Inspirasi dari Atap Langit

redaksi bakaba

“jika engkau bohong, siapkah engkau menghadapi kebohongan-kebohongan berikutnya”

Kita tentu pernah berbohong. Entah kapan kebohongan itu terjadi hingga kita pun melupakan dusta tersebut. Satu, dua, tiga dan benar bahwa kebohongan melahirkan kebohongan lagi. Tapi, Allah menciptakan manusia sedemikian sempurna.

Dalam diri kita ini terdapat sistem pendeteksi dini untuk masalah kebohongan. Ingatlah kembali, ketika kita sedang berbohong bagaimana bentuk dan warna raut muka kita. Segar, tenang, muka memerah atau terlihat cemas akan sesuatu hal.

Namun, teori ini tak berlaku bagi para “profesional” yang telah lama menggeluti bidang tersebut (bohong, pen). Yang pasti, hanyalah Allah yang mampu membuat sistem pendeteksi dini tersebut.

Sistem tersebut adalah hati nurani. Hati nurani kita adalah sistem tercanggih. Ketika kita berbohong atau melakukan hal-hal yang “kurang baik” pastilah yang menjadi garda depan untuk membela ialah hati nurani. Semua kita adalah baik. Tapi tidak semua kita ingin baik.

Tertarik membaca Novel “Ayah” karya Irfan Hamka. Putra seorang ulama kondang dari bumi Minangkabau. Danau Maninjau jadi saksinya, petikan lagu fundamental untuk mengenang jasa dan karya Buya Hamka.

Perjalanan hidup dan dakwah Hamka sangat menyentuh kalbu. Membuat aliran darah positif beraksi seperti ingin berbuat banyak untuk negeri ini. Sebagai seorang pemimpin rumah tangga, kesantunan dan pendidikan kepada anak-anak sangat kental dengan disiplin dan ilmu agama yang kokoh.

Salah satu nasehatnya yakni, “jika engkau bohong, siapkah engkau menghadapi kebohongan-kebohongan berikutnya”, meski itu adalah hal yang kecil.

Lain halnya dengan zaman saat ini. Sulit membedakan hitam dan putih meski berbeda warna. Mana yang hitam, mana yang putih. Keduanya berbeda tapi samar untuk dilihat.

Ada lagi, pejuang kebenaran dengan si pejuang dunia. Mereka tidaklah berkompetisi. Mereka tidaklah masuk dalam sebuah arena perlombaan. Tidak. Mereka hanya ingin menanamkan ideologi masing-masing dalam lingkungan sekitar.

Malang nasib, yang benar jadi salah, yang salah jadi benar. Si pejuang kebenaran harus berpisah dengan sanak famili karena tak mampu membayar pengacara kelas berat dan mengganjal ketukan hakim agar tak berbunyi.

Lalu, si pejuang dunia justru bisa mangkir di manapun ia kehendaki. Ngopi di cafe, main golf bersama rekannya atau bercanda bersama di balik keluarga utuhnya. Katanya, hukum bisa dibeli. Entah benar atau memang benar. Mari kita jawab dengan informasi masing-masing.

Inspirasi

Ada sebuah novel inspiratif “Nawung putri malu dari Jawa”, penulis Galuh Lara Sakti. Dalam tulisannya ia menceritakan seorang putri desa nan cerdas yang lahir dari keterpurukan kondisi ekonomi. Desanya cukup dikenal dunia, dengan candi Borobudur, menjadi pemandangan yang tak asing bagi masyarakat di sekelilingnya.

Nawung terlahir sempurna dengan didikan ayah dan ibunya yang begitu sederhana. Nilai kejujuran telah lama mereka tanamkan dalam diri Nawung. Impiannya menjulang tinggi ke langit hingga mampu mendirikan sebuah sekolah: “sekolah anak bangsa dan komunitas, “komunitas anak langit”. Sebuah komunitas bagi mereka yang putus sekolah dan langit menjadi atap rumahnya.

Tertegun membaca perjalanan Nawung, sekaligus malu dengan apa yang telah diperbuat. Bagi Nawung, hidup adalah anugrah dari Gusti Allah yang diamanahkan untuk saling berbagi kepada sesama.

Ada cinta, patah hati, cemas dan rendah diri. Nawung menganggap bahwa semua itu adalah siklus kehidupan. Gusti Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hambanya.

Lalu, adakah rasa dalam diri ini untuk berbuat sesuatu. Berbuat tidak hanya untuk diri sendiri. Berbuat untuk kebahagiaan orang lain. Berbuat untuk kehidupan yang lebih baik. Masih ada waktu untuk terus memperbaiki diri.

Hidup adalah siklus kehidupan di mana kita akan menemui cercaan, ujian, bahkan harus rela kehilangan orang-orang yang selama ini dicintai. Adalah sebuah kepastian akan terjadi. Siklus tersebut adalah wujud dari kecintaan Allah untuk mendidik kita terus dewasa dan tegar menghadapi hiruk pikuk kehidupan ini.

Learning process bagian penting yang harus kita dapatkan dalam setiap kejadian. Bukan justru melihat masalah sehingga mempersulit keadaan yang terjadi.

Mari terus berbenah sembari berbagi. Berpikir ulang untuk melakukan kebohongan, walau kecil sekalipun. Ada bayangan canda bagi mereka yang beratap langit.

Sekarang, saat ini, dan hingga nanti kita dapat merasakan atas apa yang telah dilakukan. Kita berhutang atas perjuangan bangsa ini. Kita berhutang atas jasa pahlawan bangsa ini.

Kita berhutang budi pada masyarakat sekeliling. Kita berhutang pada insan yang terjun dalam dunia pendidikan. Maka, sudah saatnya kita punya mimpi. Mimpi mulia untuk membahagiakan sesama. Kebahagiaan mereka melebihi apa yang akan dan telah kita lakukan. Bukan lagi no action talk only, tapi talk less do more.*

*Penulis, Purbo Jatmiko, Dosen FEB Universitas Bung Hatta, Padang
**Gambar fitur oleh wongyulee – pixabay

Next Post

Pedagang Aur Kuning Semakin 'Merasa Diteror'

Kami, para pedagang pasar aur kuning minta perlindungan hukum kepada lembaga kepolisian, Polres Bukittinggi, sesuai aturan berlaku."
Pedagang Pasar Aur Kuning mengadu ke Polresta Bukittinggi-bakaba.co

bakaba terkait