bakaba.co | Payakumbuh | Demokrasi dan kebebasan menyampaikan gagasan, pendapat akhir-akhir ini semakin terancam. Kebebasan mimbar, kampus, kaum intelektual mendapat tekanan aparat kekuasaan. “Negara tidak boleh bersikap dan mengintai rakyatnya yang mengritik negara, mengritik pemerintah. Jiwa bangsa ini adalah kebebasan dan kedaulatan rakyat.”
Demikian yang mengemuka dalam diskusi virtual Zoom Portal Bangsa Institute, Senin, 1 Juni 2020. Diskusi dengan tema: ‘Demokrasi di Tengah Pandemi’, digelar Portal Bangsa Institute bersama bakaba.co, Sahati Law Office, LuHak Muhammadiyah, didukung SumbarTime.com.
Webinar menghadirkan dua narasumber: Fahri Hamzah, mantan Anggota DPR-RI dan inisiator pendirian Partai Gelora Indonesia; dan Dr. Wendra Yunaldi, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Diskusi dimoderatori Irwan, S.H.I., M.H., mulai pukul 20.00 WIB, berlangsung 2,2 jam, diikuti 198 orang. Selain para aktivis demokrasi, akademi, LSM, diskusi diikuti aktivis Partai Gelora Indonesia dari berbagai provinsi dan kota.
Jaminan Konstitusi
Webinar diawali paparan Fahri Hamzah, bahwa konstitusi kita, Pancasila dan UUD menjamin hak warga negara untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Konstitusi juga menjamin, setiap orang sama kedudukannya dalam hukum.
“Ini yang harus dicamkan betul. Ruang-ruang kebebasan rakyat jangan ditutup,” ujar Fahri Hamzah.
Ruang kebebasan, kata Fahri Hamzah, ibarat sebuah kamar. Jika pintu dan jendelanya ditutup, akibatnya jadi sumpek. Orang yang ada dalam kamar itu gampang marah. “Jika orang sudah marah, bisa saja semuanya dibakar,” kata Fahri Hamzah, yang pernah beberapa periode jadi anggota DPR-RI.
Fahri Hamzah mengilustrasikan akibat rasa sumpek seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Sebuah negara yang rasional, sekarang apa yang terjadi. Aparatur polisi yang represif. Terlalu mengada-ada mencari kesalahan orang. Warga sudah lama dibuat sumpek hidupnya. Mereka mengidentifikasi tindakan yang semena-mena itu dihadapkan pada satu kelompok. Kemudian, kelompok tersebut menyimpan di dalam dirinya perasaan teraniaya, perasaan diperlakukan tidak adil. Dan suatu hari meledak.
“Ledakan itu tidak bisa dicari waktunya. Itu seketika apabila telah terjadi akumulasi dan gumpalan perasaan kecewa yang mendalam sekali. Kita dengar, beberapa kota menyatakan darurat. Berapa puluh kota terbakar. Pembakaran melebar ke mana-mana,” kata Fahri, ikut dalam gerakan reformasi ’98 yang mengakhiri rezim Orde Baru.
Kondisi Melambat
Dalam penyampaian awal, Wendra Yunaldi bertanya, saat ekonomi melambat, berhenti karena wabah Covid-19 dan memasuki new normal life, apakah demokrasi juga melambat dan berhenti?
Masalahnya, sekarang kritik di negeri ini diidentikkan dengan menghujat. Setiap kritikan dilaporkan ke aparat hukum. Dalam konstitusi kita diatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat (UUD pasal 29 e ayat 3).
Kejadian terbaru, ada warga dan lembaga publik, awak media melakukan kritik, dilaporkan. Merujuk pada keputusan Mahkamah Konstitusi, perbuatan dugaan pencemaran nama baik, harus pihak yang dirugikan yang melapor. Sekarang aneh, aparat hukum bertindak memeriksa seseorang terkait hate speech terhadap pejabat atas laporan buzzer.
Dalam masa Covid-19 ini kata Wendra, kebebasan warga untuk berkumpul, berdiskusi, berekreasi, bersilaturahmi dibatasi negara karena darurat kesehatan.
“Tetapi kebebasan berekspresi, berpendapat tidak boleh dihambat karena itu adalah hak asasi,” kata Wendra Yunaldi, dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat ini.
