WABAH covid 19 sudah terjadi semenjak akhir Februari 2020, sedangkan Perppu PSBB terkait dengan pencegahan dan pembatasan kegiatan masyarakat baru diberlakukan 10 April 2020. Artinya, lebih kurang 1 bulan kemudian baru terbit peraturan hukum terkait dengan upaya negara untuk mencegah berkembangnya wabah covid 19.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang merasakan dampak Covid-19 terhadap warganya, telah melakukan tindakan-tindakan hukum terkait dengan pencegahan Covid-19. Hal yang sama juga dilakukan oleh walikota, bupati dan maupun gubernur. Berbeda dengan pemerintah pusat, yang terkesan lambat dalam melihat wabah ini sebagai situasi darurat yang perlu mendapat tanggapan dan respon cepat.
Kaidah hukum darurat meniscayakan tiga konsep penting, yaitu pertama sudden emergency doctrine, kedua medical treatment, dan ketiga adalah emergency expectation. Artinya, keadaan darurat merupakan keadaan yang membutuhkan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat atas terjadinya keadaan darurat dalam satu wilayah negara serta kepastian penanganannya.
Dengan mewabahnya Covid-19 di hampir seluruh dunia, maka Covid-19 dapat dikategorikan sebagai tindakan darurat dalam pengertian medical treatment. Yaitu tindakan darurat khusus dalam rangka mencegah berkembangnya wabah ini kepada masyarakat. Sebab, jika wabah ini berkembang, akan berdampak terhadap keselamatan dan kesehatan masyarakat.
Ada tiga UU tentang penentuan keadaan darurat, mulai dari UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan terbaru UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Dalam Pasal 1 angka 1 dan 2 cukup jelas menyebutkan faktor resiko kesehatan masyarakat yang menimbulkan kedaruratan kesehatan dan kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa, dengan ciri utama adalah penyakit menular.
Menghadapi wabah Covid-19, maka tindakan utama pemerintah semestinya adalah mengacu kepada ketentuan Pasal 3 yaitu; a) melindungi masyarakat, b) mencegah dan menangkal penyakit, c) meningkatkan ketahanan nasional, dan d) memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan petugas kesehatan.
Kepentingan untuk melaksanakan Pasal 3 tersebut, bukan semata-mata tugas dari pemerintah pusat saja. Tetapi juga menjadi tanggungjawab dari pemerintah daerah agar penyakit menular tidak menyebar dan menelan korban lebih banyak lagi.
Memperhatikan kehadiran PP No. 21 Tahun 2020 tentang PSBB dalam Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Permenkes No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid 19 lebih kepada acuan tentang pembatasan kegiatan masyarakat dan prosedur yang mesti diikuti oleh pemerintah daerah dalam penerapan PSBB di setiap daerah.
Baca juga: Perppu tetap Harus Taat Asas Hukum
Beberapa hari sebelum terbitnya kedua peraturan ini, pemerintah pusat telah mengambil kebijakan tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun yang terdiri dari Rp 75 triliun untuk bidang kesehatan, Rp 110 triliun untuk Perluasan Jaring Pengaman Sosial, Rp 70,1 triliun untuk dukungan industri (insentif perpajakan dan stimulus KUR), dan Rp 150 triliun untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. (https://kemenkeu.go.id/covid19).
Jika mengacu kepada ketentuan pasal 3 UU No. 6/2018, maka program utama yang mesti mendapatkan prioritas dari negara adalah melindungi masyarakat dari penularan wabah ini semakin meluas. Artinya, program utama yang mesti dilakukan itu adalah memenuhi segala kelengkapan yang dibutuhkan masyarakat agar Covid-19 tidak terus menerus menelan korban.
Pemerintah mesti cepat menyediakan peralatan kesehatan, obat-obatan, rumah sakit yang kapabel, perlindungan kesehatan tenaga medis, serta ketersediaan bahan-bahan pokok bagi masyarakat. Dan tidak kalah pentingnya adalah keleluasan setiap daerah untuk mengambil tindakan cepat guna melindungi masyarakatnya dari ancaman wabah.
Pemerintah, apabila mengacu kepada asas-asas hukum tata negara darurat, pemerintah dalam menerbitkan PP harus mempertimbangkan asas proklamasi, kesementaraan, dan keistimewaan ancaman, dan untuk itu pemerintah tidak boleh melakukan tindakan melebihi dari kewenangannya. Dan seluruh kebijakan pemerintah mesti diawasi, baik oleh lembaga negara lainnya maupun masyarakat.
Dari kesemua itu, penerapan asas proporsionalitas adalah yang sangat penting. Di mana negara harus menerbitkan peraturan hukum yang benar-benar berkaitan langsung dengan subjek keadaan darurat. Dengan demikian, pilihan tindakan pencegahan yang dilakukan negara benar-benar merupakan tindakan masuk akal untuk menyelamatkan kepentingan warga negara. Artinya, negara dibatasi untuk menerbitkan peraturan hukum yang tidak berdampak langsung terhadap peristiwa darurat tersebut.
Penulis, Dr. Wendra Yunaldi, SH, MH., Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat.
Gambar oleh Vuong Viet dari Pixabay