena gadis dari kampung atau romusha, adalah perempuan dekil, tidak berpendidikan dan tidak tepat menjadi wanita penghibur.

Gadis-gadis yang menjadi wanita penghibur itu berasal dari kalangan menengah ke atas. Mereka adalah anak-anak wedana, asisten wedana atau direktur perusahaan. Orang tuanya tidak sanggup menolak permintaan Jepang karena takut. Sementara para gadis itu menerima dengan suka cita ajakan Jepang karena diberitahu akan disekolahkan di Jepang

Jepang merekrut para gadis-gadis muda ini tidak melalui pengumuman terbuka dan memakai dokumen resmi. Polanya pemberitahuan dari mulut ke mulut dan dijalankan secara diam-diam. Pola yang di kemudian hari menimbulkan problem. Karena ketika pemerintahan Jepang sekarang dituntut memberikan ganti rugi, pemerintah Jepang menolaknya karena merasa tidak ada bukti formal bahwa mereka telah melakukan kejahatan itu.

Merujuk pada penelitian yang dilakukan Dr. Hirofumi Hayashi dan Dr. Ikuhika Hata, situs laman Wikipedia tentang Jugun Ianfu, istilah menunjuk pada wanita korban perbudakan seks bala tentara Jepang dalam Perang Dunia II di koloni Jepang pada kurun waktu 1942-1945, menyebutkan bahwa jumlah Jugun Ianfu adalah sekitar 20.000-30.000. Perempuan Jepang merupakan yang terbesar sekitar 40 persen, kedua Korea 20 persen, ketiga Tionghoa 10 persen dan 30 persen sisanya dari kelompok lain.

Pram sendiri dalam bukunya ini tidak menyebutkan jumlah gadis-gadis Indonesia yang menjadi Jugun Ianfu. Namun secara kualitatif Pram membeberkan temuan tentang nasib para perempuan korban perbudakan seks pasca Jepang kalah PD II.

Nasib paling tragis, meski dalam beberapa hal bisa dianggap sebagai “nasib baik”, perempuan-perempuan itu meninggal dunia. Usai dipaksa menjadi budak seks dan menderita penyakit kelamin, mereka dibuang begitu saja oleh Jepang yang pulang ke negerinya. Nasib lainnya adalah terdampar di negara lain seperti Singapura, kemudian menikah dan menetap di sana. Namun mereka mengalami penderitaan psikologis karena terputus hubungan dengan orang tua dan kampung halaman. Mereka takut pulang ke rumah karena sudah menanggung aib yang sangat besar.

Mungkin nasib lain yang tidak kalah tragis adalah banyaknya perempuan-perempuan itu yang terdampar di pedalaman kepulauan di nusantara. Mereka dinikahi oleh Kepala Suku atau lelaki dari sebuah suku yang secara tata kehidupan jauh tertinggal dari tanah kelahirannya. Akhirnya, mereka kemudian melahirkan anak yang alih-alih menaikkan level kehidupan yang sudah dicapai si Ibu sebelum menjadi Jugun Ianfu, level kehidupannya justru berubah atau menurun.

Perempuan-perempuan yang menjadi korban perbudakan seks itu, sebagaimana yang diungkapkan di atas, adalah perempuan kelas menengah ke atas. Mereka pada masanya secara status sosial, ekonomi juga pendidikan berada di atas rata-rata masyarakat Indonesia. Perempuan-perempuan yang bila tidak mengalami musibah menjadi Jugun Ianfu, maka dia akan menjadi Ibu bagi banyak anak-anak dan menjadi pendorong mobilitas vertikal bagi keluarganya, kaumnya, kampung halamannya bahkan negaranya.

Ketika mengingat bahwa perempuan-perempuan itu adalah manusia istimewa pada masanya yang hidupnya terdegradasi, saya teringat cerita Muhammad Roem, mantan Ketua Partai Masyumi. Konon Roem pernah dihadapkan dengan pertanyaan menggelitik kenapa orang Indonesia yang peduli pada politik di masa awal adalah para dokter atau lulusan sekolah kedokteran. Ini adalah sebuah keanehan karena di Barat sendiri, yang menjadi politisi adalah lulusan Ilmu Hukum atau Ekonomi. Orang akan berhenti jadi dokter kalau dia sudah terlibat politik.

Jawabannya ternyata karena manusia istimewa Indonesia masa itu, para pemuda yang mempunyai kelebihan ekonomi dan status sosial terpandang, melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Kedokteran, STOVIA, sebagai sekolah tinggi yang tersedia. Tirto Adhi Soerjo yang dalam Tetralogi Pram digambarkan sebagai Minke yang menjadi tokoh kebangkitan nasional Indonesia perintis berdirinya surat kabar pertama di Indonesia, Medan Prijaji, dengan Konsultasi Hukum sebagai rubrik unggulan, bukanlah mahasiswa Jurnalistik atau Hukum, tapi mahasiswa Kedokteran STOVIA. Tirto keluar dari sekolahnya dan mendirikan Medan Prijaji karena nelangsa melihat kondisi bangsanya.

Ada banyak Tirto lain pasca kemerdekaan yang tidak muncul karena para Ibu-Ibu istimewa pada masa itu hidupnya terdegradasi karena perbudakan seks.**

*Penulis, mantan Ketua PB PII, berasal dari Agam
**Gambar oleh Pexels dari Pixabay

Next Post

Kuciang Biak

Perilaku Kucing Biak yang seekor ini memang berbeda, ia tak peduli dipukul, dihardik, bergelimang abu yang penting ia dapat tidur di tungku dan diatas abu yang hangat.
Image by Dimitris Vetsikas from Pixabay

bakaba terkait