Permohonan Pengujian Terkait Pendanaan Pilkada
BAKABA.CO, JAKARTA – Seorang mahasiswa bernama Binti Lailatul Masruroh mengajukan permohonan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan ini diajukan untuk mengubah ketentuan terkait sumber pendanaan kegiatan Pilkada yang selama ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Dalam sidang perbaikan permohonan yang digelar pada Minggu, 29 Desember 2024, Binti menyampaikan bahwa biaya penyelenggaraan Pilkada, yang sebelumnya sepenuhnya berasal dari APBD, sebaiknya dialihkan untuk dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Memperhatikan agenda penyelenggaraan pemilu nasional dan Pilkada yang dilaksanakan secara serentak, biaya penyelenggaraan Pilkada yang saat ini berasal dari APBD, sebaiknya dibebankan pada APBN,” ujarnya, seperti yang dikutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: 115 Gugatan Pilkada 2024 Masuk ke Mahkamah Konstitusi
Alasan Permohonan Pengujian
Menurut Binti, Pemohon Pengujian UU Pilkada, pendanaan Pilkada yang bersumber dari APBD berpotensi mempengaruhi independensi penyelenggara pemilu. Pasalnya, dalam banyak kasus, penentuan anggaran Pilkada harus melalui persetujuan kepala daerah yang juga merupakan calon petahana, serta dukungan dari partai politik yang berada di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hal ini dikhawatirkan dapat menciptakan konflik kepentingan yang merugikan proses demokrasi.
Binti pun memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa Pasal 166 ayat (1) dan Pasal 166 ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Dia meminta agar kedua pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali jika dimaknai dengan ketentuan baru yang mengatur agar pendanaan Pilkada berasal dari APBN dan dapat didukung oleh APBD berdasarkan Peraturan Menteri.
Pembahasan Tentang Pasal 166 UU Pilkada
Pasal 166 ayat (1) dalam UU Pilkada mengatur bahwa pendanaan kegiatan pemilihan dibebankan pada APBD dan dapat didukung oleh APBN sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sementara itu, Pasal 166 ayat (3) menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan yang bersumber dari APBD diatur oleh Peraturan Menteri. Pasal ini menjadi sorotan utama dalam permohonan pengujian yang diajukan oleh Binti.
Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan hanya sah jika dimaknai bahwa pendanaan Pilkada harus dibebankan pada APBN, dengan dukungan APBD berdasarkan regulasi yang lebih rinci.
Persidangan yang Dipimpin oleh Majelis Hakim Panel
Perkara ini disidangkan oleh Majelis Hakim Panel yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, bersama Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah. Dalam persidangan yang berlangsung, Saldi Isra menyampaikan bahwa hasil persidangan ini akan dilaporkan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk memutuskan apakah perkara ini akan diperiksa lebih lanjut atau diputus tanpa ada sidang pemeriksaan lanjutan.
Proses pengujian UU Pilkada ini menandai langkah lanjutan dalam peninjauan terhadap ketentuan pendanaan Pilkada dalam UU Pilkada, yang dalam catatan redaksi merupakan salah satu UU paling banyak dilakukan pengujian di Mahkamah Konstitusi. (*) Sumber: Mahkamah Konstitusi
rst | bkb