bakaba.co, Agam – Malam belum larut. Kedai kopi Uwak tidak begitu ramai. Televisi yang gambarnya bergoyang – bergelombang sedang menyiarkan liga Indonesia. “Sudah enam bulan tidak lagi pergi berburu,” ujar Uwak menjawab bakaba.co sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya yang keriput. Uwak, begitu panggilan laki-laki itu, sama dengan merek kedai kopi miliknya. Usia Uwak sudah 84 tahun. Dia mengatakan sudah hobi buru babi sejak tahun 1964. “Sudah setengah abad lebih berburu. Sekarang tidak kuat lagi. Anjing sudah tidak ada lagi. Anak den ada juga yang hobi berburu tapi sekedarnya saja,” ujar Uwak, yang tubuhnya tinggi dan berkulit gelap.
Di kedai kopi miliknya di Labuah Gambuang, perbatasan Nagari Pasia dan Jorong Surau Kamba, Nagari Ampang Gadang, Agam, Uwak bercerita tentang hobi berburu babi yang dia geluti sejak berputra satu; tahun 1964. “Terakhir pergi berburu, kaki terasa berat, tidak mampu lagi mengiringi kawan saat pindah lokasi buru,” ujar Uwak.
Selama hobi berburu babi dijalani, sampai ‘pensiun’, tidak kurang 40 ekor taranak (istilah untuk anjing) pernah dipelihara Uwak. Jenis anjing: lokal dan campuran alias anjing keturunan. “Tidak ada yang diternakkan. Hampir semua dibeli atau ditukar-tambah,” kata Uwak.
Harga anjing ‘bakalan’ yang memiliki cukup syarat untuk dilatih jadi anjing pemburu babi, ada yang belasan juta rupiah. Tetapi Uwak hanya ‘berani’ merogoh dompet paling tinggi dua juta rupiah. Bahkan Uwak pernah dapatkan anjing dengan dana Rp. 80 ribu saja.
“Saya melihat seekor anjing di tempat orang jual taranak. Anjing itu tidak ada yang tertarik melihat apalagi membeli. Saya periksa anjing itu, syarat-syarat anjing bagus, cukup. Tetapi kakinya pincang, pantas saja tidak ada yang mau ambil,” cerita Uwak.
Dengan kondisi dompet yang isinya tak cukup seratus ribu rupiah, Uwak mendapatkan anjing yang kakinya tidak sempurna itu. “Cukup lama saya meluluhkan hati pemilik anjing agar mau menerima uang sebanyak itu,” imbuh Uwak.
Anjing berusia sekitar 7 bulan itu diberi nama ‘si Pincang’ dan Uwak merawat dan melatih dengan telaten. “Den baok baranang, saya bawa berenang, agar kakinya kuat. Waktu dibawa berburu, cepat pandainya. Mungkin karena bakatnya bagus,” ujar Uwak.
Anjing hebat
Dalam pengalaman Uwak, dia tidak begitu fanatik dengan ciri-ciri anjing hebat atau bagus. Di dunia para pehobi buru babi, anjing bagus itu dilihat dari beberapa tanda yang dimiliki seekor anjing. Mulai dari pusar kepala (pusa-pusa —minang), bentuk dada, karakter ekor, telinga, mata, karakter bulu, karakter telapak dan kuku kaki depan dan tanda lainnya.
Uwak bercerita, anjing pemburu yang bagus memiliki pusa–pusa yang pusarannya sempurna dan jelas di kepala. Bentuk dada tidak sempit tapi lapang, ekor tegak dan lurus, telinga tegak dan tipis, mata memiliki bulatan yang tajam. Selain itu telapak dan kuku kaki tidak terbenam tapi terlihat naik saat anjing berdiri.
“Tanda taranak yang bagus juga dilihat bulunya, agak kasar dan berlapis. Jika bulu anjing dominan hitam, ketika bulunya disibak di bawahnya terlihat ada bulu warna lain, bisa putih. Itu anjing biasanya cepat pandai jika dilatih berburu,” papar Uwak.
Meski ciri-ciri anjing berbakat diketahuinya, tetapi Uwak pernah punya anjing yang kakinya tidak sempurna untuk dijadikan anjing pemburu. Si Pincang, anjing itu diberi nama, sempat jadi buah bibir karena ketangkasannya di arena buru babi di Agam. Selain itu, Uwak juga pernah memiliki anjing pemburu yang salah satu telinganya berlipat. Anjing itu diberi nama ‘Cubik’ karena telinganya tidak tegak.
“Di arena buru, kebanggaan para peburu ketika taranaknya memenuhi semua syarat anjing bagus. Awak mambaok, membawa anjing pincang, anjing lepai, harus siap mental. Untung saja si Pincang maupun si Cubik tageh, tangkas, tidak takut melihat babi,” cerita Uwak sedikit menerawang seperti membayangkan anjing yang pernah dipelihara dan dibawanya berburu.
Takabur, itu pantangan
Setengah abad menjalani hobi berburu babi hutan, kecuali ke Mentawai, semua daerah di Sumbar sudah ditempuh Uwak. Bahkan ke beberapa kabupaten di propinsi Riau daratan, Uwak pergi berburu. “Takabur, itu pantangan berburu,” ujar Uwak, “bahkan berkata yang tidak biasa saja, ada-ada saja kejadian yang tidak disangka.”
