Dekonstruksi Politik Islam di Era Negara-Bangsa

redaksi bakaba

Pemujaan terhadap rezim khilafah Islam secara berlebihan, sekalipun cacat-cacat sejarah tidak dapat dihapuskan telah menutup awan terang peradaban Islam ideal.

Gambar oleh Walkerssk dari Pixabay
Gambar oleh Walkerssk dari Pixabay
Irwan,S.H.I,M.H.
Irwan, S.H.I., M.H

Dekonstruksi Politik Islam – Sebagai seorang muslim, saya tentu akan sangat sensitif ketika pembicaraan mengenai Islam dan Negara dipertentangkan sebagai dua spektrum yang bertolak belakang. Sebab, sebagai seorang manusia biasa dan rasul, Muhammad sebagaimana juga pengakuan para ahli, menempatkan Muhammad Rasulullah sebagai seorang negarawan yang hampir tidak ditemukan cacat politis dalam dirinya pribadi serta ajaran-ajaran politik yang dibawanya dalam menguatkan misi kerasulannya.

Politik dipahami oleh Muhammad Rasulullah sebagai realitas dinamis yang tidak terpisahkan dari norma-norma ilahiyyah guna memperkuat komitmen kemanusiaan terhadap peradabannya, yaitu peradaban kasih sayang dan kesempurnaan akhlak.

Kedua tema ini menjadi sangat penting dalam teori politik Islam. Dalam spektrum yang saling menopang, kasih sayang dan kesempurnaan akhlak membentang lurus dalam kehidupan manusia yang menjadi titik temu interaksinya dengan berbagai peradaban lainnya di dunia.

Tesis saya terhadap politik Islam oleh karenanya bukanlah eksplisit pada konstruksi ataupun bentuk baku dan formal. Sebab, berbagai agama, tidak saja Islam, sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis, ekonomi, dan alam pikiran yang mempengaruhi karakter sebuah bangsa.

Faktor-faktor dominan itu sering memberi warna terhadap kecenderungan yang diberlakukan secara umum oleh bangsa itu, baik dalam kebiasaan perilaku ketatanegaraannya maupun secara tertulis dalam konstitusi politiknya.

Asumsi ini tidak saja bersifat ideologis, bahkan dalam perspektif teologis pun, Tuhan memang dengan sengaja menciptakan pria dan wanita yang bersuku-suku bangsa agar terbangun komunikasi di antara pluralitas nilai dan karakter dalam setiap pribadi dalam masyarakat bangsa.

Oleh karenanya, menurut Abdullah Ahmed An-Na’im, bahwa ada aspek-aspek Islam dan Syari’ah tertentu yang bersifat universal, tanpa menyangkal adanya ruang perbedaan dalam kondisi sosiologis dan kondisi-kondisi lainnya.

Membaca catatan-catatan ilmiah para yuris Islam, kehidupan sosial umat Islam sering dikonstruksi dalam kaidah-kaidah kesempurnaan yang sama sekali mengabaikan karya Tuhan yang dengan sengaja menciptakaan perbedaan.

Ketika Tuhan dengan sengaja membuat perbedaan untuk meningkatkan kearifan, yuris Islam kemudian menafsirkannya dengan melakukan idealisasi-idealisasi atomik yang membatasi karya Tuhan terhadap manusia sebagai makhluk sempurna.

Rezim Khilafah

Pemujaan terhadap rezim khilafah Islam secara berlebihan, sekalipun cacat-cacat sejarah tidak dapat dihapuskan telah menutup awan terang peradaban Islam ideal.

Dengan berpegang secara berlebih-lebihan terhadap konsepsi “al-Maslahah” dan “menolak kemudharatan lebih utama dari pada meraih kebaikan “akhirnya syari’ah politik direduksir pada area-area kestabilan, kepatuhan, kepatuhan kepada pemimpin secara berlebihan, menjaga kepentingan umum, keamanan, hak-hak prerogatif, dan otoritas.

Politik Islam diteorisasi pada model kestabilan yang luar biasa bahkan cenderung menempatkan perbedaan sebagai sebuah kemudharatan. Dan hal-hal baru yang timbul atas respon sosiologis kekinian dianggap sebagai bid’ah yang paralel dengan kesesatan.

Politik syari’ah dengan asumsi-asumsi tafsir idealitas para yuris Islam yang diperkuat dengan otoritas keilmuan dan kesalehan, seakan-akan umat Islam berikutnya tidak lagi memiliki kapasitas untuk “menterjemahkan” al-Qur’an guna menjawab kebutuhan-kebutuan kekinian yang notabene tidak dapat dielakkan dari ketergantungan dan interaksi dengan berbagai jenis suku dan bangsa di dunia.

