Membaca, kemudian membincangkan Sinama, judul kumpulan puisi Iyut Fitra, tentu saja menarik. Apalagi kumpulan puisi kali ini, Iyut Fitra mengusung tentang sungai bernama Sinama.
Jika dibaca sekadar membaca saja, si pembaca akan tertarik. Jika agak serius membaca, tentu akan lebih banyak yang kita temui dalam kumpulan puisi ketiga dari trilogi puisi yang disajikannya. Lebih menariknya dalam penyajian kali ini, Iyut tidak lagi mempersoalkan kelaziman dalam karyanya.
Sebagaimana yang diakuinya sendiri dalam kata pengantarnya, betapa fonem dalam larik puisinya ditanggalkan. Seperti kenikmatan memainkan kata penghubung. Menurut saya, Iyut berani dan berhasil melakukannya. Walau barangkali soal irama jika dibacakan, akan banyak pembaca yang gagal melantunkannya. Namun sebenarnya si penulis sedang memulai kreasi baru selaku kreator.
Seperti halnya dalam dunia musik yang terus berkembang, ketika orang pertama kali mendengar musik blues atau jazz, pada awal pertumbuhannya, juga dianggap asing. Bahkan lebih sering dicemooh sebagai musik sampah, atau musik kaum proletar. Namun kenyataannya, justru dua jenis tersebut malah menjadi sumbangsih terhadap pemberontakan musik yang mewakili ras tertentu untuk bisa diterima dan dinikmati bagi telinga dengan ras apapun juga. Barangkali di Indonesia musik yang dianggap kampungan, proletar juga, atau dikenal sebagai dangdut, toh menjadi musik modern Indonesia. Suka atau tidak suka, siapa pun akan bergoyang dibuatnya.
Begitu pula dengan Iyut Fitra, ketika kita dihadapi pada Revolusi 4.0 perkembangbiakan dari revolusi industri dan revolusi ekonomi global, kreatifitasnya menyajikan paduan masa lalu, kini dan akan datang dalam perpuisian Indonesia.
Lihat juga: Iyut Fitra & Batu Akik
Setidaknya, dalam buku puisi Sinama, akan menemukan tiga hal utama yang menarik, yakni :
1. Sejarah dalam kaca mata dan bahasa penyair. 2. Mitos dalam penyajian puisi. 3. Perjuangan bahasa daerah menghadapi bahasa asing
Pertama, dalam kreatifitas kepenyairan Iyut Fitra yang tengah berada dalam simpang-siur percepatan revolusi industri dan pasar bebas dunia, juga rangkaian gerbong geopolitik peradaban mutakhir, Iyut dengan keberaniannya telah melakukan research sepanjang Sungai Sinama (Batang Sinama). Padahal kita tahu, bahwa dia bukanlah seorang sejarawan. Namun dia berpendapat lain, bahwa sejarah baginya adalah bahagian dari kehidupan yang menjadikannya ada.
Tak heran jika dalam kumpulan puisi Sinama, dia menempatkan sejarah dalam kepenyairannya sebagai hal yang patut disajikan dalam bentuk puisi. Tentu saja tidak segamblang sejarawan dalam menulis hasil penelitian sejarahnya, sebagaimana buku sejarah karya Prof. Gusti Adnan, tentang sejarah sungai.
Setidak seratus kilo meter lebih, Iyut Fitra menyusuri Sinama, menjumpai puluhan nagari, ratusan orang untuk bisa melahirkan puisinya.
Kedua, dari perjalanan penelitian sejarah tersebut, Iyut pun berhasil mengangkat mitologi yang didapatkan dari masyarakat nagari-agari yang di singgahinya. Mauna adalah salah satu dari figur mitos yang melegenda di salah satu nagari sepanjang Sinama.
Bagaimana Iyut menyajikan cerita rakyat yang sejajar dengan mitos tersebut sebagai sebuah tema khusus pada puisinya, merupakan sebuah pekerjaan yang cukup berat. Sama halnya dengan penyajian sejarah dalam bentuk syair di dalam puisinya.
Pada fase penyajian Mauna, akan timbul berbagai gejolak bagi pembacanya, gejolak antara sejarah dan mitos tentang perempuan. Entah Mauna ini si pemuat sejarah atau sejarah Mauna dijadikan mitos dalam tutur yang diwariskan secara turun temurun.
Lepas dari fiksi atau fakta tentang perempuan di Minangkabau, Iyut dengan kekuatan tekadnya telah berhasil mengaduknya kembali menjadi sebuah adonan kue sejarah untuk kemudian memasak dan menyajikannya sebagai Kue Minangkabau buatan Luak Limopuluah.
Ketiga, dalam karya-karya Iyut Fitra, bahkan karyanya kali ini, tampak jelas sekali, bagaimana seorang penyair tengah berjuang memenangkan bahasa lokal dalam perang besar dengan bahasa asing yang sadar atau tidak sadar telah membenalu dan bahkan sudah menjadi tanaman pokok bahasa Indonesia.
Tentu saja bagi orang yang masih terkurung dalam konstelasi politik pendidikan, akan jengah atau mual membaca kenekatan Iyut mengusung bahasa daerahnya sebagai bahasa kesusastraan dalam bentuk syair pada kumpulan puisinya. Selayaknya kita memberi dorongan atau tenaga penyemangat bagi Iyut yang tengah berjuang di kancah bahasa Indonesia saat ini.
Selanjutnya, buku kumpulan puisi apik karya Iyut Fitra, tentu akan menyongsong takdirnya sendiri. Buku Sinama telah hadir, perang belum berakhir, sekali melepas dia akan berhadapan dengan takdirnya. Pembaca dan kritikus sastralah yang menjadi penentu bagi takdir baik buruknya karya Iyut Fitra.
~ Y.H. Dt. Monti, Penulis aktivis kebudayaan