Suatu kali, cerita Uwak, saat berburu di daerah Sungai Tanang, Agam, seorang teman berburu ketinggalan pisau berburu di mobil, ingatnya setelah berada di daerah rimba. Teman itu meminta sopir berbalik ke mobil untuk mengambil pisau. Setelah pisau dijemput, sambil memegang gagang pisau si teman berkata: “tinggal pula di mobil, tidak ingin merasakan darah ya.” Tidak berapa lama kemudian, anjing para pemburu rombongan Uwak serentak meronta dan menyalak-nyalak. Seekor babi berlari ke arah rombongan Uwak. Belum sempat melepaskan anjing, babi itu sudah menyeruduk. “Seorang teman terpekik. Ternyata teman yang pisaunya ketinggalan tadi itu yang kena seruduk babi. Pahanya robek. Dia dilarikan ke rumah sakit,” kata Uwak.
Uwak pribadi juga punya pengalaman saat berburu. Ketika berburu di daerah Solok, Uwak membawa si Cubik, anjing yang telinga kanannya berlipat. Si Cubik sudah cukup berani dan tangkas meski moncongnya belum merasakan darah babi di perburuan.
“Waktu itu tiba-tiba saja ambo berkata pada teman: jika nanti ada babi, ketek atau besar, si Cubik ini ambo lepas,” cerita Uwak.
Lalu, apa yang terjadi? Setelah setengah hari menunggu munculnya babi buruan, si Cubik merentak rantai. Uwak paham, si Cubik mencium aroma babi. Segera si Cubik dilepas. Teman seperburuan Uwak heran, tidak ikut melepas anjing mereka. Beberapa waktu kemudian terdengar salak anjing di kejauhan. Anjing milik teman-teman Uwak bereaksi, meronta dan para pemiliknya segera melepas taranak mereka.
Dua jam menunggu, satu per satu anjing kembali ke ‘tuan’nya. Si Cubik tidak juga muncul. Uwak cemas. Bersama teman Uwak mencari, menyusuri arah larinya si Cubik tadi. Sekitar satu kilometer berjalan, bertemu panitia buru. Dari panitia itu diketahui adanya anjing yang terluka oleh taring babi ketika serombongan anjing memburu babi yang cukup besar.
“Akhirnya kami temukan si Cubik di areal kebun kopi, tergeletak. Lehernya robek. Sudah mati,” kata Uwak, “Itulah hal yang ambo dan kawan peburu alami. Hanya karena kata-kata yang sepertinya biasa, tapi terjadi hal tak disangka. Apalagi jika kita takabur..”.
Anjing mahal
Di dunia para pehobi buru babi, jenis anjing umumnya terbagi dua: anjing lokal dan anjing blasteran, peranakan. Uwak mengaku, dia lebih banyak memelihara anjing lokal. Ada juga satu-dua anjing peranakan. “Anjing peranakan mahal, tidak terjangkau kantong. Anjing lokal banyak juga yang bagus kejarannya,” kata Uwak.
Dari cerita Uwak tergambar, para toke atau pengusaha yang banyak membawa anjing peranakan atau blasteran ke arena buru babi. Ada di antaranya yang membawa anjing tiga ekor, pakai cingkariak, anak buah yang memegang anjing di arena perburuan. “Orang dengan anjing blasteran itu pakai mobil pribadi, di mobilnya juga ada kerangkeng anjing. Awak pergi dengan oto bak terbuka, duduk bersempit-sempit dengan taranak dipangku,” kata Uwak diiringi derai tawa tertahan
Harga anjing peranakan yang dewasa kata Uwak, bisa belasan juta rupiah seekor. Anjing lokal masih bisa dapat sejutaan. Ada juga anjing lokal yang berdarah sedikit campuran, didatangkan dari Jawa, harganya dua-tiga juta.
Anjing blasteran cerita Uwak, saat memburu babi berbeda karakternya dengan anjing lokal. Anjing lokal di arena buru cendrung di belakang atau di samping babi sambil menyalak-nyalak. Beda dengan anjing blasteran, berani berhadap-hadapan dengan babi. “Banyak anjing blasteran yang mati kena taring babi,” kata Uwak terkekeh.
Selain itu, anjing blasteran jika gigitannya tepat, pas dapat telinga babi misalnya, tidak akan dilepaskan. Bahkan berguling-guling dengan babi pun, gigitannya tetap lekat. “Sering di kesempatan itu, saat gigitan anjing tidak lepas, datang pemburu menikam atau menombak badan babi,” kata Uwak.
Ketika seekor babi sudah patah, rebah, saat itulah anjing-anjing pemburu ‘berpesta’ merobek, merenggut juga memakan daging buruannya. Di situ tanda anjing berhasil, terlihat moncongnya belepotan darah. Jika anjing berbulu terang, apalagi putih akan terlihat bulu di bagian kepalanya jadi merah. Ada darah.
“Nah, saat anjing kembali ke pemiliknya, tanda darah yang belum kering itu yang membuat bangga tuannya. Itulah kebanggaan para peburu, yang akan jadi bahan cerita saat pulang. Besok-besok tetap jadi bahan cerita di lapau-lapau saat bergurau,” kata Uwak, yang bernama lengkap: Syafwan Sutan Sampono.[*]
>asraferi sabri/bakaba