Piagam Madinah

Paradigma politik profetik yang diperlihatkan Muhammad Rasulullah di Mekkah dan Madinah, serta Piagam Madinah sebagai ikatan sosial pluralistik awal dengan tidak memaksakan ketundukan kepada Muhammad dan Islam, politik profetik memperlihatkan sikap inklusif Muhammad terhadap suku bangsa lainnya.

Muhammad Rasulullah tidak “memaksa” apalagi mengkafirkan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang bertentangan dengan Muhammad Rasulullah. Muhammad dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab bersikap terbuka dan akomodatif sekalipun di tangannya terletak otoritas tertinggi umat Islam, tidak pernah mempersepsi kemudharatan-kemudharatan yang oleh karenanya lebih penting untuk ditolak daripada mengambil manfaat.

Muhammad Rasulullah bahkan melihat realitas sosial sebagai elemen-elemen sosial yang bersifat manfaat al-Masalih untuk lebih dikedepankan. Pertimbangan-pertimbangan kepentingan dan standar kemudharatan tidak dibangun di atas perspektif umum, karena hal itu akan menjadi pembatas untuk tumbuhnya kreatifitas-kreatifitas intelektual yang bersifat tajam, kritis dan elaboratif.

Pemberontakan atau melawan pemerintahan yang absah, bagi al-Mawardi adalah sah. Sementara bagi Ibn Taimiyyah sejahat apapun seorang pemimpin tidak ada alasan untuk menggulingkannya. Bagi Ibn Taimiyyah, satu malam di bawah pemimpin yang zalim, lebih baik daripada seribu tahun tanpa pemimpin.

Perbedaan-perbedaan gagasan di kalangan ahli Islam terhadap politik dan berbagai sub-sistemnya, menjadi dasar untuk melihat politik Islam dalam perspektif yang lebih luas, kekinian, objektif dan rasional.

Kepemimpinan politik Muhammad Rasulullah yang anonim itu, mampu melahirkan impact yang luar biasa terhadap kehidupan sosial politik masyarakat. Pembangunan terhadap nilai, komitmen, dan kesepakatan-kesepakatan sosial di tengah-tengah masyarakat polis bukan tidak mungkin untuk didirikannya sebuah state oleh Muhammad Rasulullah.

Hampir 53 Tahun kehidupan di Mekah, Muhammad Rasulullah terus berupaya membangun karakter tamaddun manusia Mekah, dan menegakkan aspek-aspek hukum selama 10 tahun di Madinah. Dengan waktu 23 tahun paska kenabian, pengaruh propetik (nabi-rasul) Muhammad ternyata lebih dominan dan dirasakan sebagai kepemimpinan yang berhasil sebagaimana dibayangkan oleh Plato dan Al-Farabi.

Masyarakat tak “bernegara” yang dijalani umat Islam di bawah Muhammad Rasulullah berhasil menciptakan social order yang tepa-slira, berkeadilan, toleran, partisipatif, egaliter, berkesamaan hak, berkepemimpinan, dan bersatu di bawah satu panji kepemimpinan yang dihormati dan dicintai.

Sekalipun Muhammad Rasulullah tidak memiliki negara, namun dengan kepatuhan dan ketundukan yang berwibawa, rakyat (ummat) hidup dalam keteraturan yang bertanggungjawab.

Muhammad Rasulullah dan Al-Qur’an benar-benar berhasil memukau bangunan kesadaran individual umat untuk hidup secara patuh dan dipimpin oleh seorang nabi yang umi.

Ketika umat Islam dan para yuris sibuk berselancar dalam dunia tafsiran membumikan syari’ah (fiqih), para khalifah yang hidup dan memimpin seperti raja, agitasi dan intoleransi kekuasaan terhadap konflik, diperlakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap keabsahan hegemoni syari’ah.

Model khilafah dengan kekuasaan mulkiyah-nya benar-benar mengendap dalam kemampuan logika burhani para ‘alim sehingga menutup model-model alternatif bentuk kekuasaan.

Sekalipun, cukup sedikit dasar-dasar argumentasi untuk menyatakan bahwa sebagian ulama dan filosof tersebut hidup dalam fasilitas yang diberikan oleh para khalifah. Sehingga mereka tidak lagi mampu untuk menjadi seorang provokator menggugat kezaliman dan penyimpangan syari’iyyah yang dilakukan oleh para raja.

Praktik kehidupan politik Muhammad yang fokus kepada pembangunan karakter masyarakat dan pergantian kekuasaan yang terus berlanjut dalam model khilafah dengan dukungan yang sangat minim, jika dikatakan tidak ada, terhadap model-model alternatif.

Politik Islam benar-benar terpasung dalam konsepsi “Islam hanya bersifat political values” dan “ Khilafah sebagai satu-satunya bentuk bernegara”.

Pembekuan berfikir mengenai pengembangan political values Islam, mungkin dapat dibenarkan, karena kemudian substansi politik Islam itu semakin bersifat konstruktif dan dapat diasimilasi dengan berbagai konteks pluralism bangsa.

