SORE ini seorang teman lama menghubungi saya via WA. Sebutlah namanya Yanti. Ia teman SMP. Setelah berangkat tua kami sama-sama mendirikan Komunitas Merawahijau. Komunitas untuk Berbagi. Begitu taglinenya.
Ia menanyakan soal Merawahijau. Bagaimana kelanjutannya? Saya memang yang paling patut ditanya. Sebab Merawahijau itu saya yang menginisiasi. Konsepnya dari kepala saya. Saya pula yang membuatkan namanya.
Sejak berdiri sekitar Juli 2018 hingga sekarang Merawahijau itu masih sekedar nama. Padahal cita-cita dan rencananya luar biasa. Lebih satu tahun Merawahijau tak lebih dari sekedar impian. Tak ada gerakan yang berarti.
Mau apa Merawahijau itu? Cita-citanya menjadi komunitas yang memotori pembangunan ekonomi berbasis sedekah. Tentu saja menolak riba. Pondasinya dari seruan Allah agar umat Islam tidak memakan riba. Kalau begitu, tentu apa yang diinginkan Merawahijau adalah sesuatu yang baik di mata Allah.
Lantas, mengapa tidak berjalan? Sore tadi saya agak curhat kepada Yanti. Agak ngeles juga. Intinya, saya tidak bisa jalan sendiri. Keterbatasan saya sangat banyak. Sebagus apapun rencana, kalau tidak dijalankan, ia tidak akan sampai kepada tujuan.
Faktor kesibukan, usia, kesehatan, masuk semua. Namun saya katakan, saya belum menyerah. Mudah-mudahan Allah memberi jalan.
Sebenarnya saya sudah berusaha mencari orang yang muda, yang punya banyak waktu, mau berhujan berpanas untuk menjalankan Merawahijau. Sudah puluhan orang saya beritahu. Lelah rasanya.
Tapi nampaknya Allah belum membuka hati mereka untuk berjuang bersama saya. Tak seorang pun anak muda yang tertarik dengan gagasan Merawahijau. Padahal, saya mendirikan dengan niat menyelamatkan mereka dari azab Allah.
Saya kuatir, semua ini efek dari ‘generation gap’ yang pernah saya tulis di Padang Ekspres beberapa bulan yang lalu. Oleh karena figur pendiri Merawahijau sudah jadul, anak-anak muda tidak tertarik lagi. Mereka, karena ‘generation gap’ tadi merasa tidak perlu lagi ikut-ikut orang yang sudah jadul. Jujur, ini memilukan dan mengecewakan.
Jebakan Kapitalis
Ketika mendirikan Merawahijau saya melihat anak-anak muda begitu rentan dari jebakan kaum kapitalis. Mereka merasa berbeda dengan generasi orang tuanya, merasa lebih hebat, lebih mumpuni karena menguasai dunia digital. Orang tua mereka kebanyakan tidak mengerti apa mainan anak mereka.
Sayangnya mereka tak pernah bertanya, apakah jalan mereka sudah benar? Mereka sepertinya merasa tak ada gunanya bertanya. Anggapan mereka itu sudah benar.
Baca juga: Etnis Lokal vs Globalisasi
Padahal, tak sedikit orang dari generasi saya melihat mereka seperti sabut yang terapung di tengah banjir. Mereka termakan mimpi yang dibangun oleh kaum kapitalis. Padahal, tanpa mereka sadari, mereka hanya dieksploitasi.
Kesadaran mereka dimanipulasi. Mereka dijadikan sapi-sapi gemuk yang suatu kelak akan dipotong. Sebelum disembelih mereka disenangkan dulu, dipisahkan dari dunia dalam kandang-kandang yang dibuat nyaman.
Generasi tua memang tidak sepandai mereka berenang di dunia digital. Tapi generasi tua telah punya pengalaman hidup yang panjang. Pengalaman itu memberikan kearifan, kemampuan melihat yang tak terlihat oleh yang muda-muda.
Sekalipun sekarang saya gagal menarik hati kaum muda untuk bergabung dengan Merawahijau, saya belum putus asa. Saya akan tetap menyuarakan dan mengajak.
Saya juga akan memberitahu mereka bahwa dunia sekarang penuh tipu daya. Dunia digital, komunikasi berbasis internet pada suatu saat akan melahirkan bencana komunikasi yang membuat mereka tak lagi berarti sebagai manusia.
Merawahijau akan jadi tempat mereka kembali. InsyaAllah. Jadi tempat mereka menggunakan semua kecerdasan untuk beramal kepada Allah. Bukan kepada kaum kapitalis yang menipu mereka dengan berbagai gaya hidup.(*)
*)Penulis – Emeraldy Chatra, Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Andalas – Padang
**)