Wilwatikta – Pada suatu kali Ken Arok bertemu Ken Dedes saat turun dari kereta kuda bersama suaminya, Tunggul Ametung. Ken Dedes mengangkat kain roknya, saat itu datang angin berputar sehingga betis sampai pahanya terbuka. Ken Arok gemetar hatinya. Sewaktu akan tidur ingatan Ken Arok selalu pada Ken Kedes. Timbul keinginan Ken Arok mempersunting Ken Dedes.
Ken Arok menemui peramal Lohgawe. Sang peramal menjelaskan, wanita yang rahasianya menyala adalah Nereswari. Siapapun lelaki yang menikahinya akan menjadi Raja Besar.
Ken Arok ingat Tunggul Ametung, suami Ken Dedes adalah raja Singosari yang berkedudukan di Tumapel. Timbul hasrat dalam hati Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung.
Tunggul Ametung adalah seorang yang kebal. Dia hanya bisa mati dibunuh dengan keris keramat buatan Mpu Gandring. Ken Arok meminta Mpu Gandring membuatkan keris yang baik untuknya.
Lama sekali keris itu siap. Akhirnya, dengan keris yang tidak siap itu Ken Arok membunuh Mpu Gandring dan juga kemudian membunuh Tunggul Ametung.
Ken Arok mengawini Ken Dedes. Dia angkat dirinya menjadi raja di Tumapel. Ken Dedes melahirkan empat orang anak dengan Ken Arok yaitu Mahisa Wonga Toleng, Panji Saprang, Agnibaya dan Dewi Rimbu.
Dengan Tunggul Ametung Ken Kedes mempunyai seorang anak bernama Anusapati. Dengan isteri lain Ken Arok juga memiliki beberapa orang anak.
Setelah Ken Arok menaklukan Kediri, Ken Arok menunjuk Mahisa Wonga Toleng menjadi Adipati di Kediri. Anusapati, anak tertua Ken Dedes merasa dilecehkan.
Ken Dedes menjelaskan kepada Anusapati bahwa dia anak Tunggul Ametung, anak tiri Ken Arok. Tunggul Ametung telah tewas dibunuh Ken Arok.
Untuk ikut menguasai Singosari, Ranggawuni anak Anusapati kawin dengan Waning Hyun anak dari Wonga Toleng. Toh Jaya anak Ken Arok dari isteri lain dapat menguasai Singosari. Ranggawuni bersama Mahisa Cempaka memberontak terhadap Toh Jaya.
Mahisa Cempaka adalah anak Mahisa Wonga Toleng anak Ken Arok dengan Ken Dedes. Mahisa Cempaka adalah ipar Ranggawuni. Mereka menyusun tenaga dan menjatuhkan Toh Jaya dari kekuasaannya.
Ranggawuni naik menjadi raja Singosari. Mahisa Cempaka diangkat sebagai Maha Patih, orang kedua di Singosari. Sepeninggal Ranggawuni, anaknya Karta Negara dinobatkan menjadi raja Singosari. Raden Wijaya anak Mahisa Cempaka diangkat sebagai panglima besar Singosari. Jaya Katwang anak Agnibaya diangkat sebagai Adipati Kediri.
Jaya Katwang merasa mempunyai darah lebih murni dari Karta Negara sebagai keturunan Ken Arok dan Ken Dedes. Banyak juga pembesar kerajaan Singosari terpengaruh oleh Jaya Katwang bahwa dia lebih berhak atas Singosari.
Dia menyusun pemberontakan terhadap Karta Negara, dengan bantuan orang-orang dalam istana. Beberapa orang penting dalam istana diganti dengan orang yang pro dengannya. Maha Patih Renanata diganti dengan orangnya Aragani. Wiraraja Adipati Lumajang dan Madura, Ranggalawe dan Lembu Sora memihak kepada Jaya Katwang.
