~ Irwandi
Pandemi virus corona atau dikenal dengan Covid-19 memaksa lebih kurang 28,6 juta siswa dari SD sampai SMA/SMK di sejumlah provinsi dirumahkan. Mereka mesti belajar secara mandiri melalui program pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Sementara itu, proses perkuliahan juga dihentikan dan dialihkan dengan sistem online. Sampai 18 Maret 2020, tercatat 276 perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia yang menerapkan kuliah daring, dalam jaringan.
Jumlah kampus yang meniadakan kuliah tatap muka dipastikan akan terus bertambah di tengah penyebaran virus corona. Pada tataran global, perubahan cara belajar akibat merebaknya Covid-19 juga berlangsung sangat cepat.
Berdasarkan data UNESCO, tanggal 12 Maret baru ada 29 negara menerapkan kebijakan meliburkan sekolah. Pada 18 Maret, angka itu bertambah menjadi 112 negara.
Salah satu kebijakan pendidikan yang lahir saat darurat Covid-19 ini adalah pelaksanaan pembelajaran mandiri secara PJJ. Kebijakan itu dituangkan melalui surat edaran Menteri Pendidikan Nasional Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kebijakan Pendidikan dalam masa darurat Covid-19.
Terkait pembelajaran mandiri, terdapat empat kebijakan yang digariskan dalam surat edaran itu, yaitu (1) pembelajaran mandiri ditujukan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna tanpa dibebani untuk menuntaskan capaian kurikulum untuk kenaikan kelas maupun kelulusan; (2) para pelajar mesti dibekali dengan kecakapan hidup tentang pandemi Covid-19; (3) guru memberikan tugas secara bervariasi dengan mempertimbangkan perbedaan kemampuan setiap individu, dan fasilitas belajar; dan (4) pemberian umpan balik (feedback) terhadap kinerja siswa mesti secara kualitatif.
Empat Kata Kunci
Kata kunci pertama untuk arah pembelajaran mandiri pada masa darurat Covid-19 ini adalah tentang tujuan utama pembelajaran mandiri. Pembelajaran mandiri ditujukan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna kepada siswa, dan bukan untuk mencapai target kurikulum.
Pengalaman belajar yang bermakna tidak sama dengan belajar dengan cara menghafal (rote learning) konsep-konsep tertentu yang belum tentu bermakna untuk siswa.
Kenapa pengalaman belajar yang bermakna menjadi tujuan utama dalam pembelajaran mandiri? Alasannya adalah konsep belajar mandiri (independent learning) merupakan keterampilan seseorang untuk mengontrol dan mengelola sendiri apa yang dipelajari dan cara mempelajarinya.
Baca juga: Pendidikan dengan Sudut Pandang 90°
Keterampilan itu merupakan salah satu yang paling vital mesti dimiliki setiap orang agar mampu bersaing di dunia kerja. Bagi para pelajar, keterampilan belajar secara mandiri sangat penting dimiliki sebagai persiapan memasuki dunia pendidikan tinggi.
Peserta didik agar memiliki pengamalan belajar yang bermakna, pembelajaran mandiri mesti mengandung materi ajar yang efektif, berpusat pada siswa (learner-centered), dan membutuhkan strategi pengawasan yang efektif dari guru. Materi ajar yang efektif materinya telah diseleksi dengan mempertimbangkan pengetahuan awal (prior knowledge) yang dimiliki peserta didik.
Dosis dalam memberikan materi ajar ditentukan oleh pengetahuan awal peserta didik. Bukan berdasarkan target pencapaian kurikulum.
Pengetahuan awal adalah pemahaman, pengalaman, dan pengetahuan prasyarat, dan segala sesuatu yang dimiliki peserta didik yang berfungsi untuk mempengaruhi informasi baru yang ditambahkan ke struktur pengetahuan yang sudah ada. Karenanya, di dalam pembelajaran bahasa asing, misalnya, peserta didik akan kesulitan memahami kalimat-kalimat yang kompleks ketika kalimat-kalimat sederhana belum mampu untuk dipahami.
Bekal kemampuan awal yang cukup akan menjadikan peserta didik tidak akan mengalami kesulitan yang berarti mempelajari dan menguasai serta memahami materi pelajaran selanjutnya. Sebaliknya, peserta didik yang rendah kemampuan awalnya akan memiliki kesulitan memahami materi baru.
Mengabaikan pengetahuan awal setiap peserta didik, dan lebih berorientasi untuk mencapai target kurikulum akan berbuah respon yang tidak produktif dari para peserta didik. Mereka akan mengalami kesulitan dalam menguasai materi ajar yang semakin kompleks. Naifnya lagi, selain belum menjadi kebiasaan, para peserta didik belum mendapatkan pelatihan tentang cara belajar secara mandiri.
Dari sisi kebijakan, pemaksaan untuk mempelajari materi pelajaran sesuai target kurikulum juga berseberangan dengan kebijakan pendidikan pada masa darurat Covid-19 yang dengan tegas menggariskan bahwa capaian target kurikulum tidak menjadi acuan baik untuk penentuan kenaikan kelas maupun kelulusan.
Di samping itu, peserta didik akan memiliki pengalaman belajar yang bermakna ketika pembelajaran mandiri berpusat pada siswa (learner-centered).