Akibat, Efek dari sikap aparat hukum yang reaktif, orang jadi takut untuk menyampaikan pendapat, berbicara. Orang jadi takut untuk mengritik. Padahal, tugas intelektual mengawal, secara obyektif melakukan kajian ilmiah.
“Sekarang kaum intelektual, para akademisi diteror agar tidak menyampaikan pemikiran di forum intelektual. Tindakan teror itu sebuah tindakan yang mengancam demokrasi dan jiwa bangsa ini,” kata Wendra
Wendra mengingatkan, Reformasi ’98, salah satu agenda perjuangan adalah kehidupan demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Keadilan Sosial
Kegiatan Webinar yang diadakan bertepatan dengan Hari Pancasila (meski masih kontroversi), menurut Fahri Hamzah, momentum ini diambil untuk mendalami dan menggali kembali Pancasila. Konstitusi republik ini sudah didesain sejak awal untuk melindungi segenap dan seluruh tumpah darah Indonesia. Untuk memperlakukan setiap warga negara secara sama. Sila kelima; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 37 UUD jelas menyatakan, setiap warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tanpa ada kecuali.
“Itulah pasal, dalil yang menjamin bahwa menjadi warga negara itu akan diperlakukan sama. Inilah yang membuat kita jadi enjoy hidup di negara kita ini dalam waktu terus menerus karena kita merasa hak-hak kita dijamin,” kata Fahri Hamzah.
Sebenarnya ketika pandemi Covid-19 terjadi, sikap negara terhadap rakyatnya itu bukan mengintai siapa yang mencaci negara, mencaci pemerintah. Kini, ada mazhab di pemerintahan yang mikirnya begini: ini lagi krisis, kami capek-capek bekerja, masih dikritik juga.
“Ya, lo tugas kamu itu bekerja, tugas rakyat mengritik. Itu dibagi begitu. Tidak harus kemudian orang tidak boleh mengritik. Anda digaji untuk menjelaskan, menjawab kritik-kritik orang kepada Anda. Terima gaji itu ya maksudnya begitu. Ketika Anda menerima gaji, paket di dalamnya untuk menjelaskan apa yang di masyarakat itu belum jelas. Jangan kemudian, kebebasan orang dihambat, kebebasan orang dibungkam. Ini yang berbahaya,” urai Fahri Hamzah, salah seorang inisiator pendirian Partai Gelora Indonesia.
Melalui forum ini, di hari lahirnya Pancasila ini, kata Fahri, diperkuat kewibawaannya. Jangan sampai pemerintah republik Indonesia terjebak, ikut menganggap bahwa pembatasan atas kebebasan rakyat maslahatnya lebih besar. “Itu keliru. Tidak boleh begitu,” tegas Fahri.
Kebebasan itu, kata Fahri, harus diberikan kepada masyarakat. Sebab masyarakat itu punya wisdom, asalkan pemerintah mau menghadapi secara sadar, secara rasional, publik education akan berkembang, kecerdasan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi kita: mencerdaskan kehidupan bangsa, akan tercapai.
“Tetapi, apabila dihambat seperti negara-negara yang tertutup, yang tidak memberikan kebebasan pada rakyatnya, akan berbahaya sekali. Bisa-bisa terjadi ledakan. Sebab, jiwa bangsa ini adalah kebebasan dan kedaulatan rakyat. Itu sangat jelas terpatri dalam Pancasila dan UUD 1945,” kata Fahri Hamzah.
Pengayom
Terkait eksistensi Pancasila, Wendra Yunaldi mengatakan, tidak boleh menjadi milik kelompok atau keluarga tertentu. Pancasila itu dasar negara, jiwa bangsa yang harus jadi pengayom, pelindung, bukan sebagai alat pengancam. Tidak boleh ada satu kelompok yang merasa lebih tahu dan paham Pancasila.
Pancasila itu, Wendra mengutip Syafii Ma’arif, sering dimuliakan dalam kata-kata, diagungkan dalam tulisan, tapi dikhianati dalam pembuatan. Bung Hatta juga menyindir: Pancasila hanya di mulut.
“Harusnya dalam alam demokrasi ini, Pancasila jadi alat pemersatu dan kita bebas berbicara sebagai anak bangsa karena konstitusi menjamin. Pancasila memiliki nilai-nilai luar biasa yang menjamin kebebasan masyarakat, rakyat Indonesia,” kata Wendra.
~ Asraferi Sabri