Baca juga: [9] Minangkabau: Ekspedisi Pamalayu
Tahun 1291 masehi, Jaya Katwang melakukan pemberontakan dari utara, dari pelabuhan Tuban. Aragani perintahkan Raden Wijaya dengan pasukan besar menuju arah Utara. Pasukan yang dipimpin Raden Wijaya boleh dikatakan lebih separo kekuatan Singosari.
Raden Wijaya dapat melumpuhkan pemberontak dari utara itu. Jaya Katwang menyerang dari selatan. Istana Tumapel dibakar habis. Karta Negara dibunuh oleh Aragani.
Tumapel dikuasai Jaya Katwang. Rubuhlah kerajaan Singosari. Raden Wijaya membalas atas pembunuhan Karta Negara dengan membunuh Aragani. Perlawanan Raden Wijaya dilumpuhkan Jaya Katwang.
Jaya Katwang berkuasa penuh di Singosari dengan pusat di Kediri. Raden Wijaya menyingkir ke hutan di pinggir kali Brantas. Raden Wijaya ditemani Rangga Lawe dan Lembu Sora meminta ampunan kepada Jaya Katwang melalui Wiraraja.
Wiraraja adalah bapak Rangga Lawe. Berkat bantuan Wiraraja, Raden Wijaya diampuni Jayakatwang. Raden Wijaya diberi wilayah kekuasaan dirimba Hutan Tarik di pinggir kali Brantas daerah Mojokerto.
Dua kali utusan Mongol ditolak Karta Negara. Secara halus Karta Negara tidak mau membayar upeti kepada Mongol. Utusan ketiga dicoret tanda silang di keningnya oleh Karta Negara. Kubilai Khan sangat tersinggung oleh perbuatan Karta Negara tersebut.
Dia kirim dua laksa pasukan di bawah tiga orang panglima. Mereka mendarat di Ujung Guluh. Mendengar berita itu Raden Wijaya berangkat ke Ujung Guluh, melaporkan bahwa istana Karta Negara telah pindah ke Kediri. Pasukan Raden Wijaya bergabung dengan pasukan Mongol. Kota Kediri dan pusat kedudukan Jaya Katwang mereka luluhkan, Jaya Katwang ditangkap dan dibunuh.
Tahun 1292 M pasukan Singosari yang ada di Dharmasraya dan pasukan Dharmasraya berjumlah satu setengah laksa dengan persenjataan lengkap. Bahkan memiliki senjata guruh (mariam = bahasa Cina lama Ui-Ui Kanon).
Di bawah pimpinan Wisma Rupa Kumara dan Mahisa Anabrang berlayar ke Jawa. Bersama rombongan besar pasukan gabungan itu ikut Dara Jingga, Dara Pitok. Beberapa orang keluarga kerajaan Dharmasraya dibawa untuk menjaga Dara Jingga dan Dara Pitok.
Pasukan besar itu mendarat di Tuban. Dari Tuban, Wisma Rupa Kumara dengan rombongan utamanya melanjutkan perjalanan ke Hutan Tarik tempat Istana Raden Wijaya.
Di tempat pembuangan Raden Wijaya ada empat anak Karta Negara; Nambi dan beberapa pembesar Singosari yang masih tersisa.
Keempat anak Karta Negara: Tribhuaneswari anak kedua, Nurenda Dukita, Paradnya Paramita, dan Gayatri Sri Rajendra Dewi Raja Patni anak kelima Karta Negara.
Dara Jingga dan Dara Pitok bergabung dengan mereka. Raden Wijaya mengawini keempat anak Karta Negara. Tujuannya supaya jangan ada pewaris Karta Negara lainnya yang akan meneruskan dan jadi pewaris Karta Negara.
Kedatangan rombongan Wisma Rupa Kumara di iringi oleh Rangga Lawe, Lembu Sora dan Wiraraja. Raden Wijaya mengkoordinir semua orang itu untuk menyingkirkan keberadaan pasukan Mongol di Jawa Dwipa.
Pasukan Mongol berjumlah satu laksa berada di Kediri dan setengah laksa berada di Ujung Guluh. Pasukan Pamalayu dan Dharmasraya berjumlah satu setengah laksa. Pasukan Rangga Lawe dan Raden Wijaya bejumlah hampir satu laksa. Mereka mulai menyerang dari selatan dari wilayah Raden Wijaya.