Pembelajaran yang berpusat pada siswa memberikan ruang bagi setiap peserta didik untuk mempelajari sesuatu yang unik, menarik, dan bermanfaat bagi kehidupan mereka. Karenanya, para guru seyogyanya tidak mesti harus menyeragamkan seluruh materi ajar yang mesti dipelajari peserta didik saat belajar mandiri secara jarak jauh ini.
Sebaliknya, peserta didik diberikan kesempatan untuk memilih salah satu materi pelajaran yang ingin mereka ketahui lebih banyak.
Cara seperti itu akan membuat pembelajaran semakin bermakna. Dari sekian informasi yang didapatkan peserta didik saat belajar, hanya informasi yang sangat menarik dan berkaitan langsung dengan penyelesaian masalah kehidupan mereka yang dinilai sebagai informasi yang bermakna bagi mereka.
Strategi pengawasan yang dilakukan guru juga turut menentukan kesuksesan pembelajaran mandiri ini. Dalam mengawasi peserta didik, guru dapat berperan sebagai fasilitator yang membantu peserta didik untuk memahami dan merasakan pembelajaran yang bermakna selama proses belajar secara mandiri di rumah. Melalui berbagai aplikasi media komunikasi yang ada, guru mesti dekat dan sering menyapa peserta didiknya dengan menyediakan waktu dan kesempatan untuk saling berkomunikasi.
Kata kunci kedua dalam kebijakan pembelajaran mandiri saat wabah Covid-19 adalah menerapkan pembelajaran yang kontekstual.
Pembelajaran yang kontekstual merupakan pembelajaran yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari baik dalam konteks pribadi, sosial, maupun budaya.
Dalam konteks sosial saat ini, para peserta didik mesti dibekali dengan kecakapan hidup tentang pandemi covid-19. Peserta didik mesti dibekali dari dini untuk memiliki literasi informasi yang bebas dari berita bohong seputar Covid-19. Karenanya, guru mesti turut memberikan informasi yang sahih kepada peserta didik tentang Covid-19 dan upaya memutus mata rantai penyebarannya.
Selain itu, guru juga dapat mengarahkan peserta didik untuk membuat laporan sederhana tentang kegiatan apa saja yang mereka lakukan untuk mencegah pandemi Covid-19 di rumah dan lingkungan sekitar.
Aktivitas seperti itu selain memberikan pengalaman berharga untuk mereka, juga mendidik mereka untuk tidak menjadi orang yang abai dengan situasi sosial.
Kata kunci ketiga adalah pemberian tugas yang bervariasi. Pemberian tugas saat pembelajaran mandiri perlu divariasikan sesuai perbedaan invidu dan fasilitas belajar yang dimiliki. Setiap individu memiliki keragaman dalam hal kemampuan kognitif, gaya belajar, kepribadian dan temperamen, serta kondisi sosial, budaya, dan ekonomi. Kondisi fasilitas sumber belajar setiap peserta didik terutama dengan menggunakan sistem online juga tidak sama. Karenanya, guru telah memiliki data akurat untuk setiap perbedaan itu sebelum memberikan tugas kepada peserta didik.
Filosofisnya adalah sesuatu beban itu diberikan sesuai dengan kemampuan orang yang akan menerima beban. Menyamaratakan tugas kepada peserta didik tanpa mempertimbangkan faktor-faktor krusial dimaksud justru menjadikan pemberian tugas tidak efektif. Anak-anak akan mudah stres ketika dituntut untuk mengerjakan seabrek tugas yang terkadang menghabiskan satu jam untuk satu mata pelajaran.
Apalagi pembelajaran mandiri itu dilakukan saat darurat wabah Covid-19 ini. Karenanya, ketika ada perpanjangan waktu untuk belajar mandiri di rumah, seyogyanya para guru melakukan relaksasi terhadap tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didik. Artinya, perlu ada pengaturan jarak waktu dalam memberikan tugas dan bobot tugas dengan mempertimbangkan keragaman setiap individu.
Terakhir, seluruh aktivitas peserta didik selama pembelajaran mandiri di rumah akan mendapatkan umpan balik (feedback) secara kualitatif dari guru. Umpan balik secara kualitatif tidak berisi penilaian dengan angka-angka. Namun berisi informasi tentang pengetahuan yang telah dan belum dikuasai peserta didik, dan catatan untuk apresiasi, motivasi, dan arahan tentang strategi belajar yang lebih baik. Melalui umpan balik secara kualitatif, setiap peserta didik dibimbing untuk bisa melakukan refleksi diri sehingga mengetahui kelebihan dan kekurangan dirinya selama belajar mandiri.
Sebaliknya, pemberian nilai dalam bentuk angka lebih kepada sebuah “penghakiman” atas diri peserta didik yang berujung pada kesimpulan angka yang menunjukkan nilai baik dan nilai buruk.
Empat kata kunci yang dikandung dalam kebijakan pembelajaran mandiri secara jarak jauh khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah mesti menjadi kompas dalam menyelenggarakan pembelajaran mandiri tertutama saat pandemi Covid-19 ini. Selain agar pembelajaran itu tidak salah kaprah, kebijakan ini sejatinya juga ditujukan agar peserta didik dapat berkata: rumahku, adalah sekolahku.**
*Penulis, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Bukittinggi, E-mail:irwandimalin@gmail.com
*Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay