~ Abdullah Khusairi
Sebuah informasi yang diluncurkan ke publik tidak segera meresap dalam sekejap. Hanya mereka yang membutuhkan informasi/pesan tersebut, segera mendapatkannya. Sedangkan yang lain, yang tak membutuhkan, diperlukan satu gerakan lagi untuk sampai.
Apalagi kepada orang yang tak mau dan terganggu dengan informasi yang akan datang kepadanya, sangat perlu sebuah strategi komunikasi agar maksud pesan dalam informasi tersebut bisa tercapai. Jika tidak hati-hati menyampaikannya, tidak memiliki strategi komunikasi yang ampuh, maka siap-siaplah akan menerima masalah baru.
Kenyataan itu bisa dilihat dalam suasana batin publik ketika menerima sosialisasi pelarangan kerumunan karena wabah Covid-19. Beberapa video sosialisasi dari aparat dilawan oleh emak-emak di tengah pasar beredar, viral! Kata-kata tak pantas keluar dari mulut mereka, emosi memuncak. Seorang perempuan dengan berani berkoar-koar tak menentu. Melengking suaranya ke langit. Inti “orasi” emak-emak ini jelas, tak mau #DirumahAja. Mau mencari uang, mau berdagang, cemas keluarga tidak makan. Tidak sedikitpun cemas dengan bahaya wabah yang sedang menyerang. Sementara itu, petugas sosialiasi pelarangan kerumunan tadi, diam seribu basa mematikan Toa yang disandangnya.
Baca juga: Cara Baik Melawan Gempuran Informasi
Tentu saja emak-emak ini sudah tahu tentang Covid-19. Paling tidak dari mulut ke mulut, ia sudah mendengarnya. Sayangnya, dapat diduga, ia belum memahami apa akibat dari tindakan berkerumun itu. Emosinya jelas sudah dan masih mengalahkan pengetahuannya tentang sebuah wabah yang membahayakan. Hingga sampai waktunya nanti, emak-emak ini ketakutan sendiri seiring pengetahuannya tentang Covid-19 akan bertambah sampai tahap yang paling verstehen!
Pada konteks ini, kita bisa melihat bagaimana sosialisasi demi sosialisasi masif yang dilakukan pemerintah belum bisa diresapi oleh masyarakat. Sebenarnya, tidak hanya pada momen Covid-19 saja sering salah strategi sehingga program pembangunan tidak sukses. Aparat cenderung melaksanakan tugas tanpa mengusulkan strategi yang tepat di lapangan.
Mereka, emak-emak tadi, bukanlah dari “masyarakat informasi” yang hampir setiap hari hiruk-pikuk di media sosial, oleh karena itu mesti diberikan dengan strategi yang berbeda. Begitu juga kepada salah seorang anggota legislatif di tingkat kabupaten yang mengamuk ketika diberitahu soal wabah Covid-19. Perlu juga pendekatan yang berbeda. Tidak bisa sama, tidak bisa seragam!
Pemerintah memang gagap dan hampir saja gagal memahami batin publik ketika mengambil kebijakan, soal Covid-19 ini. Pemerintah hampir saja terlambat, sebab wabah ini sudah tiga bulan lalu sudah wara-wiri di media massa dan media sosial. Hampir tak ada strategi penanganan yang muncul dari aparatur pemerintah ke tengah publik.
Ketika terdeteksi satu dua korban wabah Covid-19, barulah heboh sehebohnya. Maka bertengkarlah “masyarakat informasi” di ruang publik, khususnya di media sosial dan ruang percakapan WhatsApp, sepanjang hari. Soal setuju dan tidak, soal suka atau tidak, soal efektif atau tidak, bahkan diseret-seret ke wilayah politik praktis. Padahal, wabah ini adalah bencana kemanusiaan. Harusnya, malu, menyeretnya ke wilayah politik praktis.
Muncul kebijakan, muncul pula pro-kontra. Habis waktu di situ. Sementara, “masyarakat noninformasi” seperti emak-emak tadi memang tidak tersentuh dengan sempurna akan hal sebuah bahaya wabah. Begitulah jadinya, ketika sosialisasi terlambat datang dari wabah ketakutan lebih dahulu tiba.
Kini waktunya untuk tidak menyalahkan siapa-siapa. Kita perlu memberi usulan, syukur-syukur aparat pengambil kebijakan mau menerimanya.
Pemimpin-pemimpin kita kini memang jarang mendengar pemikiran-pemikiran baru di luar diri mereka, seperti dari kampus, dari cerdik pandai, cendekiawan, kecuali kalau sudah terdesak.
Bagaimana strategi yang baik agar seluruh “masyarakat noninformasi” itu bisa memahami dengan sempurna tentang wabah ini? Diperlukan relawan! Relawan sosialisasi dari rumah ke rumah ketika magrib tiba. Pada tingkat RT, RW, harus dilakukan secara masif, walaupun sedikit terlambat! Tetapi paling tidak, ini bisa dilakukan untuk masalah-masalah baru di masa mendatang. Strategi ini bisa dilakukan untuk daerah-daerah tertentu, mereka yang tidak tersentuh dengan informasi terkini. Walaupun sudah dapat, kadang-kadang cara mencernanya sangat berbeda dengan level masyarakat yang lain. Mereka butuh pengetahuan lebih yang dihantarkan ke ruang kehidupan mereka, di rumah. Tidak di ruang publik.
Penanganan wabah Covid-19 ini memang kelihatan parsial, tidak kompak, serta cenderung meminggirkan peranan sosial, hanya fokus ke korban. Memang harus fokus pada penanganan kesehatan, paramedis memang harus disupport total tetapi membangun komunikasi intensif dengan pranata sosial yang ada sangat penting! Ini yang belum dan mungkin saja akan ada di masa mendatang, seiring dengan ketakutan sudah melanda lebih dahulu ke batin publik.
Sosialisasi dan pelarangan langsung terhadap keramaian yang sudah terjadi tentu saja sangat riskan, mengingat psikologi massa tidak bisa segera diukur. Main kekerasan justru tidak membawa penyelesaian masalah, justru menimbulkan masalah baru. Buktinya, pesan sebaik apapun bisa buyar di kerumunan.
Pada hari-hari yang kian terasa menyeramkan ini, kita harus membangun optimisme. Mereka yang mengerti harus bergerak memberi tahu, memberi nasehat, sesuai dengan kadar pengetahuan masing-masing. Perlu kita berpikir positif dan tak perlu lagi menyalahkan kelemahan pemerintah. Tidak waktunya. Jika perlu, ikutlah berpartisipasi sekecil apapun itu. Ajak keluarga #DirumahAja dengan segala hal yang selama ini luput. Itu baik. Semoga kita selamat mengalahkan wabah Covid-19 ini. Amin. []
*Penulis, Dosen Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang.
**Gambar oleh Mohammad Fahim dari Pixabay