Panglima Mongol memerintahkan agar Raden Wijaya datang menghadap ke Kediri, untuk menjelaskan perbuatannya selama ini. Raden Wijaya memerintahkan Nambi menyampaikan agar Mongol datang mengambil Raden Wijaya ke suatu tempat di selatan hutan Tarik. Sebanyak 300 orang pasukan Mongol dikerahkan mengambil Raden Wijaya ke hutan Tarik. Sementara itu Raden Wijaya dengan selaksa pasukan berangkat menyerang Kediri.
Karena merasa tertipu. Hampir seluruh pasukan Mongol digerakkan ke Selatan menuju hutan Tarik. Dengan tiba-tiba pasukan besar di bawah Wisma Rupa Kemara bersama Mahisa Anabrang, pasukan Rangga Lawe dan pasukan Lembusora datang dari utara dengan persenjataan lengkap, juga memakai senjata Guntur menduduki Kediri.
Pos pasukan komando Mongol mereka duduki. Persenjataan dan bahan makanan dalam gudang mereka ambil, dipindahkan keluar kota yang tersembunyi. Pasukan Mongol yang bergerak menuju hutan Tarik berputar mengarah ke Kediri. Pada saat itu pasukan Raden Wijaya muncul dari arah hutan Tarik.
Pasukan Mongol hancur binasa, Kediri dikuasai oleh pasukan Raden Wijaya. Pasukan Mongol yang tersisa mengundurkan diri ke Ujung Guluh. Kemudian Ujung Guluh diserang. Pasukan Mongol yang berada di sana menyingkirkan diri ke atas kapalnya dan berangkat pulang ke Cina.
Sementara pasukan Wiraraja dari Madura terlambat datang. Selesai pengusiran Mongol, Raden Wijaya meresmikan berdirinya kerajaan Wilwatika dengan pusat di hutan Tarik di pinggir kali Brantas. Raden Wijaya meminang Dara Pitok untuk jadi selirnya. Diadakan perayaan perkawinan, Raden Wijaya dengan keempat anak Karta Negara sebagai permaisuri berikut Dara Pitok sebagai selir.
Pada 15 Kartika 1215 Saka bertepatan dengan 12 November 1293 M, Raden Wijaya meresmikan berdirinya Kerajaan Wilwatikta dengan Ibu negara hutan Tarik. Dia nobatkan dirinya sebagai raja pertama Kerajaan Wilwatikta dengar gelar Karta Rajasa Jaya Wardhana. Hadir dalam peresmian itu perwakilan dari Tuban, Kediri, Kahuripan Daha, Lumajang dan Dharmasraya. Sekaligus dalam acara itu meresmikan lima isterinya Dyah Dewi Nurendraduhita, Dyah Dewi Pradnya Paramita, Dyah Rajendra Dewi Gayatri, Dyah Dewi Tribuanestari dan Dara Pitok. Dia resmikan dibentuknya Bhatara Sapta Prabu dengan pimpinan dirinya sendiri dan anggota keempat anak Karta Negara, Dara Petak dan Wisma Rupa Kumara.
Raden Wijaya mengangkat Rangga Lawe sebagai Adipati Tuban, Lembu Sora sebagai Adipati Kediri, Wiraraja sebagai Adipati Lumajang dan Madura, Wisma Rupa Kumara sebagai penguasa Dharmasraya, sahabat kerajaan Wilwatika. Nambi diangkat sebagai Maha Patih dan Mahisa Anabrang sebagai Senopati Byangkara Negara atau kepala pengawal kerajaan/Istana.
