Revolusi Industri 4.0 dan ‘Covid 19’

redaksi bakaba

Semua orang dan ragam aktivitasnya “dipaksa” untuk masuk ke dalam otak disk drive. Dunia tidak lagi dibatasi oleh tempat, waktu dan kultur. Umat manusia bergabung dalam satu “atap rumah”

induistri 4.0 - Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay
Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Revolusi Industri 4.0 sudah berjalan, ditandai dengan lahirnya ‘Covid 19’ yaitu Communication Virtual Directing tahun 2019. ‘Covid 19’ merupakan produk nyata dari penggunaan teknologi informasi dengan paradigma; setiap orang tidak perlu bertemu. Cukup dengan menggunakan sarana komunikasi langsung, baik melalui Video WhatsApp, Zoom Meeting dan maupun Google Meet.

Sebagaimana berlaku pada momentum revolusi, semenjak revolusi pertama tahun 1750-1850 manusia, produksi masih menggunakan tenaga manusia dan binatang.

Dengan ditemukannya uang sebagai sumber tenaga penggerak, maka bermunculan mesin. Agar uap diterima sebagai elemen penggerak mesin, maka isu-isu perburuhan, perbudakan dan penyelamatan hewan bermunculan. Kemudian, setiap produksi yang menggunakan manusia dianggap sebagai tindakan dehumanisasi.

Sejarah

Revolusi Industri 2.0 yang terjadi di awal abad ke-20, dengan penggunaan uap untuk tenaga listrik berkembang, ban-ban diproduksi untuk dapat melengkapi sarana transportasi. Mobil-mobil pun diciptakan. Tenaga manusia tidak lagi dibutuhkan sebagai kurir. Dengan assembly line dan conveyor belt pada tahun 1923, spesialisasi tenaga manusia mulai difungsikan. Manusia tidak bekerja semua pekerjaan, melainkan masing-masing mengurusi satu spesifikasi dari teknologi yang diciptakan.

Baca juga: Pancasila dan Revolusi Industri 4.0

Pada era ini, perang tidak lagi memerlukan tombak, panah dan kuda. Semua digantikan senjata api, tank dan kendaraan-kendaraan mesin yang dapat membunuh manusia dalam hitungan per detik dengan hanya sekali ledakan. Manusia tidak lagi menjadi subjek, melainkan menjadi objek dengan heroisme perang untuk saling membunuh dengan waktu singkat yang dapat menelan korban banyak. Pengiriman logistik untuk perang pun semakin mudah dan terjangkau.

Ketika mesin baru sebatas objek di era Revolusi Industri 1.0 dan 2.0, penemuan-penemuan luar biasa era kontemporer melahirkan “buruh” baru, yaitu mesin. Industri-industri besar dan kecil, praktis seluruhnya menggunakan mesin, dengan ala kadarnya dibantu oleh manusia. Revolusi Industri 3.0 semakin meminggirkan peran manusia, produksi yang berlebihan, membutuhkan “mesin berpikir” dan “robot” untuk menggantikan manusia seutuhnya.

Komputer dan robot merupakan hasil dari Revolusi Industri 3.0. Kemampuannya benar-benar membuat dunia tanpa batas. Komputer hadir dimanapun, menghadirkan dan menyampaikan pesan setiap orang ke seluruh antero dunia. New borderless itulah intinya. Semua orang dan ragam aktivitasnya “dipaksa” untuk masuk ke dalam otak disk drive. Dunia tidak lagi dibatasi oleh tempat, waktu dan kultur. Umat manusia bergabung dalam satu “atap rumah” komputer dan laptop untuk kemudian saling berbagi dan menyampaikan pesan.

Tidak sampai di situ saja. Peningkatan teknologi terus mengalami perkembangan, sampai kemudian kita kenal dengan teknologi siber dan cognitive computing.

Dalam the new era Revolusi Industri 4.0 ini, sebenarnya tidak terlalu wah dan luar biasa dibandingkan dengan kelahiran sejarah revolusi 1, 2, dan 3. Sekalipun isu ini telah digelontorkan dalam pertemuan-pertemuan tingkat dunia, namun sepertinya belum mendapat moment penting kehadirannya.

Baca juga: Kecerdasan Buatan , Kawan atau Lawan ?

Sekalipun pemakaian internet, android dan robot semakin canggih, akan tetapi gagal menciptakan perubahan luar biasa dalam kehidupan manusia, khususnya terhadap penggunaan cognitive computing.

Belajar dari pengalaman dan gelombang perubahan peradaban yang diakibatkan oleh revolusi industri, momentum revolusi teknologi 4.0 sepertinya sedang mencari bentuk dan formula sehingga mampu mengubah perilaku manusia. Perubahan perilaku dimaksud tentu adalah peningkatan luar biasa terhadap pemakaian internet dan android sebagai teknologi cerdas. Ujungnya tetap ekonomi dan kapitalisasi kehidupan umat manusia.

Lantas apa hubungan tulisan yang berjudul Revolusi Industri 4.0 ini dengan Covid-19.

Hubungannya sangat sederhana, yaitu ‘Covid 19’ yang singkatan dari Communication Virtual Directing Momentumnya adalah tahun 2019. Covid-19 yang serba abu-abu, tidak jelas dan ternyata mampu mengubah, menakuti umat manusia di seluruh dunia. Hal ini juga terjadi pada momentum-momentum revolusi industri sebelumnya.

Ada upaya test case terhadap kemampuan momentum ini dalam menciptakan terapi kepada manusia di seantero dunia. Ketika setiap orang takut dengan penyakit (karena persepsi dasarnya adalah virus), maka program-program pembatasan pertemuan orang mengakibatkan meningkatnya penggunaan teknologi virtual. Kebutuhan pada tenaga manusia semakin berkurang. Boleh jadi, untuk melengkapi momentum ini telah disiapkan robot-robot cerdas sebagai pengganti pekerja-pekerja di berbagai industri-industri besar.

Adakah yang diuntungkan dengan Covid-19 ini. Tentu ada, bahkan sangat banyak. Ketika semua orang merasa berhadapan dengan “horor” Covid-19, hampir semua negara kemudian melakukan perombakan-perombakan sistematis terhadap ekonomi, budaya, pola konsumsi, sistem keuangan, termasuk pembangunan. Sepertinya ada yang sedang menunggu hasil besar dari momentum test case ini.

Sama-sama kita tunggu saja.**

~ Penulis, Irwan, S.H.I., M.H., Advokat & Peneliti pada Portal Bangsa Institute
~ Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay 

Next Post

Febby: Hidup Normal Baru di Sumbar Perlu Juknis

"Penerapan hidup normal baru di Sumbar, jika benar, perlu segera dibuat petunjuk teknisnya dan disosialisasikan. Jangan sampai PSBB berakhir, juknis new normal masih belum sampai ke tengah-tengah masyarakat."
Febby Dt Bangso. foto doc. Pribadi

bakaba terkait