Bahkan perkembangan pemikiran dan bangunan argumentasi kelebihan prinsip-prinsip dan asas-asas politik Islam benar-benar berkembang dengan positif, baik di lingkungan umat Islam sendiri, maupun di kalangan teoritis politik modern non muslim.

Berbeda dengan konsepsi khilafah, kebekuan mengenai konsepsi ini terus berkembang dan tidak mengalami fase kedewasaan berpikir sehingga cenderung menimbulkan kejumudan umat dalam memahami substansi dan artikulasi model khilafah dalam era modern dewasa ini.

Padahal dalam praktik politik umat Islam, pasang surut model khilafah telah memperlihatkan perkembangan yang tidak signifikan dengan perkembangan kebudayaan masyarakat yang saling berintegrasi dengan bangsa-bangsa lain.

Muhammad Rasulullah dihormati dan dijadikan sebagai pemimpin dunia paling hebat bukan karena berhasil menciptakan sistem khilafah. Akan tetapi karena keberhasilannya dengan penguatan pada nilai-nilai yang melahirkan masyarakat tak bernegara.

Gagasan dekonstruksi politik Islam adalah penyadaran terhadap gagasan baku yang dipersepsi oleh umat Islam karena kegagalan dalam melihat perkembangan sistem negara bangsa yang berkembang pesat dewasa ini. Kekuatiran yang tidak argumentatif dan berlebih-lebihan, umat Islam membiarkan pikiran dan tenaga mereka tercurah untuk mengkloning sistem khalifah ke zaman modern, dan mengidealisasi khilafah sebagai produk wahyu.

Dalam era negara-bangsa, tanpa dibebani oleh perasaan “kekalahan” akibat perkembangan sistem non Islam.

Energi positif semestinya dipergunakan untuk kepentingan mengembangkan model-model terbaik berdasarkan praktik politik nilai yang dikembangkan Muhammad Rasulullah, bukan terus menerus memaksakan sistem yang gagal paska Khulafa al-Rasyidin.

Umat dan pemimpin Islam mesti membuka kesadaran baru untuk memanfaatkan moment modernisasi yang tidak mengakar itu dengan mengisinya dengan pemikiran-pemikiran cerdas dan syari’iyyah.

Tugas terpenting sebenarnya terletak pada keseriusan kita untuk meninggalkan cara berpikir atomik, kembali berpikir pada Islamnya Muhammad Rasulullah, bukan melakukan pe“wahyu”an terhadap praktik sejarah politik yang terkontaminasi itu.

Revitalisasi Islam, agar konsepsi negara bangsa yang sesuai dengan Islam benar-benar terwujud, maka konsepsi kita terhadap Islam yang mesti diperbaiki, yaitu dengan cara menghapus seluruh memori pembenaran subjektif yang telah kita lakukan terhadap Islam.

Islam kita kembalikan kepada Muhammad Rasulullah dan Al-Qur’an. Kita bawa keduanya ke dalam kehidupan kekinian dengan membuka cakrawala berpikir kita dan sekaligus membumikannya dalam realitas objektif kekinian agar Al-Qur’an tetap menjadi hidup sebagaimana dihidupkan Muhammad Rasulullah dalam keseharian hidupnya di Mekah dan Madinah.

Politik Rasul

Lantas, model negara bangsa yang hadir dewasa ini, hadir dengan konteks kebaruan zaman dengan berbagai pengalaman akulturasi lintas kebudayaan manusia.

Model negara-bangsa dalam tradisi politik Islam, bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti apalagi dianggap anti syari’ah.

Jika pijakan argumentasi tetap di atas model politik Muhammad Rasulullah, maka nilai-nilai yang dikembangkan itu penting untuk dijadikan sebagai pedoman dalam pergulatan pengisian bentuk negara bangsa yang manusiawi, egaliter, berketuhanan, berkepimpinan yang bermoral, HAM, pengakuan harkat dan martabat orang miskin, pembatasan terhadap penumpukkan kekayaan, kapitalisme dan sebagainya yang notabene dewasa ini menjadi kelemahan-kelemahan jaminan oleh demokrasi yang didengungkan dewasa.

*Penulis, Advokat, Peneliti & Sekretaris Eksekutif PORTAL BANGSA Institute
**Gambar fitur oleh Walkerssk dari Pixabay

 

Next Post

Walikota Bukittinggi 'Curhat', Pas 2 Tahun Pasar Atas sejak Terbakar

"Mengurus uang ke pusat itu bukan gampang, bapak ibu sekalian. Bukan uang turun begitu saja ke daerah. Perlu lobi-lobi, ya kan.
Pertemuan Walikota Bukittinggi dengan pedagang pasar atas

bakaba terkait