Baca juga: Aji Mantrolot, Sang Maharajo Barhalo
Selesai acara peresmian berdirinya Negara Wilwatika, 1293 M, Wisma Rupa Kumara bersama Dara Jingga, pasukan Pamalayu dan pasukan Dhasmaraya kembali ke Sumatra. Tahun 1295 M Wisma Rupa Kumara menikah dengan Dara Jingga. Dia diberi gelar Adwaya Brahmadewa oleh Mauli Warma Dewa, Raja Dharmasraya. Semenjak itu dia populer dengan panggilan Adwaya Brahmadewa.
Rangga Lawe banyak sekali mengangkat dan melatih pasukan baru. Karta Rajasa memerlukan ratusan ribu pasukan untuk menaklukan Bali. Dia perintahkan Maha Patih Nambi mengirimkan surat kepada Adipati Rangga Lawe agar Rangga Lawe menyiapkan pasukan membantu Wilwatika menyerang Bali dan agar Rangga Lawe datang menghadap ke Istana Hutan Tarik. Surat tersebut dibalas Rangga Lawe dengan ucapan: saya tidak akan mengirim pasukan membantu Karta Rajasa dan tidak akan menghadap ke Istana Hutan Tarik sebelum Karta Rajasa memberhentikan Nambi dan mengangkat Lembu Sora atau saya sebagai Maha Patih.
Berdasarkan surat Rangga Lawe tersebut Karta Rajasa memerintahkan Anabrang menduduki Tuban. Dengan pasukan besar Anabrang berangkat menuju Bali dari pantai timur Jawa melalui utara. Setelah sampai di laut Jawa, Anabrang membelok arah ke Barat dan mendarat di Tuban. Mereka menduduki dan membakar habis kota Tuban.
Sementara dari selatan diberangkatkan pasukan jalan darat menuju Tuban. Di sungai Tampak Beras, pasukan Rangga Lawe menghadang pasukan Raden Wijaya. Terjadi pertempuran sengit di sungai Tampak Beras.
Pasukan Rangga Lawe dari Tuban beramai-ramai menuju sungai Tampak Beras.
Pasukan Wilwatika terhenti di sana.
Pertahanan kota Tuban menjadi sangat lemah. Pertempuran sedang berkecamuk di Tampak Beras, Anabrang telah mendarat menduduki dan membakar habis kota Tuban.
Rangga Lawe mati terbunuh. Datang laporan Tuban telah terbakar dan Rangga Lawe telah mati terbunuh oleh pasukan Wilwatika. Pertempuran berhenti. Pasukan Rangga Lawe menyerah.
Mahisa Anabrang diutus menemui Lembu Sora di Kadipaten Kediri. Anabrang diracun Lembu Sora. Beberapa jam perjalanan rombongan Anabrang sakit perut seluruh badan menjadi lumpuh. Seluruh rombongan menjadi lumpuh tak dapat bergerak lagi.
Lembu Sora dengan rombongan yang lebih besar muncul di hadapan mereka.
Lembu Sora berkata racun itu adalah pembalasan atas kematian Rangga Lawe.
Dengan sangat bersantai-santai mereka membunuh Anabrang beserta rombongannya satu persatu.
Seorang di antara rombongan itu tidak terkena racun karena tidak ikut makan makanan yang disediakan Lembu Sora. Secara sembunyi sembunyi dia dapat menyingkir, meneruskan perjalanan sampai dapat menemui Prabu Karta Rajasa dan melaporkan yang dialaminya.
Maha Patih Nambi disuruh menemui Wiraraja memohon bantuan kiranya Lembu Sora dapat menghadap Prabu Karta Rajasa di Istana Wilwatika. Wiraraja menyampaikan pesan Maha Patih Nambi. Lembu Sora memesankan dia tidak bersedia menghadap ke Hutan Tarik, biar Karta Rajasa mengambilnya sendiri ke Kediri.
Pesan Lembu Sora disampaikan pada Prabu Karta Rajasa. Maha Patih Nambi memimpin sendiri pasukan secara bergelombang menyerang Kediri. Pasukan Kediri dapat dihancurkan dan Lembu Sora dibunuh.
Penulis: Asbir Dt. Rajo Mangkuto
Editor: Asraferi Sabri
Gambar oleh agus santoso dari Pixabay